Sejarah Bukan Pilihan
Bobot lima jam Sejarah Lanjutan adalah tawaran semu yang membuat pelajaran Sejarah bisa tidak dipilih sama sekali.
Jika diurut dari dasar, sebenarnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak ada mata pelajaran Sejarah. Dalam UU tersebut, mata pelajaran Sejarah hanya menumpang dalam nomenklatur pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (Pasal 37).
Gagasan bahwa mata pelajaran Sejarah bersifat wajib juga sama-sama tidak mendasar dari sisi peraturan perundang-undangan. Artinya, pemerintah memang tidak mempunyai kewajiban menjadikan mata pelajaran Sejarah sebagai mandatoris yang wajib dan mengikat.
Namun, karena keyakinan yang begitu kuat bahwa pelajaran Sejarah sangat penting, mata pelajaran Sejarah tetap dianggap wajib di sekolah. Puncaknya pada Kurikulum 2013 (K13), mata pelajaran Sejarah tingkat SMA sederajat membengkak jamnya.
Apa yang disebut mata pelajaran Sejarah peminatan (11 jam) berbobot lebih dari dua kali lipat pelajaran Sejarah Indonesia yang bersifat wajib (6 jam). Meskipun mendapatkan bobot jam yang besar, kedudukan hukum mata pelajaran Sejarah mudah dipatahkan dan bisa dihapus kapan saja.
Baca juga: Sejarah Diperjuangkan Jadi Mata Pelajaran Wajib
Degradasi sejarah
Sejak menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim mulai memangkas semua hal yang berhubungan dengan sejarah. Pertama, mengeluarkan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja, Direktorat Sejarah di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan dihapuskan.
Kedua, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1460 tentang Kualifikasi Akademik dan Sertifikat Pendidik dalam Pendaftaran Pengadaan Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja Tahun 2021 (SE No 1460/B.BI/GT. 02.01/2021). Isinya, kualifikasi akademik guru Sejarah bisa tidak linear dan boleh diisi oleh lulusan program studi nonsejarah atau tidak serumpun (ilmu sosial).
Jika yang pertama, secara struktur organisasi kementerian sejarah dihapuskan, pada tahap kedua, pengajar Sejarah didegradasi dasar keilmuannya melalui gagasan ”semua bisa mengajar sejarah”.
Ketiga, dalam Kurikulum Merdeka versi percobaan 2021-2024 (Kurikulum Sekolah Penggerak/Prototipe), kurikulum ini menghapus mata pelajaran Sejarah Peminatan dan membonsai pelajaran Sejarah masuk ke dalam rumpun mata pelajaran Ilmu Sosial dan disatukan dengan Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi untuk kelas X.
Tidak sampai di situ, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), mata pelajaran Sejarah tidak masuk kategori muatan wajib untuk tingkat dasar dan menengah. Serupa dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dalam PP tersebut muatan sejarah hanya dianggap bagian dasi ilmu pengetahuan sosial (Pasal 40).
Meninggalkan keusangan
Dalam Kurikulum Merdeka versi percobaan 2021-2024, pelajaran Sejarah bahkan dianggap tidak layak menempati kelompok mata pelajaran pilihan dan hanya ada sebagai mata pelajaran Sejarah Umum dengan jam yang sangat sempit (dua jam pelajaran per minggu).
Namun, penetapan Kurikulum Merdeka dalam Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Pendidikan Usia Dini Dasar dan Menengah telah mengembalikan mata pelajaran Sejarah menjadi dua, sebagaimana susunan dalam K13. Sekilas ini berita baik bagi para guru sejarah karena mengembalikan mata pelajaran Sejarah (lanjutan) sebagai pilihan setelah hilang selama 4 tahun (2021-2024).
Masalahnya, Sejarah Lanjutan sebagai pilihan harus berebut dengan 19 mata pelajaran pilihan lainnya. Sebab, dari 19 mata pelajaran pilihan, hanya boleh memilih 4-5 mata pelajaran. Ketika terpilih, Sejarah Lanjutan memiliki bobot lima jam seminggu. Bukankah ini berita baik?
Para guru sejarah harus memberikan argumentasi baru untuk mengembalikan kehormatan pelajaran Sejarah.
Masalahnya, lima jam pelajaran Sejarah Lanjutan tujuannya untuk apa? Tidak ada penjelasannya. Kemudian, apa jaminan bahwa mata pelajaran Sejarah lanjutan akan dipilih oleh siswa, alih-alih oleh sekolah?
Dengan demikian, bobot lima jam Sejarah Lanjutan adalah tawaran semu yang membuat pelajaran ’Sejarah’ bisa tidak dipilih sama sekali. Maka, patut diduga, sejak awal pelajaran Sejarah secara konsisten memang tidak dianggap penting oleh penyusun Kurikulum Merdeka.
Para guru sejarah harus memberikan argumentasi baru untuk mengembalikan kehormatan pelajaran Sejarah. Pertama, kita perlu menepis anggapan bahwa perjuangan mempertahankan mata pelajaran Sejarah hanya perkara mempertahankan jamnya saja tanpa melihat kepentingan siswa. Kedua, dasar pemikiran esensialis (sejarah sebagai ilmu) dan perenialis (sejarah sebagai kegemilangan masa lalu) yang sudah usang dan berorientasi pada romantisme sempit perlu ditinggalkan.
Mata pelajaran Sejarah Lanjutan harus menawarkan pemikiran yang memberikan jalan bagi pengalaman siswa menuju masa depan dengan dua tahapan. Pertama, ’keterlibatan’ siswa sebagai subyek yang sadar sejarah.
Baca juga: Belajar dari Sejarah Indonesia
Menurut filsuf sejarah, Zinn, sejarah harus dipandang sebagai sebuah keterlibatan manusia masa kini dalam arus sejarah (Ankersmith, 1987). Dengan demikian, para pengajar sejarah tidak sibuk dengan romantisme yang tidak melibatkan siswa sebagai bagian dari proses perubahan yang tidak pernah berhenti. Artinya, sejarah tidak dipandang sebagai peristiwa yang membeku dan berjarak dengan pengalaman siswa.
Kemudian, pada tahap kedua, diperlukan pendekatan sejarah besar (big history), yang menurut David Christian dalam buku Future Stories mengumpamakan bahwa sejarah adalah kisah masa depan (2022). Dengan demikian, siswa, alih-alih belajar sejarah, justru sedang mempelajari prakiraan (forecasting) untuk manajemen masa depan (future management).
Pendekatan ini akan membuat pelajaran Sejarah lebih lentur dalam menghubungkan isu terkini seperti bioteknologi, pemanasan global, transhumanisme, nasib galaksi hingga masa depan waktu. Pendekatan big history ini harus tertuang dalam capaian pembelajaran (CP) karena difungsikan untuk menjawab tantangan zaman.
Pilihan semu
Jika pelajaran Sejarah lanjutan masih mengandalkan perenialisme tanpa pelibatan dan romantisme yang melahirkan alienasi (rasa asing dengan masa lalu), urgensi pelajaran tambahan ini memang patut dipertanyakan. Dari sisi guru, pelajaran Sejarah Lanjutan sebagai pilihan akan berdampak pada ketidakmerataan kapasitas dalam mengajarkan sejarah.
Sebab, tidak semua sekolah akan memilih mata pelajaran Sejarah Lanjutan karena sifatnya hanya pilihan. Merugikan guru Sejarah yang lemah dalam politik ’kurikulum sekolah’ dan sebaliknya, guru sejarah yang memiliki posisi tawar tinggi dalam penyusunan kurikulum sekolah akan diuntungkan. Di sinilah lahir kesenjangan antarguru Sejarah.
Apa yang disebut ’pilihan’ siswa juga bukan pilihan yang benar-benar bebas. Sering kali, di lapangan pada era Kurikulum Merdeka versi percobaan (2021-2024), sekolah telah memilihkan paket mata pelajaran pilihan tertentu sehingga siswa sebenarnya memilih susunan mata pelajaran pilihan yang sudah dipaketkan sekolah.
Menjadikan mata pelajaran Sejarah sebagai pilihan adalah merendahkan bidang sejarah itu sendiri yang justru mengemis untuk dipelajari.
Paradoks ini sebenarnya merugikan guru, tidak memihak anak, dan merugikan masa depan pelajaran Sejarah itu sendiri. Sering kali, sekolah akan selalu mencoba mencari cara agar pilihan mata pelajaran berprinsip padat karya tenaga guru.
Maka, bukan tidak mungkin pilihan siswa akan diarahkan sesuai dengan sumber daya tenaga kerja guru yang sudah ada di sekolah beserta pertimbangan-pertimbangan lain yang kita takutkan tidak berpihak kepada pengembangan siswa itu sendiri. Belum ditambah dengan ketidaksinkronan pemenuhan kebutuhan guru PPPK di tiap sekolah negeri yang bermasalah sejak seleksi periode 2021-2024.
Pertanyaannya, apakah situasi semacam ini berhubungan dengan cita-cita dan pengembangan siswa? Apakah ini berhubungan dengan cita-cita guru sejarah yang ingin siswanya memiliki kesadaran sejarah, cinta Tanah Air, berwawasan global, sekaligus berorientasi prospektif?
Oleh sebab itu, menjadikan mata pelajaran Sejarah sebagai pilihan adalah merendahkan bidang sejarah itu sendiri yang justru mengemis untuk dipelajari. Sekali lagi: Sejarah adalah mata pelajaran terhormat.
Mata pelajaran Sejarah tidak menjamin siswa memiliki kompetensi keterampilan dunia kerja yang terus berubah. Namun, bisa dipastikan, siswa yang berhasil menginternalisasi kesadaran sejarah yang berorientasi pada masa depan akan membuat mereka utuh sebagai manusia apa pun kebutuhan zamannya.
Baca juga: Urgensi Mata Pelajaran Sejarah
Oleh sebab itu, daripada diberikan lima jam per minggu tanpa kejelasan argumen aksiologisnya, lebih baik tambahkan jam pelajaran Sejarah Umum. Kemudian, merumuskan argumentasi capaian dari mata pelajaran Sejarah secara utuh dan integral sehingga bisa mengolaborasikan sejarah Indonesia dan sejarah berwawasan global serta cakrawala sejarah besar. Inilah pekerjaan sebenarnya dari perumusan kurikulum untuk mata pelajaran Sejarah yang tidak pernah dikerjakan secara serius.
Dengan demikian, cukup 3-4 jam mata pelajaran Sejarah Umum per minggu untuk setiap jenjang (SMA sederajat kelas X, XI, XII) tanpa harus membelahnya menjadi umum dan pilihan. Melalui penetapan Kurikulum Merdeka yang melahirkan mata pelajaran Sejarah Lanjutan, pengajaran sejarah berada pada tahap negosiasi yang keliru.
Penerimaan begitu saja atas bobot lima jam sebagai mata pelajaran pilihan malah membenarkan bahwa para guru Sejarah hanya peduli jamnya saja. Para guru Sejarah harus menegosiasikan ulang tawaran semu Kurikulum Merdeka yang merugikan masa depan pengajaran sejarah dengan menawarkan argumentasi bahwa sejarah bukan pilihan, sebagaimana takdir manusia.
Iman Zanatul Haeri, Guru Sejarah; Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)