Setelah berkali-kali penyatuan faksi-faksi Palestina gagal, China mencoba mengupayakan rekonsiliasi di kalangan mereka.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Upaya menyatukan faksi Fatah dan Hamas di Palestina berulang kali dilakukan, tetapi selalu gagal. Mampukah China melakukannya? Dunia ingin melihat ada kemajuan.
Kabar dari Istanbul dan Beijing pada pekan lalu memberikan harapan. Di Istanbul, anggota Biro Politik Militer Hamas, Khalil al-Hayya, dalam wawancara yang disiarkan Associated Press, Kamis (25/4/2024), menyampaikan kesiapan Hamas mengubah diri dari faksi perlawanan bersenjata menjadi partai politik jika negara Palestina berdiri di atas wilayah perbatasan 1967. Hamas juga ingin bergabung di Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang selama ini dikuasai Fatah.
Berselang sehari, datang kabar dari Beijing, China. Seorang diplomat di Beijing, dikuatkan pernyataan Hamas dan Fatah, mengungkapkan, Hamas dan Fatah—dua faksi terbesar Palestina—akan menggelar pertemuan yang difasilitasi Pemerintah China. Pertemuan ini ditujukan untuk menyatukan dua faksi tersebut sebagai bagian dari upaya membentuk pemerintahan persatuan Palestina.
Perkembangan terbaru itu muncul di tengah perang antara Hamas dan Israel yang terus berkecamuk di Gaza hingga bulan keenam. Lebih dari 34.000 warga Palestina di Gaza dan sekitar 1.200 orang di Israel tewas sejak perang dimulai dengan serangan Hamas ke Israel, 7 Oktober 2023. Sekitar 250 warga di Israel disandera di Gaza, sebagian dibebaskan atau tewas.
Ada yang cukup menjanjikan dan—jika kelak terwujud—bakal bersejarah dari pernyataan Al-Hayya. Meski tak menyebut menerima solusi dua negara, di mana Palestina dan Israel diakui dan hidup berdampingan secara damai, pernyataannya secara eksplisit menerima berdirinya negara Palestina di atas tanah perbatasan 1967. Wilayah itu meliputi Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota.
Dengan formula negara Palestina seperti itu, artinya wilayah selain area itu diakui ada di bawah Israel. Pertanyaannya, dari pernyataan Al-Hayya, apakah dengan demikian Hamas secara implisit menerima Israel—berdampingan dengan Palestina—sebagai wujud solusi dua negara yang didukung komunitas internasional. Hal ini perlu penjelasan lebih lanjut.
Namun, mengingat apa pun bentuk negara Palestina, termasuk dengan perbatasan 1967, masih terus ditolak pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, lebih bermanfaat saat ini memfokuskan pikiran dan energi untuk mengupayakan persatuan faksi-faksi Palestina, terutama Hamas dan Fatah. Momentum upaya itu saat ini sangat pas.
Ada uluran dari China, yang tahun lalu mendamaikan Arab Saudi-Iran, untuk memfasilitasi pertemuan Hamas-Fatah. Dukungan internasional kepada Palestina, bahkan di negara-negara Barat pun, sedang tinggi. Dunia ingin melihat ada kemajuan penyelesaian akar konflik Palestina-Israel: penghentian pendudukan Israel dan berdirinya negara Palestina.
Semua itu tak akan terwujud jika tidak ada persatuan di internal bangsa Palestina. Persatuan Palestina tak akan terwujud tanpa rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah.