Untuk menjaga kelangsungan program ”food estate”, diperlukan reevaluasi dan reaktualisasi mendasar.
Oleh
ANDI IRAWAN
·3 menit baca
Optimisme Prabowo Subianto sebagai calon presiden peraih suara terbanyak pada Pemilihan Presiden 2024 tentang pencapaian swasembada pangan dalam 2-3 tahun melalui food estate, seperti diberitakan The Jakarta Post (4/3/2024), menandakan keberlanjutan proyek food estate jika ia resmi menjadi presiden RI 2024-2029.
Namun, untuk menjaga kelangsungan program ini, diperlukan reevaluasi dan reaktualisasi mendasar. Untuk itu, langkah penting yang harus diambil adalah pengakuan terhadap masalah besar yang telah terjadi dalam implementasi proyek mega pangan ini.
Pemerintah Presiden Joko Widodo menetapkan ketersediaan lahan luas untuk food estate. Sebagai contoh, pengembangan food estate di Kalimantan Tengah dilakukan sejak pertengahan 2020, dengan luas total mencapai 30.000 hektar pada awalnya, dan direncanakan terus diperluas hingga mencapai 70.000 hektar pada 2024.
Namun, kesuksesan proyek ini terhambat karena masalah mendasar, yakni kegagalan adaptasi varietas tanaman pangan terhadap kondisi lahan rawa dan asam, jenis lahan yang mendominasi food estate di Kalimantan (Fahmid dkk, 2022; Marwanto, 2021).
Bukti empiris lapangan yang penting dipertimbangkan dalam reaktualisasi food estate adalah fakta kontribusi swamp land (lahan rawan) terhadap produksi padi Indonesia kurang dari 2 persen (Hasbianto dkk, 2021). Lahan rawa dan gambut butuh tata kelola air untuk menghindari banjir, khususnya di Kalimantan Tengah (Muhardiono, 2021), dan pengelolaan lahan asam.
Secara umum lahan gambut dan rawa tidak kondusif untuk tanaman pangan karena derajat keasaman (pH) rendah, kandungan NPK rendah, elemen racun yang tinggi, seperti Fe dan Al, serta ancaman banjir saat musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau (Fahmid dkk, 2022). Ketika ini tidak bisa diperbaiki, aktivitas usaha tani di lahan-lahan rawa, gambut, dan asam sesungguhnya akan bertemu dengan kegagalan. Aspek ini tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah ketika menjalankan food estate di Kalimantan.
Bukti dari investigasi lapangan yang dilakukan oleh peneliti independen dan LSM menunjukkan kesalahan masa lalu (proyek lahan gambut sejuta hektar era Orde baru) kembali terulang.
Misalnya, di food estate Tewai Baru, yang terletak di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, perkebunan singkong membuahkan hasil panen di bawah standar sehingga pemerintah meninggalkan lokasi tersebut. Artinya, pengembangan singkong di lokasi itu tidak berdasarkan kajian ilmiah memadai.
Keberlanjutan terhambat
Temuan lain bahwa pembukaan lahan hutan untuk proyek food estate telah memperburuk masalah banjir dan erosi tanah, serta memaksa perubahan praktik pertanian lokal. Ini menciptakan dampak lingkungan yang negatif dan menghambat keberlanjutan proyek tersebut (Asia Pacific Foundation of Canada, 26 April 2023).
Hasil pantauan Walhi dan BBC Indonesia menemukan ada masalah terhadap 3.964 hektar (ha) lahan food estate, yakni kehilangan tutupan pohon tanpa menghasilkan singkong. Selama Januari sampai Oktober 2022 ada 10 desa yang kehilangan tutupan pohon di Kabupaten Kapuas, Gunung Mas, dan Pulang Pisau.
Proyek itu, menurut BPK, gagal menerapkan praktik pertanian berkelanjutan.
Tidak mengherankan jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ketika mengaudit program itu menemukan bahwa program tersebut tidak direncanakan dengan baik dan dilaksanakan dengan data tidak akurat. Proyek itu, menurut BPK, gagal menerapkan praktik pertanian berkelanjutan. Proses pemilihan lokasi untuk program itu juga melanggar peraturan pemerintah yang ada (Asia Pacific Foundation of Canada, 26 April 2023).
Untuk memperbaiki implementasi food estate, langkah-langkah konkret harus diambil. Pertama, perencanaan dan seleksi lokasi harus didasarkan pada data dan kajian ilmiah yang valid serta memperhitungkan keberlanjutan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.
Kedua, penting untuk memprioritaskan tanaman yang sesuai kondisi lahan untuk lahan rawa dan gambut, berbasis realitas ilmiah di alam bebas bukan hanya realitas petak percobaan.
Ketiga, penelitian McCarthy dan Obidzinski (2017) terkait implementasi food estate di Kalimantan memberikan masukan baik untuk dipertimbangkan bahwa pendekatan food estate skala besar cenderung gagal dan tidak berkelanjutan secara ekonomi, sosial, ataupun lingkungan ketika diterapkan di lahan-lahan marjinal Kalimantan.
Intensifikasi berbasis petani kecil lebih sesuai untuk konteks Kalimantan dan lebih mendukung ketahanan pangan masyarakat setempat meskipun kontribusinya terbatas terhadap produksi pangan nasional.
Sekali lagi reevaluasi dan reaktualisasi penting dilakukan terhadap food estate dengan berbasis bukti empiris ilmu dan teknologi serta ilmu pengetahuan agar kita bisa mengimplementasikan kebijakan yang benar-benar layak, baik secara teknis, sosial, ekonomi, lingkungan, maupun 0budaya. Tidak semata-mata dinilai layak karena keputusan politik.
Andi Irawan, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu, Ketua Bidang Kebijakan Publik ASASI