Jebakan Bonus Demografi
Mungkinkah generasi ini, khususnya gen Z dan gen Alpha, masih bersedia mengisi hidupnya untuk mengurus rumah tangga?
Tingkat partisipasi angkatan kerja Indonesia yang rendah disebabkan, antara lain, oleh persaingan ketat di pasar tenaga kerja akibat suplai tenaga kerja yang tinggi dan ketersediaan lapangan kerja yang rendah. Merasa tak sanggup lagi bersaing, mereka memilih untuk keluar dari pasar kerja. Apabila demikian kondisinya, bagaimana pada era bonus demografi nanti?
Bonus demografi merupakan topik yang sering disebut-sebut oleh para ”pembesar” Indonesia, termasuk para kontestan Pemilihan Umum 2024. Fokus mereka pada topik ini sangat beralasan karena, menurut hitung-hitungan para pakar, Indonesia akan memasuki era bonus demografi pada 2030-2040.
Pada periode tersebut, penduduk usia produktif (15-64 tahun) diperkirakan mempunyai proporsi lebih dari 60 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, yang berarti lebih tinggi dibandingkan penduduk usia nonproduktif.
Baca juga: Depopulasi dan Ancaman Bencana Demografi
Kondisi itu menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) akan semakin rendah, yang berarti semakin ringannya beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif terhadap penduduk usia nonproduktif. Dengan makin besarnya proporsi penduduk yang mampu menghasilkan barang dan jasa, diharapkan nilai tambah yang dihasilkan semakin besar pula.
Oleh karena itu, rasio ketergantungan merupakan indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara. Sekalipun demikian, kondisi ini benar-benar menjadi ”bonus” jika dikelola dengan benar. Kalau tidak, penduduk usia produktif bukannya menjadi penggerak pembangunan, melainkan justru jadi beban pembangunan.
.
Ketenagakerjaan di Indonesia
Jalan ”utama” untuk memanfaatkan tenaga produktif adalah memberikan mereka lapangan kerja atau membuka kesempatan seluas-luasnya untuk berusaha. Bagaimana kondisi penduduk usia produktif di Indonesia saat ini?
Penduduk usia produktif tidak serta-merta aktif secara ekonomi. Pada Agustus 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Indonesia masih sebesar 69,48 persen. Berarti, hampir sepertiga atau sekitar 65 juta jiwa usia produktif tidak aktif secara ekonomi.
Memang di antaranya akibat masih bersekolah, tetapi persentasenya hanya 24,35 persen. Sementara kelompok terbesar adalah mereka yang mengurus rumah tangga, sebesar 62,00 persen. Pertanyaannya, mengapa begitu banyak penduduk usia produktif yang tidak masuk dalam kelompok angkatan kerja?
Apakah ini masalah demand (ketersediaan lapangan kerja) atau supply (memang penduduk produktif tidak mau bekerja)? Di berbagai belahan dunia, memang tidak ada satu negara pun yang mempunyai TPAK 100 persen, alias semua penduduk usia produktif bekerja.
Pertanyaannya, apakah TPAK Indonesia sekarang sudah sesuai dengan keinginan penduduk usia produktif?
Mungkinkah generasi ini, khususnya gen Z dan gen alpha, masih bersedia mengisi hidupnya untuk mengurus rumah tangga?
Jika dilihat dari statistik negara-negara maju, TPAK Indonesia masih tergolong tertinggal. Statistik Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2022 mencatat, untuk usia 15-64 tahun, TPAK Eslandia 86,6 persen, Belanda 84,7 persen, Swedia 83,4 persen, Swiss 83,1 persen, dan Selandia Baru 82,5 persen.
Dalam Neo-Classical Model of Labor-Leisure Choice dijelaskan bahwa seseorang bersedia mengorbankan waktunya yang berharga untuk bekerja akibat kebutuhan konsumsinya. Namun, jika seseorang mempunyai non-labor income (pendapatan nontenaga kerja) yang tinggi, yang mampu mencukupi konsumsinya tanpa bekerja, harga waktu yang dikorbankannya menjadi mahal.
Mungkin inilah penyebab mengapa di beberapa negara maju, seperti Belgia, Korea Selatan, atau Luksemburg, TPAK masih sedikit di atas 70 persen. Kondisi ini tentu berbeda dengan Indonesia. Mungkin hanya sebagian kecil penduduk usia produktifnya memiliki non-labor income yang mencukupi.
Artinya, TPAK yang rendah di Indonesia disebabkan oleh kalahnya mereka bersaing di pasar tenaga kerja. Persaingan ketat tentu disebabkan supply yang tinggi dan demand yang rendah. Merasa tak sanggup lagi bersaing, mereka memilih keluar dari pasar kerja.
Kalau saat ini kondisinya demikian, bagaimana ketika era bonus demografi nanti? Tentu sangat tidak sesuai dengan harapan yang dibawa ”bonus demografi” jika banyak tenaga produktif yang akhirnya ”keluar” dari angkatan kerja.
Sementara itu, dari mereka yang termasuk angkatan kerja, sebagian juga belum bisa menghasilkan output atau tidak menghasilkan output secara optimal. Berdasarkan catatan BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2023 sebesar 5,32 persen, setengah menganggur 6,68 persen, dan pekerja paruh waktu 24,40 persen.
Ditinjau dari jenis pekerjaan, pada Agustus 2023 terdapat 5,21 juta (3,73 persen) mereka yang merupakan pekerja bebas di pertanian, 7,37 juta (5,27 persen) pekerja bebas di nonpertanian, dan 18,09 juta (12,93 persen) pekerja keluarga/tidak dibayar. Statistik ini mengindikasikan kerasnya persaingan di pasar tenaga kerja dan tidak sedikit di antara mereka yang bekerja hanya sekadar menyambung hidup. Kondisi ini tentu tidak sesuai dengan harapan yang dibawa oleh bonus demografi.
Gen Z dan gen alpha
Dalam 10 tahun (Agustus 2013-Agustus 2023) terakhir, TPAK Indonesia hanya naik sedikit dari 66,77 persen menjadi 69,48 persen dan tingkat pengangguran turun sedikit dari 6,17 persen menjadi 5,32 persen.
Padahal, dalam kurun tersebut, perekonomian Indonesia tumbuh dengan cukup baik, di atas 5 persen per tahun. Hanya tahun 2015 yang 4,88 persen dan tahun 2020 turun menjadi 2,07 persen akibat pandemi Covid-19, kemudian naik menjadi 3,70 persen saat pemulihan dari pandemi.
Bonus demografi akan ditandai oleh dominannya generasi milenial, gen Z, dan gen Alpha di dunia kerja. Generasi ini berpendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan pendahulunya dan dibesarkan dalam era teknologi informasi yang canggih. Mungkinkah generasi ini, khususnya gen Z dan gen Alpha, masih bersedia mengisi hidupnya untuk mengurus rumah tangga?
Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa TPAK akan meningkat secara signifikan. Konsekuensinya, dibutuhkan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang besar pula. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi 5 persen setahun dirasakan tidak cukup untuk mengimbangi suplai tenaga kerja agar tingkat pengangguran tidak membengkak.
Tentu sangat tidak sesuai dengan harapan yang dibawa ”bonus demografi” jika banyak tenaga produktif yang akhirnya ”keluar” dari angkatan kerja.
Dalam ekonomi ketenagakerjaan dikenal istilah reservation wage, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai besaran upah yang menyebabkan tenaga kerja bersedia bekerja.
Dengan kapasitas diri yang berpendidikan tinggi dan menguasai teknologi, apakah gen z dan gen alpha masih bersedia bekerja sebagai pekerja bebas atau pekerja tidak dibayar, yang saat ini persentasenya lebih dari 20 persen?
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa pengangguran tertinggi justru dari mereka yang berpendidikan tinggi. Pada Agustus 2023, berdasarkan catatan BPS, tingkat pengangguran terbuka untuk kelompok yang tidak/belum sekolah hanya sebesar 1,51 persen dan tamatan tingkat dasar (SMP ke bawah) 3,34 persen. Adapun tamat SMA 8,60 persen dan perguruan tinggi 5,10 persen.
Bagi mereka yang berpendidikan tinggi, pekerjaan yang mereka butuhkan bukan ”asal kerja”, melainkan pekerjaan yang layak dan menjamin masa depan mereka. Kondisi ini menunjukkan kembali bahwa pertumbuhan ekonomi yang hanya 5 persen cukup berat untuk menyediakan pekerjaan layak.
Baca juga: Sisa Waktu Bonus Demografi
Jika pekerjaan yang diinginkan tidak tersedia, gen Z dan gen Alpha akan banyak yang menganggur atau sebagian dari mereka mungkin memilih mundur dari pasar tenaga kerja dan masuk ke kelompok bukan angkatan kerja. Apabila hal ini terjadi, bonus demografi bukan lagi menjadi kabar gembira karena hanya membebani pembangunan Indonesia.
Hardius UsmanGuru Besar Politeknik Statistika STIS