Pegiat bank sampah bercerita bagaimana beratnya menggalang kesadaran tetangga untuk memilah sampah atas nama alam.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·5 menit baca
Setiap peringatan Jam Bumi di Maret dan Hari Bumi di April, saya sering mencoba membandingkan antara berbagai acara bagus yang digelar dengan praktik hidup di sekitar. Tahun ini, setelah 2-3 kali berturut-turut suhu musim panas tercatat tertinggi dalam sejarah, saya kian penasaran akan perilaku masyarakat.
Banyak yang mengeluh selalu kepanasan, dan generasi berusia 30 tahun ke atas menyadari musim hujan makin mundur—dari bulan berakhiran -ber saat kami masih kecil ke ”entah kapan mulainya” saat ini. Banyak yang sadar banjir kian mudah terjadi, bahkan di gurun seperti Dubai yang tidak siap dicurahi hujan tinggi. Tapi Dubai memang tak punya saluran pembuangan, sedang rakyat Indonesia menyumbat saluran pembuangan dengan kebiasaan buang sampah sembarangan.
Minggu lalu saya terkesiap gembira karena menemukan tong donasi tas kain di sebuah warung kopi untuk didaur ulang. Langkah amat kecil, tapi ada yang memulai.
Seniman Indonesia sudah mengangkat isu ini. Eko Nugroho bekerja dengan komunitas pengumpul sampah, memakai benda-benda terbuang membentuk instalasi termasuk dalam pameran tunggalnya di Jakarta tahun lalu. Tahun ini, dalam galeri di lobi perkantoran bergengsi di Jakarta, Wishulada Panthanuvong memamerkan karya dari limbah metal dan serat kain, tim Plastik Kembali mengolah sampah plastik menjadi serumpun bunga raksasa, sedang Attina Nuraini dan Evan Driyananda berkolaborasi mengubah bekas mainan anak dan perkakas rumah tangga menjadi instalasi berwujud mirip robot berwarna-warni. Pameran-pameran ini terbuka untuk publik.
Tapi apa publik lantas mengerem diri dalam memperlakukan lingkungan?
Tahun lalu saya menulis dampak dari pelarangan kantong plastik adalah bertumpuknya tas kain, termasuk dari goody bag berbagai acara. Minggu lalu saya terkesiap gembira karena menemukan tong donasi tas kain di sebuah warung kopi untuk didaur ulang. Langkah amat kecil, tapi ada yang memulai.
Banyak kebiasaan ramah lingkungan lain yang juga saya saksikan, walau saya tidak yakin alasannya lingkungan atau kenyamanan, status dan kemampuan. Misalnya, membawa botol minuman sendiri—lebih ekonomis karena bisa mengisi-ulang di kantor ketimbang membeli air kemasan. Dan karena akhir-akhir ini merek botol minuman pribadi menjadi simbol status, bisa bergaya sambil mengirit.
Kawan pegiat bank sampah bercerita bagaimana beratnya menggalang kesadaran tetangga untuk memilah sampah atas nama alam sampai seseorang pamer bahwa ”pendapatan” dari bank sampah, walau kecil, setelah diendapkan sekian tahun cukup untuk ongkos umrah. Mirip cara pikir ibu-ibu rumah tangga saat arisan, ”mengendapkan” sisa uang belanja untuk beli panci dan piring.
Saya pernah beberapa tahun aktif di gerakan tukar baju (clothing swap), yang selalu dipadati Gen Y dan Gen Z yang, setelah intens saya amati, ternyata lebih didorong alasan memiliki busana ”baru”, syukur-syukur lebih keren, tanpa keluar uang. Mereka rela mengantre berjam-jam dan kadang lebih jeli mengecek label pakaian ketimbang apakah potongannya serasi di badan. Di lini penjualan baju bekas (thrifting) yang tetap marak terlepas tekanan sekian kementerian, motivasi serupa mencuat.
Kurang-lebih pula dengan pemasangan panel surya. Benar bahwa pemakai awal didominasi kepedulian akan alam, namun lalu diikuti oleh pemakai yang lebih ingin menekan tagihan listrik.
Saya tidak menyalahkan mereka. Meningkatnya harga karena krisis iklim, inflasi, kenaikan PPn, karut-marut peta transportasi domestik, lagak politis pembatasan impor bahkan saat tak ada substitusi lokal yang mumpuni, membuat banyak benda makin mahal bagi mayoritas rakyat. Seorang kawan pebisnis kantin kantor mengeluhkan volume menurun—yang dulu mampu ke kantin tiap hari, sekarang hanya seminggu sekali atau setelah gajian. Sempat mengira itu imbas tren bekerja dari luar kantor, saat inspeksi ia mendapati gedung kantor tetap penuh oleh karyawan yang… membawa makan siang dari rumah. Termasuk karyawan pria, yang biasanya gengsi menenteng kotak makanan.
Dan kalau untuk makan siang di tempat kerja saja sudah mulai terasa sulit, bayangkan kepedulian yang tersisa untuk alam bila tiada insentif ekonomi.
Keterampilan memperbaiki pakaian memang makin jarang; beberapa tahun lalu di Pasar Triwindu Solo saya tinggal menemukan 1-2 tenaga yang bisa menisik batik lawas.
Bagaimana dengan yang berkecukupan? Yang saya amati, hambatannya di waktu dan kepraktisan. Seorang teman yang sudah memasang panel surya di rumah dan bertahap beralih ke busana berbahan rayon Tencel yang ramah lingkungan, walau mahal, masih tergantung pada perangkat makan sekali pakai karena jadwal padatnya membuatnya harus mengisi perut di antara berbagai kegiatan, kadang di dalam mobil dengan makanan terkemas yang baru dibelikan sopirnya. Sudah harus membawa laptop dan berkas klien, ia tak sanggup harus menenteng perangkat makan.
Kawan lain tersenyum simpul saat menyaksikan saya bersiasat dengan tukang jahit langganan untuk menyelamatkan sepasang celana kesayangan. ”Kalau gue nggak sabar, Lyn, beli baru aja,” cetusnya yang datang bukan dari kesombongan mampu membeli celana linen putih baru, yang memang mudah dicari, tapi dari keterbatasan waktunya untuk bolak-balik ke penjahit. Saat saya ajak diskusi tentang ribuan pakaian ”terbuang” yang menyesaki TPA, atau bahwa setiap pakaian baru diciptakan dengan menguras sumber daya alam, ia jujur menjawab bahwa mengganti bohlam lampu dan perangkat elektronik di rumahnya ke versi rendah energi adalah hal terpraktis yang bisa ia lakukan di antara kesibukan pekerjaan sebagai eksekutif top dan mengurus keluarga sebagai ibu beranak remaja.
Keterampilan memperbaiki pakaian memang makin jarang; beberapa tahun lalu di Pasar Triwindu Solo saya tinggal menemukan 1-2 tenaga yang bisa menisik batik lawas. Jajaran penjahit Mayestik hanya tertawa saat saya tanya soal menambal dan menisik, mungkin karena upahnya kecil. Saya sangat menghargai kursus memperbaiki pakaian yang dilakukan jenama Sejauh Mata Memandang sekitar Hari Bumi tahun ini, dan senang melihat Gen Z yang antusias belajar, namun saya realistis bahwa kelas menengah Indonesia yang pontang-panting mencari uang dan kelas atas yang sibuk mempertahankan kemapanan sulit kembali ke memperbaiki pakaian atas nama lingkungan.
Kecuali bila Indonesia meniru Perancis yang tahun lalu menawarkan restitusi sebagian ongkos bila rakyatnya memperbaiki pakaian di penjahit dalam jejaring pemerintah. Langkah ini diambil Perancis karena 700.000 ton pakaian terbuang tiap tahun, dua pertiganya berakhir di TPA. Tapi saya ragu Pemerintah Indonesia terpikir sejauh ini, mengingat sekarang bisnis pakaian bekas saja, yang selain ramah lingkungan juga bagian dari kemerdekaan konsumen, dicecar sekian kementerian karena dianggap mematikan pedagang Pasar Tanah Abang.
Hari Bumi, di hadapan insentif ekonomi. Sedihnya, anak Bumi baru sampai sini.