Hilirisasi Pariwisata dan Budaya Menuju Indonesia Maju
Hilirisasi budaya dan pariwisata perlu berjalan seiring. Jangan sampai sumber daya wisata kita dimanfaatkan orang asing.
Ilustrasi
Kebijakan pemerintah terkait hilirisasi makin meluas. Selain sektor pertambangan, hilirisasi dalam berbagai sektor primer lainnya juga sudah didengungkan, yaitu di sektor perkebunan dan pertanian, termasuk perikanan.
Pariwisata sejak lama menjadi sektor prioritas dan diserukan untuk dipercepat pembangunannya, tetapi hilirisasi untuk sektor ini belum didengungkan. Pemerintah memang sudah mengimbau untuk berwisata di dalam negeri sebagai salah satu upaya menghemat devisa.
Berwisata di dalam negeri perlu dilihat dari dua sisi. Pertama, yang dilakukan oleh mayoritas wisatawan nusantara (wisnus) kelas ekonomi, yang memiliki dampak yang penting bagi UMKM dan menggerakkan ekonomi lokal. Mereka tidak menginap di akomodasi komersial dan menempuh jarak pendek intra provinsi. Kalaupun ‘menginap’, tidak jarang mereka menginap dalam perjalanan, selain di rumah kerabat atau akomodasi nonkomersial lainnya.
Baca juga: Ketimpangan Wisata Domestik Indonesia
Kedua, wisnus kelompok atas, yang pengeluarannya masih dapat mengandung ”kebocoran”. Ini terjadi saat mereka melakukan perjalanan dengan mobil mewah impor, menginap di akomodasi jejaring internasional, makan di rumah makan ”asing”, dan membeli berbagai produk impor di plaza atau pusat perbelanjaan mewah lainnya.
Wisnus kelompok inilah yang menjadi sasaran imbauan untuk berwisata dalam negeri karena umumnya mereka juga rajin melakukan perjalanan ke luar negeri.
Mungkin juga perlu mengikuti ”strategi” wisatawan mancanegara (wisman) yang datang dengan transportasi nasional negara asalnya, menginap di hotel/akomodasi ”milik”-nya, atau milik temannya, bahkan makan serta konsumsi lainnya dilakukan di layanan penyedia yang terkait dengan negara asalnya. Selain menunjukkan nasionalisme yang kuat, juga menguntungkan negaranya.
Hilirisasi budaya
Dalam opini Nirwan Ahmad Arsuka (Kompas, 1/8/2023) tentang hilirisasi budaya disebutkan bahwa budaya tinggi Indonesia/Nusantara tak cukup hanya dirawat, tetapi perlu dirangsang dengan aneka hibridanya untuk bergerak terjun ke hilir, menghambur memasuki samudra pergaulan dan pertarungan dunia melalui hilirisasi. Hilirisasi yang dimaksud dapat terwujud, antara lain, melalui pariwisata.
Tulisan tersebut juga menyebutkan perlunya lembaga (kementerian) untuk mengelola pertautan antara kebudayaan, teknologi komunikasi, pemuda, olahraga, dan pariwisata. Dapat diartikan bahwa kalau kebudayaan merupakan subyek utamanya, teknologi adalah sistem pengetahuan dan perangkat pendukung, pemuda adalah sasaran pelakunya, sementara olahraga dan pariwisata adalah kendaraan dalam kaitan dengan pemajuan kebudayaan yang dimaksud.
Tulisan yang mengulas tentang keberhasilan Korea dalam mengolah budaya merupakan suatu contoh nyata, bagaimana budaya telah diindustrialisasikan tanpa mengurangi harkat dan martabatnya. Hal tersebut terbukti telah berhasil ikut memajukan perekonomian negara dan bangsa melalui berbagai industri, paling tidak: film, kosmetik, gastronomi, dan pariwisata. Hasilnya telah membawa Korea ke pentas dunia dan memajukan perekonomiannya.
Dengan kekayaan daya tarik alam dan budaya yang luar biasa, Indonesia belum dapat menarik wisatawan lebih dari Korea.
Jumlah wisatawan Korea meningkat dari 4,66 juta (1999) menjadi 17,50 juta pada puncak kunjungan 2019 sebelum pandemi Covid-19 dan perolehan devisa meningkat dari 6,84 miliar dollar AS menjadi 20, 87 miliar dollar AS dalam periode yang sama. Kenaikan lebih dari 300 persen selama 20 tahun. Korea pun berada di peringkat ke-12 dalam penilaian World Economic Forum (Travel and Tourism Development Index/TTDI) yang terakhir (2021, terbit 2023).
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, jumlah wisman pada 1999 mencapai 4,7 juta dan meningkat pesat menjadi 16,1 juta pada 2019. Devisa/pengeluaran wisman pada 2019 mencapai 18,41 miliar dollar AS. Dengan kekayaan daya tarik alam dan budaya yang luar biasa, Indonesia belum dapat menarik wisatawan lebih dari Korea, juga pendapatan dari pariwisata masih di bawah Korea.
