Hardiknas dan Manusia Indonesia
Tanpa sejarah dan ilmu bumi, kita tidak akan mampu menempatkan diri dengan tepat dalam kehidupan global ini.
Tanggal 2 Mei kemarin kita memperingati Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas, yang bertepatan dengan tanggal lahirnya Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara ditetapkan oleh pemerintah sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
Peringatan Hardiknas kali ini berlangsung di tengah-tengah kemelut sengketa hasil Pilpres dan Pileg 2024 yang baru diputus atau tengah diproses di Mahkamah Konstitusi.
Akar dari berbagai kontroversi dan kehebohan terkait pilpres dan pemilu yang belum pernah terjadi sebelumnya di negeri ini tersebut, jika melihat jauh ke belakang, dari kacamata Tamansiswa, adalah gambaran gagalnya pengajaran nasional kita untuk mendidik manusia Indonesia yang berpekerti luhur, beretika, dan bermoralitas anggun sebagaimana digariskan oleh Ki Hadjar.
Baca juga: Seabad Taman Siswa Mengawal Arah Pendidikan Nasional
Maka, terjadilah karut-marut di masyarakat. Ibaratnya, ketidakjujuran, ketidakbenaran, dan ketidakadilan diwajarkan. Kebenaran, kejujuran, dan keadilan tidak dihargai lagi. Indonesia menjadi ”negeri sandiwara” yang menjadi sorotan memalukan dunia internasional.
Dasar pendidikan yang diajarkan Ki Hadjar yang mengutamakan pendidikan karakter untuk menghindari Tri Pantangan (pantang menyalahgunakan wewenang, melanggar tertib keuangan, melanggar kesusilaan).
Tata kelola yang baik (good governance) Indonesia telah luntur, tak lagi mampu menyelenggarakan Trilogi Kepemimpinan yang tangguh: ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dengan demikian itu, ajaran ketamansiswaan untuk hidup secara tertib, damai, salam, dan bahagia tidak lagi menjadi acuan hidup bersama.
Maklumat pendidikan
Ki Hadjar pada November 1928 telah menggariskan suatu maklumat pendidikan tentang perlunya kita menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang berpedoman pada ideologi kebangsaan: ”...Pengajaran harus bersifat kebangsaan.... Kalau pengajaran bagi anak-anak tidak berdasarkan kenasionalan, anak-anak tak mungkin mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita...”.
Tamansiswa boleh merasa ikut mendirikan negara Indonesia. Ki Hadjar adalah anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan kemudian anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebagai anggota PPKI, Ki Hadjar ikut mengesahkan UUD 1945. Oleh karena itu, orang-orang Tamansiswa senantiasa menyadari tugas mulianya, yaitu ikut merawat Republik Indonesia.
Ki Hadjar telah berperan pula dalam merumuskan Pasal 31 UUD 1945, yang saat itu didukung oleh sebuah tim yang terdiri dari tokoh-tokoh intelektual tangguh, yaitu Prof Hoesain Djajadiningrat, Prof Asikin, Prof Rooseno, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Kiai Hadji Masjkoer. Yang menakjubkan pada rumusan Pasal 31 UUD 1945 adalah Ayat 2-nya yang menyatakan: ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional…”.
”Satu sistem” pengajaran nasional itu sesuai benar dengan tuntutan keindonesiaan kita, di mana warga negaranya terdiri dari anak-negeri yang bineka (bermacam-macam suku, budaya, kebiasaan, dan tradisi).
Tanpa mengenal sejarah perjuangan bangsa, kita akan kehilangan jati diri bangsa.
Dengan ”satu sistem” pengajaran nasional itu, warga negara yang bineka ini bisa ditransformasikan menjadi tunggal ika, yaitu satu dalam pola pikir keindonesiaan, satu dalam pandangan hidup, yang dapat secara nasional membentukkan rasa kebersamaan, rasa kekeluargaan, dan satu persatuan hati.
Ketunggalikaan dalam kebinekaan yang indah itu adalah dasar untuk mengabdi kepada satu Ibu Pertiwi, dengan dasar kebangsaan dan kenasionalan Indonesia.
Lebih dari itu, Ki Hadjar juga perumus Pasal 32, yang isinya adalah: ”Pemerintah memajukan kebudayaan nasional”.
Rumusan ini sangat tepat. Kebudayaan bangsa sebagaimana yang dirumuskan Ki Hadjar adalah ”kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, kemajuan budaya, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa sendiri. Intinya adalah kita mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”.
Di situlah kita melihat Ki Hadjar sebagai seorang budayawan paripurna berpandangan luas ke masa depan kita.
Budi pekerti
Kita perlu mengusahakan kembali pengajaran di Indonesia yang mengutamakan terbentuknya budi pekerti luhur. Kita wajib menjunjung tinggi guru-guru kita pada posisi terhormatnya, yaitu melalui kemampuannya menghasilkan anak negeri yang berkarakter dan berintegritas tinggi.
Yang alam pikiran dan tindak-tanduknya sekaligus juga berpedoman ke nilai-nilai ketamansiswaan lawan sastra ngesti mulya (dengan ilmu kita mencita-citakan kebahagiaan dan kesejahteraan), suci tata ngesti tunggal (dengan suci hati kita mencita-citakan kesempurnaan), dan yang berkepribadian ngandel-kendel-bandel-kandel (percaya kepada Tuhan, berani, bertekad hati, percaya diri).
Sekali lagi, Ki Hadjar ikut mendirikan Republik Indonesia sehingga Tamansiswa harus pula ikut merasa mendirikan Republik Indonesia. Oleh karena itu, Tamansiswa wajib bersama-sama merawat sebaik-baiknya Republik Indonesia, jangan sampai abai terhadap gejala disintegrasi nasional.
Dengan demikian, para terpelajar kita harus bisa mendampingi pemerintah untuk mengisi Pasal 31 Ayat 2 dan berperan sebagai curriculum leader.
Sebagai anggota PPKI, Ki Hadjar ikut mengesahkan UUD 1945. Oleh karena itu, orang-orang Tamansiswa senantiasa menyadari tugas mulianya, yaitu ikut merawat Republik Indonesia.
Kita harus mempersiapkan diri untuk membangun masa depan Indonesia, jangan sampai mata pelajaran budi pekerti, sejarah, ilmu bumi, dan bahasa Indonesia tidak diajarkan lagi di ruang-ruang kelas.
Tanpa mengenal sejarah perjuangan bangsa, kita akan kehilangan jati diri bangsa. Tanpa ilmu bumi, kita tidak akan mengenal Tanah Air kita yang sangat kaya raya ini. Tanpa sejarah dan ilmu bumi, kita tidak akan mampu menempatkan diri dengan tepat dalam kehidupan global ini.
Sri-Edi Swasono, Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa