Pendidikan dan Ketimpangan Struktural
Negara harus turun tangan dan hadir di tengah rakyatnya agar akses dan hak-hak pendidikan mereka terjamin.
Di tengah ingar-bingar kebijakan pendidikan yang dikeluarkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, kita masih melihat bahwa ketimpangan struktural menjadi masalah laten yang terjadi dalam praktik pendidikan.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024 adalah peringatan terakhir di bawah kepemimpinan Mendikbudristek Nadiem Makarim, yang akan menuntaskan kinerjanya hingga pergantian pemerintahan pada 20 Oktober 2024.
Peringatan Hardiknas tahun ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan apa yang sudah dilakukan oleh Nadiem Makarim sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam pendidikan di Indonesia.
Dua terobosan penting yang dilakukan Nadiem adalah menghapus ujian nasional (UN) dan meluncurkan program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM) dengan berbagai turunan programnya. Kebijakan pertama mendapatkan respons positif dari publik, tetapi kebijakan kedua menghadapi pro dan kontra dari pemangku kepentingan pendidikan.
Baca juga: Bahaya Liberalisasi Pendidikan
Kebijakan MBKM dengan berbagai varian programnya menandai ”identitas” kebijakan pendidikan Nadiem yang membedakan dengan menteri-menteri sebelumnya. Kepemimpinan Nadiem sempat dihadapkan pada suasana pandemi Covid-19. Dalam situasi darurat pandemi dan masa pemulihan dari pandemi saat itu, kita bisa melihat pendidikan terkesan berlangsung dengan wajah ”tergopoh-gopoh” dalam perangkat kebijakan yang tidak siap.
Terlepas dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan Nadiem, peringatan Hardiknas 2024 masih dihadapkan pada isu ketimpangan struktural di masyarakat. Kita harus mengakui, pandemi menyebabkan kian meningkatnya ketimpangan sosial-ekonomi di masyarakat.
Masyarakat kelas menengah (perkotaan) bisa bertahan dalam pendidikan di pandemi Covid-19, tetapi kelas sosial bawah berbasis perdesaan sangat terdampak krisis Covid-19. Data Unicef menyebutkan, ada 24 juta siswa yang diproyeksikan putus sekolah akibat Covid-19.
Di masyarakat pedalaman, siswa tidak hanya menghadapi beban biaya kuota internet untuk mengakses materi pelajaran yang berat, tetapi juga kesulitan akses listrik. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), ada 171,17 juta jiwa atau 64,8 persen penduduk Indonesia yang sudah terhubung dengan internet.
Kontribusi terbesar atas penetrasi internet di Indonesia berasal dari Pulau Jawa, sementara penduduk di wilayah perdesaan masih menghadapi kendala dalam akses internet.
Oleh karena itu, salah satu agenda penting setelah 2024 adalah kerja-kerja advokasi untuk kelompok-kelompok rentan (disadvantage groups), seperti guru pedalaman dan masyarakat miskin yang tak bisa mengakses pendidikan jarak jauh (PJJ).
Ketimpangan struktural
Sebagai masalah laten, publik mungkin tak bisa melihat ketimpangan struktural dalam pendidikan ini sebagai fenomena yang tampak mata. Akan tetapi, dalam perspektif sosiologis, ketimpangan struktural ini mengakar dalam struktur sosial-ekonomi di masyarakat. Kita melihat bahwa pendidikan berjalan dengan semestinya di daerah perkotaan atau Pulau Jawa, tetapi kondisi yang bertolak belakang terjadi di daerah-daerah yang berada di perdesaan, pedalaman, perbatasan, dan pegunungan.
Tak ada pilihan, negara harus turun tangan dan hadir di tengah rakyatnya agar akses dan hak-hak pendidikan mereka terjamin secara pasti.
Mereka sering kali tak tersentuh dengan kebijakan-kebijakan pusat. Bagaimana mereka mengenal istilah seperti marketplace pendidikan atau P5 jika koneksi listrik belum ada dan jumlah guru juga terbatas? Bagaimana mereka akan mengajarkan Kurikulum Merdeka jika mereka masih melaksanakan Kurikulum 2006 atau yang biasa disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)?
Ketimpangan struktural ini akan terus bertahan sejalan dengan problem struktural ekonomi di daerah-daerah. Ini masalah serius karena bisa menjadi gunung es yang berpotensi memicu konflik kelas di masyarakat. Yang harus dilakukan adalah intervensi negara untuk menyelamatkan pendidikan.
Di sisi lain, kita juga harus mengantisipasi risiko lain, yaitu kerentanan pendidikan dengan angka putus sekolah yang sangat tinggi. Hal ini sangat mungkin terjadi seiring dengan krisis ekonomi yang melanda masyarakat kelas bawah.
Tak ada pilihan, negara harus turun tangan dan hadir di tengah rakyatnya agar akses dan hak-hak pendidikan mereka terjamin secara pasti. Negara tak bisa serta-merta menyerahkan sepenuhnya ranah pendidikan ini kepada pasar yang lama-kelamaan semakin mengeksploitasi kondisi sosial-ekonomi masyarakat itu sendiri.
Nalar dan akal budi
Kondisi bahwa pendidikan Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain menjadi fakta tak terbantahkan. Berbagai survei internasional menempatkan peringkat pendidikan Indonesia di posisi rendah. Data paling mutakhir, survei PISA 2022 yang diumumkan 5 Desember 2023. Indonesia di peringkat ke-68 dengan skor matematika 379, sains 298, dan membaca 371.
Skor PISA mencerminkan krisis pendidikan di Tanah Air. Menjadi pekerjaan rumah Mendikbudristek baru nanti untuk menggenjot dan mengejar kualitas pendidikan guna mengatasi ketertinggalan dari negara lain.
Ironisnya, pemerintah justru membanggakan kenaikan peringkat atau ranking tersebut. Bukan melihat substansi di balik skor yang ada. Pendidikan juga bukan semata ihwal ranking dunia. Pendidikan juga bukan sekadar mengejar dan ”menjual’’ ranking internasional yang bertengger di dunia tanpa menyentuh akar masalah kualitas pendidikan.
Memberikan bantuan kuota internet kepada mahasiswa tak berarti masalah pendidikan akan terselesaikan. Pendidikan pun tak melulu berbicara kurikulum yang canggih. Pendidikan adalah senyawa yang menggerakkan rasa, pikir, dan perilaku kita. Pendidikan adalah bagaimana nalar dioperasikan dalam perilaku keseharian kita. Pendidikan menempatkan nalar sesuai dengan yang melekat dalam diri individu dan masyarakat.
Kondisi bahwa pendidikan Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain menjadi fakta tak terbantahkan.
Mengapa kita perlu kembali mengingatkan betapa penting nalar dan akal sehat dalam praktik pendidikan kita saat ini? Kenapa kita perlu mempertanyakan bangunan pendidikan yang fondasinya kian luntur? Nalar dan akal budi luntur di keseharian masyarakat kita.
Ada berbagai fakta empiris yang membuat kita prihatin dengan gejala ini. Banyaknya masyarakat yang dengan mudah memercayai berita hoaks adalah salah satu contoh. Ironisnya, mereka ini bukan hanya masyarakat biasa, melainkan juga kalangan berpendidikan dan kelas menengah yang seharusnya bisa menyaring dan mengonfirmasi kebenarannya.
Artinya, pendidikan kita masih belum melegasikan sikap dan perilaku cerdas yang mengantarkan individu siap mengarungi realitas sosial. Pendidikan belum bisa melaksanakan tugasnya menanamkan kecakapan sosial (social ability). Pendidikan defisit menanamkan keluhuran akal budi dan nalar yang sehat bagi individunya.
Pendidikan hanya melahirkan rasionalitas jangka pendek yang terlokalisasi di bangku formal. Pendidikan kita masih terjebak pada ruang formalistik di bangku sekolah dan perguruan tinggi. Fenomena krisis pendidikan di masyarakat modern saat ini sejalan dengan yang dijelaskan sosiolog Wright C Mills sebagai rationality without reason. Pemerintah dan pendidikan tinggi sibuk mengejar ranking prestasi pendidikan dunia, tetapi abai membangun fondasi akal budi dan nalar sehat.
Baca juga: Korupsi Perburuk Ketimpangan Akses Pendidikan
Yang terjadi, pendidikan berorientasi pada rasionalistik formal sebagai manifestasi kemajuan pendidikan. Pemerintah sibuk dengan perombakan kurikulum yang menyedot perhatian berbagai pemangku kepentingan. Kurikulum seolah faktor determinan dalam keberlangsungan pendidikan. Padahal, secanggih apa pun kurikulum, tanpa menggenjot kualitas guru, maka kurikulum tak akan bermakna.
Pemerintah juga sibuk dengan sertifikasi dan akreditasi di semua jenjang pendidikan. Sementara itu, guru juga sibuk dengan pekerjaan administrasi yang menyita waktu dan energi. Pendidikan dikelola sebagai komoditas yang hanya menghasilkan manusia-manusia modern yang menjadi robot industri. Akibatnya, karena masih berkutat di ruang formal, pendidikan belum teruji pada level sosial masyarakat.
Pendidikan kita masih teralienasi dari public issue dan struktur sosial. Inilah yang menyebabkan belum terciptanya dialektika antara pendidikan dan masyarakat. Kita menyaksikan masih adanya negasi antara pendidikan dan masyarakat.
Rasionalitas tanpa nalar juga tecermin dari maraknya produksi slogan dan jargon pendidikan, seperti Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, guru penggerak, marketplace, sekolah penggerak, kepala sekolah penggerak. Berbagai narasi slogan ini jika diperhatikan saksama menjadi kontraproduktif dalam ranah kebijakan pendidikan.
Publik terjebak pada ”kemasan’’ jargon tersebut tanpa bisa memiliki basis argumentasi dan epistemologis kuat di balik slogan itu. Semua institusi pendidikan berlomba-lomba mempraktikkan semua slogan tersebut tanpa melihat akar masalah utama yang terjadi dalam pendidikan, seperti lemahnya tradisi akademik, sarana-prasarana, serta peningkatan kualitas SDM tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Ketiga agenda ini lebih strategis dibandingkan dengan berbagai slogan yang kemudian hanya menjadi proyek sesaat. Slogan menjadi proyek dan kemudian hilang esensinya. Itulah yang terjadi saat ini.
Keberlanjutan dan masa depan
Mendikbudristek Nadiem Makarim menyisakan setumpuk masalah yang harus dihadapi penggantinya. Catatan pentingnya adalah bagaimana keberlanjutan dan masa depan pendidikan lima tahun ke depan atau jangka panjang.
Keberlanjutan dalam praktik pendidikan ini penting karena kita berbicara masa depan bangsa dan jutaan generasi penerus yang bersinggungan dengan sekolah dan pendidikan. Menjadi masalah serius jika pengganti Nadiem akan mengganti semua kebijakan Nadiem dan mengubahnya dengan yang serba baru dan beda.
Sebagaimana pemeo selama ini, ”ganti menteri, ganti kebijakan”. Nadiem ketika pertama dilantik pun demikian, mencoba mencari pembeda dengan menteri sebelumnya. Ia membawa gerbongnya untuk mendobrak berbagai kebijakan yang selama ini ada dan menggantinya dengan kebijakan baru. Menteri baru pun akan melihat kebijakan yang ada sebagai sesuatu yang bermasalah, tak beres, dan harus dirombak.
Cara kerja serampangan yang selama ini sering dilakukan sangat tak baik dalam mengelola pendidikan karena menyangkut masa depan jutaan anak.
Begitulah siklus kebijakan yang menegasikan prinsip keberlanjutan sebagai fondasi kebijakan publik. Saya menjumpai guru-guru di sekolah dalam suasana stres dan tertekan karena berbagai platform aplikasi digital pembelajaran yang ”membunuh” kebebasan dirinya sebagai insan pendidikan. Di beberapa hal, kondisi itu tepat untuk dikoreksi sebagai revisi kebijakan karena membebani kinerja dan beban guru.
Ada hal yang perlu direvisi dan dikoreksi untuk penyempurnaan. Ada baiknya melihat hal-hal prinsip dan mengedepankan keberlanjutan dalam tata kelola pendidikan nasional. Cara kerja serampangan yang selama ini sering dilakukan sangat tak baik dalam mengelola pendidikan karena menyangkut masa depan jutaan anak.
Rakhmat Hidayat, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ); Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)