Indonesia yang disebut sebagai salah satu negara dengan peningkatan peringkat yang signifikan masih berada di peringkat ke-32 dalam penilaian WEF. Dapat diduga bahwa perbedaan angka-angka ini tak terlepas dari keberhasilan ”industrialisasi budaya secara sistemik” seperti apa yang dijelaskan oleh Nirwan dalam tulisan yang disebutkan di atas.
Terlepas dari soal kementerian khusus untuk menangani (memajukan dan mengelola) budaya sebagai kesimpulan dalam Kongres Kebudayaan 2023, pariwisata merupakan kendaraan untuk mendukung pemajuan kebudayaan dan membawanya ke pentas dunia bersama ekonomi kreatif, yang pada dasarnya berbasis budaya.
Pemajuan kebudayaan membutuhkan atau akan kurang bermakna tanpa ”panggung dan penonton”. Pariwisata sebagai kendaraan adalah panggung dan penonton yang dimaksud. Kita juga dapat menengok ke Thailand, di mana keterkaitan pariwisata dan hilirisasi budaya, antara lain, terjadi melalui industrialisasi makanan tradisionalnya. Bali sudah mempraktikkan pariwisata, di mana wisatawan belajar dan ikut memasak makanan tradisonal, pengalaman wisatawan dibayar lebih dari harga makanan yang tersedia di warung/rumah makan.
Contoh lain yang terjadi di Bali menunjukkan adanya ”kebocoran’” Peluang dan daya tarik Bali diketahui sudah dimanfaatkan oleh warga asing yang membuka ”sekolah” untuk belajar menari dan menabuh gamelan bagi muda-mudi warga asing yang membayar ribuan dollar AS. Guru tarinya sudah pasti orang Bali yang digaji oleh sang seniman asing inovatif tersebut.
Meski musik dan tarian Bali dibawa ke pentas internasional, telah terjadi ”kebocoran’” Hal ini tentu tak dapat kita biarkan berkembang lebih lanjut/meluas. Kelebihan warga asing yang dimaksud, dalam hal ini adalah bahwa mereka lebih dahulu atau mampu melihat adanya peluang, sementara kita belum/tidak melihatnya!
Baca juga: ”Rethinking” Pariwisata Bali
”Kebocoran” lain terjadi saat para wisatawan asing di Bali (berhasil) berperilaku tidak hormat terhadap nilai-nilai budaya setempat. Mungkin kita lengah memasang rambu-rambu pencegahnya karena tidak menyangka hal tersebut dapat terjadi dan lebih sibuk dengan jumlah kunjungan sebagai tolok ukur keberhasilan.
Kegiatan masak-memasak dan belajar menari merupakan salah contoh pemajuan budaya yang berjalan bersama pariwisata atau memanfaatkan panggung pariwisata. Potensi ekonomi pemajuan budaya tersebut diperoleh lewat pariwisata.
Inilah yang sebenarnya dapat disebut sebagai salah satu bentuk wisata budaya yang sesungguhnya yang berbeda dengan wisata budaya populer, di mana ada panggung dan penonton yang menikmati secara pasif. Semoga contoh ini dapat menunjukkan bagaimana hilirisasi pariwisata dan hiliriasi kebudayaan perlu berjalan bersama, saling mendukung.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan teknologi? Pariwisata diposisikan sebagai kendaraan, bukan sebagai tujuan akhir. Teknologi perlu diposisikan sebagai ”alat” (tools) untuk mendukung pemajuan kebudayaan maupun pariwisata itu sendiri. Pemajuan kebudayaan ataupun pemajuan kepariwisataan tak akan optimal tanpa kemajuan dan dukungan teknologi dalam menampilkan budaya yang maju tadi dan memudahkan wisatawan mengalami dan menikmatinya.
Sejak penetapan 10 destinasi prioritas, pemerintah telah membangun infrastruktur dan diharapkan (industri) pariwisata Indonesia akan ”segera” berkembang dan masyarakat setempat mendapat manfaat. Namun, ternyata masih banyak masalah yang muncul untuk mana kita perlu belajar dan merujuk kepada sejarah perkembangan industri pariwisata.
Di Barat, Inggris merupakan contoh lahirnya industri pariwisata (1841). Proses industrialisasi pariwisata terjadi melalui ”ulah” seorang pengusaha muda, Thomas Cook, yang kreatif berinovasi mengajak 485 warga Inggris memanfaatkan jalur kereta yang baru selesai dibangun. Kereta tersebut berangkat dari setasiun Leicester menuju stasiun Marlborough yang berjarak (hanya) 11 mil, dengan masing-masing membayar 1 shilling (1841), 183 tahun yang lalu.
Kiprahnya berlanjut, pada 1845 saat Cook mengatur perjalanan dari Leicester ke Liverpool dan pada 1846 dari Leicester ke Scotland. Pada 1851 Cook membawa 150.000 orang dari Leicester ke London untuk menyaksikan Great Exhibition.
Teknologi perlu diposisikan sebagai ”alat” ( tools), untuk mendukung pemajuan kebudayaan maupun pariwisata itu sendiri.
Baru empat tahun kemudan Cook memulai perjalanan internasional dari London ke Belgia – Jerman dan Perancis, berakhir di Paris untuk menyaksikan pameran. Thomas Cook kemudian membuka kantor di London (1865) dan menjual barang kebutuhan perjalanan: koper/tas, buku panduan, sampai sepatu dan teleskop.
Infrastruktur selesai dibangun, dan kreativitas Cook menjadi awal perkembangan industri pariwisata yang kemudian didukung oleh masyarakat yang paling tidak punya pengalaman berwisata, sebelum kemudian berkembang mendunia. Rangkaian kreativitas yang cukup panjang.
Proses industrialisasi pariwisata memerlukan waktu panjang. Dan proses tersebut, sengaja atau tidak, dimulai dengan internalisasi, masyarakat belajar dari pengalaman menjadi wisatawan sebelum kemudian muncul tempat belajar berupa berbagai lembaga pendidikan/pelatihan.
Pelajaran dari Korea secara tak langsung sudah dipaparkan oleh Nirwan: bagaimana Korea memajukan budaya, ekonomi kreatif dan pariwisata secara terpadu, dalam waktu yang relatif lebih singkat karena dunia sudah lebih kenal dengan pariwisata dan dukungan teknologi sudah lebih luas, dengan perkembangan yang makin cepat.
Bagaimana dengan Indonesia?
Ada perbedaan yang jelas dalam proses industrialisasi pariwisata di Indonesia dan di ‘negara asal industri pariwisata’. Indonesia menempuh jalan panjang yang berliku. Perkembangan industri pariwisata di Indonesia dapat dikatakan, dimulai saat Pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan infrastruktur yang telah dibangun di Hindia Belanda.
Didukung oleh maskapai penerbangan (KLM) dan perusahaan pelayaran (KPM) sebagai sarana pengangkut, pemerintah Hindia Belanda mengembangkan ‘Hindia Belanda’ sebagai destinasi dan membawa wisatawan mancangera ke Nusantara pada akhir abad ke-19, saat industri pariwisata sudah berkembang di dunia barat, dengan arus dari dan ke negara maju.
Sejak Indonesia merdeka, berbagai aset diakusisi, akomodasi, dan perusahaan perjalanan kemudian dikelola oleh orang Indonesia. Industri pariwisata yang perkembangannya diawali oleh pemerintah kolonial, harus dilanjutkan. Pemerintah pun berupaya menunjukkan kemampuannya untuk menjadi tuan rumah yang baik. Konferensi Asia Afrika menjadi salah satu bukti kemampuan Indonesia untuk menerima delegasi internasional dari belahan bumi bagian selatan.
Kemudian pemerintah juga sibuk membangun ibukota dan beberapa tempat tertentu untuk melengkapi Indonesia dengan sarana akomodasi bertaraf internasional. Membangun landmark, pusat perbelanjaan modern, dilakukan untuk menunjukkan hasil karya nasional kepada dunia luar. Setelah mengalami berbagai gelombang pasang surut dunia pariwisata, saat ini Indonesia sedang mencari jalan untuk re-industrialisasi pariwisata dan mencari bentuk yang baru.
Baca juga: Mendorong Industri Pariwisata di Jalur Pemulihan
Infrastruktur sudah dibangun secara intensif di berbagai destinasi prioritas, demikian pula upaya peningkatan kompetensi sumber daya manusia. Keduanya ditengarai sebagai dua permasalahan umum dan utama untuk pengembangan kepariwisataan.
Selain kenyataan bahwa pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur masih perlu dilanjutkan dan peningkatan kapasitas SDM disempurnakan, permasalahan penting yang juga perlu dihadapi bersama adalah penciptaan ekosistem pembangunan antarsektor ataupun antarlembaga dan pelaku pembangunan.
Hilirisasi (industri) budaya dan pariwisata perlu berjalan seiring dan jangan sampai sumber daya wisata Nusantara ini dimanfaatkan oleh orang asing yang secara kreatif memanfaatkan unsur-unsur alam dan budaya Nusantara menjadi industri budaya dan pariwisata yang dikuasai warga asing.
Sudah saatnya keanekaragaman dan keistimewaan sumber daya alam maupun budaya Nusantara sebagai sumber daya pariwisata dikuasai dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Yang dibutuhkan adalah ekosistem kelembagaan yang kokoh untuk koordinasi horizontal, vertikal, ataupun diagonal untuk menghadapi persaingan global yang makin tajam, tuntutan konsumen yang makin cerdas.
Kepemimpinan yang didasarkan kepada pemahaman substantif—bukan kekuasaan—dalam menggerakkan ekosistem yang dimaksud. Indonesia butuh bukan hanya dirigen tetapi juga penggubah ”irama dan lagu” untuk terciptanya orkestra alam-budaya-pariwisata yang dimainkan dengan dukungan teknologi oleh para pemuda-pemudi Nusantara, pemain unggul Indonesia, untuk tampil di panggung dunia.
Myra P Gunawan, Pengamat Pariwisata Indonesia