Krisis Pendidikan Tinggi
Kita perlu merefleksikan kembali apa yang sesungguhnya terjadi dalam dunia pendidikan kita hari ini.
Seorang rektor dari sebuah universitas swasta di Gorontalo dilaporkan ke polisi karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap 12 korban.
Polisi menyatakan baru delapan orang yang melaporkan kasus itu. Korbannya adalah dosen, pegawai, dan mahasiswa. Kasus ini telah didalami Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS).
Kasus ini muncul seminggu setelah kasus publikasi 160 artikel ilmiah oleh seorang profesor dalam 120 hari di 2024. Sebelumnya, Januari 2024, diduga terjadi korupsi pengelolaan dana penelitian senilai lebih dari Rp 1 miliar di Universitas Lampung (Unila). Setahun lalu, seorang mantan Rektor Unila divonis 10 tahun penjara karena kasus suap penerimaan mahasiswa baru.
Di luar kasus yang belum terungkap, deretan kasus yang mengemuka ini memberikan mosaik mutakhir kondisi pendidikan tinggi di Indonesia.
Agar Hari Pendidikan Nasional bulan ini tidak berlalu begitu saja dan hanya ritual upacara kenegaraan, kita perlu merefleksikan kembali apa yang sesungguhnya terjadi dalam dunia pendidikan kita hari ini. Bagaimana nilai-nilai yang mau dicapai pemerintah untuk lima hingga sepuluh tahun mendatang?
Baca juga: Hendak ke Mana Pendidikan Tinggi Indonesia?
Krisis multidimensi
Idealnya, perguruan tinggi merupakan benteng terakhir untuk kognisi, moralitas, dan kompetensi publik. Dalam perspektif sosiologis, masyarakat membutuhkan produk-produk perguruan tinggi berupa temuan dari hasil penelitian, kompetensi sumber daya manusia (SDM), dan sikap yang proaktif terhadap kemanusiaan.
Faktanya, kasus-kasus yang mengemuka dalam setahun terakhir adalah penanda krisis multidimensi dalam pengembangan pendidikan tinggi.
Secara umum, pendidikan tinggi mencakup empat dimensi, yakni dimensi sikap spiritual, sosial, kompetensi, dan keterampilan. Jika direfleksikan, tampak jelas kasus-kasus di perguruan tinggi mencakup empat dimensi ini.
Pertama, dalam kasus sikap sosial, kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh rektor memberikan penanda bahwa krisis moral itu terjadi justru di lingkup para pendidik. Langkah pemerintah sangat terlambat saat menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Peraturan itu berimplikasi terhadap pembentukan Satgas PPKS di lingkungan kampus. Faktanya, hal itu tidak menyelesaikan krisis moral yang sedang terjadi. Kewenangan, komposisi anggota satgas, dan operasionalisasi di lapangan tak lebih sebagai langkah setengah-setengah yang tidak berarti apa-apa.
Dalam kasus suap, bekas Rektor Unila Karomani divonis 10 tahun penjara atas kasus suap penerimaan mahasiswa baru pada 25 Mei 2023. Terdakwa lain, Rektor 1 Unila Heryandi dan eks Ketua Senat Unila M Basri divonis 4 tahun 6 bulan penjara.
Intelektualitas sebagai proyek
Kedua, dalam kasus kompetensi, hal itu tampak jelas dalam publikasi artikel ilmiah. Seorang dekan mengundurkan diri dari jabatannya setelah diterpa kasus penerbitan 160 artikel dalam empat bulan pada tahun 2024. Menurut pelaku, hal itu merupakan bagian dari kegiatan akreditasi program studi ekonomi dan bisnis.
Kasus tersebut belum mengikutsertakan kasus jiplakan artikel yang melibatkan para guru besar, dugaan jiplakan disertasi yang dilakukan oleh rektor, korban jurnal predator pada sejumlah calon doktor, serta kasus joki menjadi guru besar yang menjamur di semua perguruan tinggi di Indonesia.
Pemerintah belum terlambat untuk melakukan revaluasi terhadap kebijakan-kebijakan strategis dalam pengembangan nilai-nilai dasar perguruan tinggi.
Ketiga, dalam kasus penelitian, Komite Pemantau Pembangunan dan Hak Asasi Manusia (KPP-HAM) Lampung membuat laporan ke polisi pada 10 Januari 2023. Dalam laporan itu ada dugaan korupsi dana penelitian sebesar Rp 1.128.000.000. Tindak korupsi itu dilakukan oleh tiga pejabat Unila.
Modusnya dengan cara memecah proyek menjadi kecil-kecil untuk menghindari lelang. Karena tidak ada lelang, penelitian bisa dilakukan melalui penunjukan langsung. Terjadi pula pencatutan nama-nama dosen sebagai ketua pelaksana penelitian. Setelah uang ditransfer ke nama dosen yang bersangkutan, seorang oknum meminta agar dana transfer itu dikembalikan karena hanya ”meminjam nama”.
Kasus lain, 123 peneliti BRIN dikenai sanksi etis karena telah melaksanakan satu riset atas nama 123 periset. Lazimnya, sebuah publikasi hanya ditulis oleh satu atau tiga orang, seperti nama calon doktor, promotor, dan calon promotor.
Publikasi berjudul ”A Chronicle of Indonesia’s Forest Management: A Long Step Forwards Environmental Sustainability and Community Welfare” itu dimuat di jurnal Land pada 16 Juni 2023. Mereka mendapatkan sanksi pemotongan tunjangan kinerja sebesar 30 persen selama setahun per Januari 2024. Seorang pejabat mengalami penurunan pangkat karena dianggap melakukan pembiaran akal-akalan penelitian itu.
Dari kasus-kasus di atas, jadi inilah etika pendidikan tinggi kita yang dapat digambarkan pada masa depan. Untuk pengakuan intelektual dan karier guru besar, hanya soal jual-beli; penerbitan jurnal hanya masalah lalu lintas uang tunai; dana penelitian adalah sumber korupsi yang harus dikuasai perorangan atau bersama-sama; dan relasi di sivitas akademika adalah homo homini lupus.
Fakta-fakta ini memberikan petunjuk tentang perlunya merefleksikan kembali sendi-sendi dasar pendidikan institusi perguruan tinggi. Pemerintah belum terlambat untuk melakukan revaluasi terhadap kebijakan-kebijakan strategis dalam pengembangan nilai-nilai dasar perguruan tinggi. Di atas segala skala pendidikan yang mengatasnamakan internasional, nilai utama dari kebijakan pendidikan adalah mengajarkan sikap yang selaras dengan tujuan nasional.
Saifur Rohman,Pengajar Filsafat di Program Doktor Universitas Negeri Jakarta