Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Deindustrialisasi Prematur
Strategi yang harus diambil bukan hanya fokus di pasar domestik, melainkan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi.
Ilustrasi
Ruangan itu hening. Pintu ruang kerja di pojok lantai tiga gedung Rubenstein di Harvard Kennedy School terbuka lebar. Di seberangnya, beberapa asisten peneliti tenggelam dalam kubikal, terpaku pada layar komputer.
Saya mengetuk pelan pintu yang terbuka itu. Seorang pria berambut perak, mengenakan sweater biru, menyambut dengan hangat. Ia melemparkan senyum yang lebar. ”Selamat datang kembali ke Cambridge,” sambutnya dengan ramah. Dani Rodrik nama pria itu, profesor ekonomi terkemuka di Harvard Kennedy School.
Saya mengambil tempat duduk di depan meja, menghadap ke jendela. Dari kejauhan, saya melihat kabut menyelinap di atas Charles River. Pagi itu begitu dingin.
Dani Rodrik mungkin adalah salah satu ekonom yang paling berpengaruh di dunia dalam isu industrialisasi, globalisasi, dan ekonomi politik. Bukunya, Has Globalization Gone Too Far? dan Globalization Paradox menjadi bahan rujukan dan diskusi. Dipuja sekaligus dikritik. Pemikirannya memang punya magnet.
Argumennya soal peran kebijakan industri (industrial policy) kini nyaris menjadi menu tetap dalam diskusi strategi pembangunan ekonomi di hampir semua tempat di dunia.
Pasar domestik Indonesia memang besar, tetapi daya belinya masih terbatas.
Deindustrialisasi prematur
Kami berdiskusi soal strategi pembangunan ekonomi di emerging market and developing economies (EMDE).
Rodrik menyampaikan pandangannya yang murung tentang industrialisasi di negara berkembang, yang disebutnya mengalami premature deindustrialization (penurunan kontribusi sektor industri dalam ekonomi secara prematur).
Studi terbarunya bersama Joseph Stiglitz menunjukkan dunia berubah. Pandangan yang awalnya optimistis terhadap pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang—yang berorientasi pada integrasi global dan industri berorientasi ekspor—terguncang oleh beberapa faktor.
Kemajuan teknologi membuat sektor manufaktur menjadi kurang padat karya sehingga mengurangi efektivitasnya sebagai strategi pertumbuhan.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi EMDE yang mulai melambat semakin diperburuk oleh pandemi Covid-19. Meningkatnya utang, ketegangan geopolitik, dan peralihan ke sektor jasa dari manufaktur semakin memperumit prospek pertumbuhan.
Selain itu, krisis iklim dan pentingnya transisi hijau telah berdampak buruk pada sektor pertanian dan mengurangi permintaan global akan sumber daya alam. Ini semakin menyulitkan negara-negara berkembang (Rodrik and Stiglitz, akan terbit).
Industri manufaktur yang kurang padat karya tak lagi mampu menciptakan lapangan kerja yang baik. Karena itu, Rodrik melihat pentingnya peran sektor jasa untuk memberikan lapangan pekerjaan yang baik.
Saya merespons argumen tersebut dengan hati-hati, mengingatkan bahwa pekerjaan di sektor jasa juga membutuhkan keterampilan yang tinggi dan tidak padat karya, seperti industri keuangan dan teknologi informasi.
Di masa depan, disrupsi teknologi juga akan memengaruhi sektor jasa. Kecerdasan buatan (AI) akan membuat sektor jasa jadi kurang padat karya. Call center dan back office, misalnya. Yang tersisa mungkin hanya pariwisata, yang relatif padat karya dan memiliki produktivitas tinggi.
Sektor perdagangan, walaupun padat karya, cenderung informal dan rendah produktivitasnya.
Baca juga: Kelas Menengah dan ”Chilean Paradox”
Isunya bukanlah bergantung pada sektor jasa atau manufaktur, melainkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Rodrik mengangguk setuju, membenarkan pendapat tersebut. Oleh karena itu, menurut dia, negara-negara berkembang akan menghadapi kesulitan untuk mencapai pertumbuhan yang lebih cepat di masa depan.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang melandai, dia menyarankan agar EMDE berfokus pada perbaikan institusi, perlindungan sosial, dan peningkatan kualitas SDM. Argumen ini mirip dengan White Paper LPEM FEB UI (2023).
Sangat relevan, terutama mengingat kerentanan kelas menengah di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Sayangnya, Indonesia tak memiliki banyak pilihan selain untuk tumbuh lebih cepat. Tanpa itu, ada risiko jadi tua sebelum kaya.
Lalu, apa yang harus dilakukan?
Mungkin ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, benar sektor jasa akan memiliki peran penting ke depan. Tengok India. Mengapa India—yang punya persoalan mirip dengan kita—mampu tumbuh 8,4 persen dalam triwulan IV-2023 (walau angka ini banyak dipertanyakan)?
Jawabannya: karena India—di samping melakukan serangkaian reformasi dalam bidang perbankan, pajak, pembangunan infrastruktur—mulai masuk pada ”ekonomi baru” (new economy), seperti infrastruktur digital dan penerapan teknologi digital (Panagariya, akan terbit).
Saat ini India merupakan negara dengan proporsi transaksi keuangan digital terbesar di dunia. Ekspor jasa ICT India jauh sekali di atas Indonesia. Digitalisasi di India telah mampu menurunkan biaya transaksi dengan sangat signifikan.
Digital India Campaign telah berhasil menumbuhkan platform digital dan bisnis model baru. Penyebaran teknologi secara meluas ke masyarakat (difusi teknologi) membuat produktivitas meningkat. Ujungnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Itu sebabnya, upaya untuk masuk ke dalam new economy, seperti AI dan digitalisasi, menjadi penting sekali.
Di masa depan, disrupsi teknologi juga akan memengaruhi sektor jasa.
Kedua, menarik belajar dari China, India, dan Vietnam yang tumbuh pesat setelah mengadopsi kebijakan berorientasi ekspor. Mengapa?
Untuk tetap eksis, produk ekspor memerlukan investasi dan inovasi agar dapat bersaing secara kompetitif. Mereka harus menyerap teknologi, meningkatkan keterampilan, dan terus-menerus meningkatkan kualitas. Benar ada risiko deindustralisasi dini, tetapi untuk meningkatkan produktivitas, industrialisasi yang berorientasi pada ekspor tetap memiliki peran yang sangat penting.
Pasar domestik Indonesia memang besar, tetapi daya belinya masih terbatas. Tengok otomotif. Produksi mobil di Thailand melampaui Indonesia meskipun pasar dalam negeri kita lebih besar.
Oleh karena itu, strategi yang harus diambil bukan hanya fokus pada pasar domestik, melainkan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk pasar global. Strategi ini telah dipilih Vietnam, yang pada 2023 mencatat nilai ekspor 355 miliar dollar AS, melampaui Indonesia yang mencapai 258,8 miliar dollar AS.
Selama beberapa dekade terakhir, Vietnam melaksanakan reformasi untuk mendorong ekspor. Negara ini telah menjadi basis produksi global untuk berbagai produk, seperti telepon seluler, komputer, sepatu, dan tekstil.
Data Bank Dunia (2022) menunjukkan, rasio penanaman modal asing (net inflows) terhadap produk domestik bruto (PDB) Vietnam jauh melampaui Indonesia. Selain itu, Vietnam juga berhasil menikmati realokasi investasi dari China. Indonesia dapat mengambil manfaat dari fenomena ini dengan terus memperbaiki iklim investasinya sehingga rasio PMA (bersih) terhadap PDB meningkat.
Ketiga, strategi orientasi ekspor berisiko membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak global. Karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan pasar domestik dan global. Strategi orientasi ekspor harus diikuti diversifikasi terhadap produk dan negara tujuan.
Sayangnya, diversifikasi ekspor kita masih sangat terbatas. Studi saya dan Rahardja (2011) menunjukkan, pendorong ekspor Indonesia beberapa dekade terakhir adalah produk yang sama, yang dijual ke pasar yang sama. Penemuan baru? Kurang dari 5 persen.
Studi saya dan Rahardja menunjukkan, negara yang memiliki proporsi medium dan high tech manufacturing yang tinggi cenderung memiliki volatilitas ekspor yang rendah. Sebaliknya, negara yang bersandar pada sumber daya alam memiliki volatilitas ekspor yang tinggi.
Industrialisasi menjadi penting. Wiraswasta harus terus bereksperimen dengan produk baru. Ia mengadopsi teknologi dari luar untuk keperluan lokal.
Indeks kinerja utama bukanlah memproduksi aturan, tapi mempermudah dan mempercepat aktivitas ekonomi.
Sebuah proses yang disebut Rodrik sebagai self-discovery. Namun, ada persoalan: jika pengusaha gagal dalam eksperimen ini, ia akan menanggung risikonya. Apabila berhasil, produsen lain akan menirunya. Akibatnya, tak banyak yang berminat untuk self-discovery. Eksperimen dengan produk baru hanya bisa dilakukan apabila ada keuntungan. Biaya logistik yang tinggi mengurangi keuntungan. Karena itu, pembangunan infrastruktur yang efisien tak bisa ditawar.
Keempat, revolusi industri memang telah meningkatkan produktivitas. Toh, kekhawatiran bahwa mesin akan menggantikan buruh tak sepenuhnya terjadi. Barry Eichengreen dari University of California Berkeley menulis: yang terjadi bukanlah hilangnya pekerjaan, melainkan redefinisi pekerjaan.
Ke depan, profesi perawat, dokter, akuntan, atau pekerjaan akan tetap ada, tetapi membutuhkan keterampilan baru: penguasaan teknologi. Dengan kata lain, yang dibutuhkan adalah penyesuaian kemampuan dan kualitas SDM.
New economy, diversifikasi ekspor membutuhkan SDM yang baik. Ini soalnya: transformasi untuk keahlian baru membutuhkan pendidikan atau pelatihan. Sayangnya, sarana, informasi, dan kapasitas pelatihan pemerintah terbatas.
Data BPS menunjukkan, peningkatan penganggur muda justru terjadi di kelompok tamatan SMK. Mungkin karena apa yang dipelajari di SMK tak cocok dengan kebutuhan perusahaan.
Kita mungkin ingat, di Indonesia, ada satu masa ketika sebagian besar bankir berasal dari bank-bank tertentu. Mengapa? Karena mereka memiliki pelatihan yang baik. Kita bisa meniru pola ini.
Untuk mendorong itu, berikan insentif, potongan pajak berganda, bagi perusahaan untuk melakukan pelatihan. Langkah ini bisa dimulai dengan proyek percontohan, lalu evaluasi hasilnya.
Memacu pertumbuhan ekonomi
Bagi saya, kebijakan industri untuk mendorong SDM dan litbang—untuk mengadopsi teknologi sesuai kebutuhan lokal—punya pembenaran. Ia mirip investasi dalam kesehatan dan pendidikan. Ide ini sebenarnya sudah dilakukan, tetapi implementasinya masih rumit.
Implementasi membutuhkan uji coba di lapangan. Saya ingat pengalaman ketika di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sekitar tahun 2012.
BKPM membuat formulir yang harus diisi investor untuk permohonan izin investasi. Semuanya terlihat baik di atas kertas. Namun, saya meminta dilakukan uji coba. Kami melakukan focus groupdiscussion (FGD) dan meminta investor mengisi formulir itu.
Ternyata formulir sederhana itu masih menyulitkan investor. Kasusnya amat remeh: di dalam formulir ada pertanyaan volume produksi barang. Ada investor yang menanyakan bahwa produksi barangnya terdiri dari benda padat dan benda cair, yang satuannya berbeda. Sayangnya, kolom yang ada di komputer hanya satu. Bagaimana solusinya?
Birokrasi tak seragam menjawabnya karena tidak mengantisipasi soal ini. Investor kesulitan mengisi izin investasinya. Ini contoh yang sangat remeh, tapi nyata. Tentu banyak contoh lain.
Baca juga: Reforma Kapital
Intinya, semua peraturan harus diuji coba dulu di lapangan: apakah bisa berjalan atau malah menimbulkan masalah. Indeks kinerja utama bukanlah memproduksi aturan, tapi mempermudah dan mempercepat aktivitas ekonomi. Reformasi bisa dimulai dari hal kecil yang mudah.
Misalnya, menciptakan hasil cepat (quick wins) yang dampaknya dapat dirasakan segera oleh masyarakat. Dengan ini, kredibilitas pembuat kebijakan meningkat, modal politik meningkat, sehingga ia memiliki dukungan untuk melakukan reformasi yang lebih kompleks (Basri, 2017). Itu yang saya sebut: the political economy of the possible.
Dunia memang berubah. Rodrik mungkin benar, tak mudah bagi EMDE tumbuh lebih cepat. Namun, kita tak punya banyak pilihan, selain mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Kami akhiri obrolan menarik ini. Saya pamit. Sepintas dari jendela terlihat kabut di Charles River mulai menyusut. Udara mulai membaik. Namun, dingin tetap menggigit.
Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia