Kita seperti melihat patahan atau tikungan zaman, di mana rasionalitas mulai menguasai manusia....
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Tanpa intelektualitas manusia jalan di tempat: itulah yang terlintas di benak ketika saya menatap karya asli pelukis Gustav Klimt berjudul ”The Kiss” di kastil Belvedere (dulu Modern Gallery) di Vienna, Austria, beberapa waktu lalu.
Sosok lelaki-perempuan yang tengah berpelukan hangat oleh si pelukis digambarkan pipih tanpa volume, meleleh dan menyatu dengan seluruh ruang kanvas yang diisi dengan warna dari serpihan emas, perak, platinum, selain cat minyak yang kalau diamati secara detail menggambarkan taman bunga.
”The Kiss”, tiruannya dicetak di berbagai permukaan bahan seperti kaus, tas, gelas, dan lain-lain dan dijual sebagai cenderamata di berbagai toko di Vienna ataupun tempat-tempat lain di dunia, merupakan salah satu karya yang menjadi tonggak penting era Modern.
Modernisme sendiri bolehlah disebut sebagai puncak atau konsekuensi dari era sebelumnya, Renaisans, yang berhubungan dengan perkembangan akal dan budi manusia khususnya di Eropa. Meninggalkan Abad Pertengahan, era tersebut ditandai, antara lain, dengan karya-karya Ilahiah seniman seperti Leonardo da Vinci dan Michelangelo.
Karya-karya pada abad-abad lampau tersebut bisa dijumpai di berbagai museum atau galeri-galeri penting di dunia, terawat dan dilindungi dengan baik, didasari kesadaran: karya seni adalah tempat persembunyian kebenaran, truth, kasunyatan.
Adikarya modern seperti ”The Kiss” memanfaatkan keterampilan teknis era sebelumnya, penggambaran sempurna tentang manusia dalam hubungan dengan Tuhan yang di Eropa menghiasi banyak gereja. Pada era Modern, kepiawaian teknis itu dimanfaatkan untuk mengungkapkan gagasan baru tentang dunia yang tidak lagi melulu sakral, tapi juga bersifat profan, biasa, sehari-hari seperti ”The Kiss”tadi.
Kita seperti melihat patahan atau tikungan zaman, di mana rasionalitas mulai menguasai manusia, yang selain dirayakan, juga menimbulkan kecemasan karena sejatinya manusia selalu gamang menghadapi perubahan. Dari sudut kecemasan itulah barangkali kita bisa sedikit memahami mengapa pada masa itu Galileo Galilei tertimpa hukuman karena keyakinan barunya bahwa Bumi mengelilingi Matahari, berbeda dari keyakinan mutlak sebelumnya bahwa Bumi adalah pusat semesta alam.
Gelombang Modernisme terlihat jejaknya di berbagai sudut kota Vienna, termasuk Gedung Secession yang saya bayangkan seperti Balai Budaya Jakarta, tempat kumpul-kumpul para seniman pada zamannya. Karya seni hanya satu sisi dari implikasi perkembangan gagasan pada masa itu yang serentak terjadi di semua bidang: seni rupa, literatur, musik, teater, tari, arsitektur, sains, pengobatan, teknologi, psikologi (ingat Sigmund Freud?), filsafat, ekonomi, dan seterusnya.
Persahabatan Gustav Klimt dengan pematung Perancis, Auguste Rodin, menghasilkan karya yang di mata saya tak kalah menakjubkan, yakni ”Adam and Eve” yang berbeda dari pendekatan surgawi pada era sebelumnya. Ini lebih ”duniawi”. Lukisan itu disandingkan dengan patung Rodin berjudul ”Eva” yang mengilhami Klimt membikin karya tersebut. ”Eva”, patung perunggu karya Rodin, menampilkan sosok sang Ibu Bumi itu telanjang, membenamkan wajah di tangan, hemm, mungkin malu.
Karya Rodin sendiri yang terkenal dan mendunia seperti ”The Kiss” karya Klimt adalah ”The Thinker” atau Sang Pemikir. Patung itu menggambarkan seorang lelaki duduk bertopang dagu, tenggelam dalam kontemplasi dan pemikiran mendalam.
Selain oleh karya-karya seni di atas, penanda apa lagi yang mewarnai patahan zaman dari era Ilahiah menuju era supremasi pikiran tadi?
Pandemi merebak di Eropa, dicatat sejarah dengan nama spanish flu yang menelan korban puluhan juta jiwa, termasuk Gustav Klimt. Murid Klimt, pelukis tak kalah kondang bernama Egon Schiele, melukis gurunya di kamar mayat. Beberapa hari kemudian Schiele ketularan, nyusul ke akhirat. Pada waktu itu pula sebelum pandemi pecah Perang Dunia I, tahun 1914-1918.
Ada ungkapan, La historia return, cerita berulang.
Agak merinding saya mengontemplasikan zaman ini dengan kenangan kelabu pandemi Covid yang baru saja berlalu, kemudian menyusul perang, baik di Ukraina maupun Timur Tengah.
Sama gamangnya saya melihat patahan zaman, ketika kecerdasan alami jadi kecerdasan gadungan, being jadi clicking, ”menjadi” jadi ”otomatisasi”, rasionalisme jadi jempolisme. Manusia kian direduksi keutuhannya.
”Jaman digital iki kerjo ora ono preine, Mas,”kata seorang teman dalam bahasa Jawa (Zaman digital ini kerja tak ada libur, Mas).
Entah peradaban macam apa menghadang di depan kita dengan kondisi seperti ini.