Polemik Bandara Internasional Vs Bandara Domestik
Seluruh bandara di Indonesia yang telah tersertifikasi sesungguhnya telah memenuhi standar keselamatan internasional.
Melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2024, pada 2 April 2024, Kementerian Perhubungan menetapkan 17 bandara sebagai bandara yang melayani rute internasional. Ratusan bandara lainnya hanya melayani penerbangan domestik. Bagaimana nasib bandara- bandara yang tidak lagi melayani penerbangan internasional ini?
Bagi sejumlah pemerintah daerah dan warga yang bandara di daerahnya dinyatakan tak lagi melayani penerbangan internasional reguler, keputusan itu dirasakan seperti pasien yang divonis menderita kanker. Tinggal menghitung sisa waktu, sulit untuk pulih sehat kembali. Dunia seakan gelap, langit runtuh. Apakah sedemikian dahsyatnya dampak keputusan itu?
Sebagian besar tanggapan publik mengandung tiga unsur. Pertama, mempertanyakan mengapa provinsinya tak lagi punya bandara internasional, padahal ada beberapa bandara di provinsi tersebut. Kedua, merasa dipersulit untuk terbang ke luar negeri. Ketiga, menganggap bandara domestik lebih rendah kastanya dibandingkan bandara internasional.
Baca juga : Pemerintah Cabut Status Internasional 17 Bandara
Tak ada beda
Di sini pentingnya pemahaman mengenai bandara domestik dan bandara internasional. Seluruh bandara di Indonesia yang telah tersertifikasi sesungguhnya telah memenuhi standar keselamatan internasional secara teknis, sesuai dengan kapasitas yang dioperasikan.
Soal kecanggihan, kemewahan, dan kenyamanan tak ada bedanya di antara keduanya. Landasan pacu sama, lapangan parkir pesawat sama, fasilitas dan pelayanan navigasi sama. Yang membedakan hanyalah tersedianya gedung terminal yang terpisah antara pergerakan domestik dari pergerakan internasional, di mana di dalamnya tersedia fasilitas dan pelayanan imigrasi, kepabeanan (Bea dan Cukai), serta karantina.
Dalam industri penerbangan disebut sebagai ICQ, singkatan dari immigration, customs, and quarantine. Jelas tidak ada perbedaan kasta antara bandara domestik dan internasional.
Sebelum pandemi, ada 34 bandara di Indonesia yang diizinkan melayani penerbangan rute internasional. Namun, dalam praktiknya, kurang dari 15 bandara yang aktif melayani rute antarnegara. Sebagian yang aktif, hanya melayani 1-3 keberangkatan per pekan, dengan jumlah penumpang yang sedikit dan secara ekonomi tak sepadan dengan biaya yang harus ditanggung untuk pelayanan penerbangan internasional, yaitu biaya pelayanan ICQ.
Dari 15 bandara itu, praktis hanya lima yang melayani penerbangan rute internasional ke lebih dari dua negara, yaitu Soekarno-Hatta (Banten), Juanda (Jawa Timur), I Gusti Ngurah Rai (Bali), Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), dan Sam Ratulangi (Sulawesi Utara).
Bandara-bandara internasional lainnya hanya melayani rute Singapura dan Malaysia. Itu pun dengan taraf keterisian (passenger load factor) yang tak terlalu menarik bagi maskapai penerbangan sehingga mereka mengurangi jadwal atau frekuensi penerbangan.
Data pergerakan masuk dan keluar penumpang menunjukkan, pada 15 bandara itu, 70-90 persen penumpangnya adalah pemegang paspor Indonesia. Ini indikasi bahwa keberadaan bandara internasional hanya memfasilitasi warga kita ke luar negeri, tetapi tidak efektif mendatangkan tamu dari negara lain. Bandara-bandara kita praktis hanya menjadi pengumpan bagi bandara di Singapura dan Malaysia. Kondisi ini tentu tak menguntungkan bagi Indonesia.
Bagi sejumlah pemerintah daerah dan warga yang bandara di daerahnya dinyatakan tak lagi melayani penerbangan internasional reguler, keputusan itu dirasakan seperti pasien yang divonis menderita kanker.
Rendahnya jumlah tamu dari negara lain tidak lepas dari minimnya upaya pemda dalam mempromosikan potensi daerahnya di luar negeri. Belum tampak upaya pemasaran daerah yang komprehensif dan berkelanjutan untuk memperkenalkan potensi perdagangan, industri, pendidikan, wisata, dan sebagainya di Singapura dan Malaysia, alih-alih di negara-negara lain. Sebaliknya, agen- agen perjalanan justru aktif menawarkan paket wisata, berobat, studi, dan lain-lain di Singapura dan Malaysia.
Selama pandemi, jumlah bandara internasional dirampingkan menjadi hanya tujuh, kemudian ditambah menjadi 15 hingga saat ini, dan selama ini baik- baik saja. Tak ada gejolak publik. Reaksi baru muncul ketika Kemenhub No 31/2024 diterbitkan. Padahal, keputusan itu justru menambah jumlah bandara internasional dari 15 menjadi 17.
Sebagian masyarakat juga menganggap bahwa keputusan Menhub itu merupakan vonis mati bagi bandara di daerahnya untuk tidak lagi melayani penerbangan rute lintas negara.
Perlu dicermati bahwa Peraturan Menhub No 40/2023 tetap membuka peluang bagi bandara di luar 17 bandara tersebut untuk dapat tetap melayani penerbangan internasional secara insidental atau tidak berjadwal.
Seperti penerbangan medevac (evakuasi pasien untuk perawatan di luar negeri), penerbangan charter (baik charter umum maupun charter khusus, misalnya untuk jemaah umrah), penerbangan untuk pergelaran kompetisi olahraga internasional, konferensi internasional, serta embarkasi haji.
Bandara Adi Soemarmo (Surakarta), Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II (Sumatera Selatan), dan Bandara Syamsudin Noor (Kalimantan Selatan) tidak masuk dalam 17 bandara internasional, tetapi tetap berfungsi sebagai embarkasi haji. Pelayanan ICQ untuk penerbangan internasional yang tak berjadwal tetap disediakan oleh instansi terkait bilamana diperlukan. Tidak secara dedicated selalu tersedia di bandara.
Sudah lama penulis mengusulkan kepada Kementerian Perhubungan untuk tidak menggunakan kata ”internasional” dalam nama bandara. Setiap bandara di Indonesia setiap saat bisa melayani penerbangan domestik saja atau juga melayani rute lintas negara. Tergantung kebutuhan dan perkembangan.
Kita lihat bandara-bandara besar di negara lain, seperti Schiphol (Amsterdam), Charles de Gaulle (Paris), Gatwick dan Heathrow (London), John F Kennedy (New York), Narita dan Haneda (Jepang), Incheon (Korea Selatan), dan Changi (Singapura). Semuanya tidak menyandang kata ”internasional”.
Kata ”internasional” di nama bandara hanya sebagai pemuas ego saja sehingga justru menjadi masalah karena seolah- olah bandara internasional lebih hebat, kastanya lebih tinggi daripada bandara domestik. Padahal, semua standar keselamatan dan teknis sama. Yang membedakan hanya rute penerbangan yang dilaksanakan oleh maskapai penerbangan. Apakah maskapai penerbangan juga harus menyandang nama ”internasional” atau ”domestik” dalam namanya?
Penetapan 17 bandara internasional ini menggunakan instrumen keputusan menteri, suatu regulasi yang sifatnya sangat fleksibel, dapat diperbaiki, diubah, dan dicabut cukup oleh menteri bersangkutan.
Bukan vonis mati
Selain kebanggaan atau prestise, daerah yang memiliki bandara yang melayani rute penerbangan internasional juga mendapat manfaat akses langsung (direct access) dari sejumlah negara sehingga mendukung kegiatan ekonomi (tidak hanya wisata) serta sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan).
Ibaratnya kita buka warung di pinggir jalan besar, tentu lokasi lebih strategis karena mendapat eksposur lebih luas sehingga potensi bisnis lebih besar daripada jika berada di jalan yang sempit.
Namun, lokasi strategis saja bukan jaminan sukses. Terbukti banyak warung yang mblusuk tetapi jauh lebih laris dikunjungi pelanggan daripada restoran di jalan besar. Istilah netizen, hidden gem. Warung di gang sempit bisa lebih sukses jika menawarkan daya tarik khas dan kompetitif. Tak hanya produknya yang unggul, suasana, pelayanan, reputasi, dan kepuasan pelanggan juga berkontribusi terhadap sukses warung kita.
Hal serupa berlaku pula bagi daerah- daerah yang tak punya bandara yang melayani rute internasional. Tak perlu khawatir tak laku walau tak ada akses penerbangan langsung dari luar negeri jika memang punya atraksi perdagangan, industri, wisata, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, dan sebagainya yang menarik bagi daerah dan negara lain. Niscaya akan tetap ramai dikunjungi. Kunci sukses pemasaran tidak hanya promosi dan harga murah.
Untuk mendatangkan tamu dari luar negeri tak cukup sekadar promosi. Industri pendukung seperti perhotelan, rumah makan, pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan tarif juga penting. Demikian pula konektivitas angkutan lanjutan dari dan ke bandara perlu ditata rute, tarif, dan standar pelayanannya. Untuk itu, perlu regulasi dan kebijakan daerah yang mendukung.
Tak kalah penting, membekali warganya agar menjadi sadar internasional, yaitu bersikap ramah, helpful terhadap tamu dari negara lain, mampu menangkap peluang bisnis sesuai selera dan kemampuan tamu-tamu asing.
Dua indikator bandara internasional yang sehat adalah jumlah penumpang rute internasional mayoritas terdiri dari warga negara lain, atau minimal seimbang antara warga setempat dan warga negara lain, serta tingkat keterisian pesawat konsisten di atas 70 persen untuk keberangkatan (outbound) dan kedatangan (inbound), baik untuk penumpang maupun kargo. Untuk mencapai itu, perlu upaya pemasaran yang tepat sasaran dan berkelanjutan di negara-negara yang dibidik.
Jika pengunjung dari luar negeri meningkat signifikan, maskapai-maskapai penerbangan yang selalu mencermati pertumbuhan potensi pasar juga akan mengajukan izin rute. Ketika maskapai penerbangan gencar mengajukan izin rute penerbangan lintas negara, maka Kemenhub akan melakukan kajian kelaikan untuk membuka rute itu walau bandara belum berstatus internasional.
Baca juga : Label Bandara Internasional Lebih Banyak Mubazir
Penetapan 17 bandara internasional ini menggunakan instrumen keputusan menteri, suatu regulasi yang sifatnya sangat fleksibel, dapat diperbaiki, diubah, dan dicabut cukup oleh menteri bersangkutan. Tak perlu melalui proses perundang-undangan yang panjang seperti peraturan menteri, peraturan presiden, peraturan pemerintah, dan undang-undang. Dengan demikian, tetap terbuka kemungkinan bandaranya kembali melayani penerbangan internasional jika daerah menginginkan.
Alvin Lie Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI)