Ada sejumlah catatan yang tak boleh diabaikan demi menjaga kinerja perdagangan.
Oleh
EDITORIAL
·2 menit baca
Neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2024 kembali surplus. Artinya, nilai ekspor lebih besar daripada impor. Surplus ini dibukukan selama 47 bulan beruntun.
Jika melihat kata surplus belaka, ekspor-impor baik-baik saja. Padahal, ada sejumlah hal yang mesti diperhatikan dalam kinerja ekspor-impor. Apalagi, dalam pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 5,05 persen pada 2023, ekspor bersih—atau ekspor dikurangi impor—menyumbang 0,66 persen. Tahun lalu, ekspor tumbuh 1,32 persen secara tahunan, sedangkan impor tumbuh minus 1,65 persen.
ada sejumlah hal yang mesti diperhatikan dalam kinerja ekspor-impor
Nilai ekspor pada Maret 2024 lebih rendah dibandingkan dengan Maret 2023. Nilai impor pada Maret 2024 juga lebih rendah daripada Maret 2023. Adapun surplus secara triwulanan, yakni Januari-Maret 2024, lebih rendah ketimbang Januari-Maret 2023. Hal ini terjadi karena ekspor turun hingga nyaris 5 miliar dollar AS. Sebaliknya, nilai impor pada periode itu cenderung tetap.
Indonesia, yang bergantung pada komoditas, menanggung dampak penurunan harga komoditas terhadap kinerja ekspor. Salah satu contohnya, dalam paparan Badan Pusat Statistik (BPS), harga batubara 101,92 dollar AS per ton pada Maret 2023, turun menjadi 76,85 dollar AS pada Maret 2024. Dampak serupa akan terus diterima jika Indonesia terlena dengan terus-menerus mengandalkan komoditas.
Perekonomian China yang belum pulih turut berperan dalam penurunan ekspor Indonesia. Permintaan rendah membuat ekspor nonmigas Indonesia ke China merosot. Padahal, pada Maret 2024, ekspor Indonesia ke China sekitar 22,44 persen dari total ekspor nonmigas. Porsi ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan ekspor ke negara lain.
Pada Januari-Maret 2024, mayoritas impor Indonesia berupa bahan baku atau penolong yang mencapai 72,81 persen. Sementara barang modal sekitar 17,2 persen dan barang konsumsi 9,99 persen. Impor bahan baku atau penolong pada triwulan I-2024 anjlok 21,72 persen secara tahunan, sedangkan impor barang modal turun 12,63 persen secara tahunan. Hal ini mengindikasikan ada persoalan dalam proses produksi di Indonesia. Sebab, bahan baku atau penolong dan barang modal digunakan dalam proses produksi.
Satu hal lagi yang tak kalah penting adalah nilai tukar. Ada berbagai hal yang dipertimbangkan dalam menjaga nilai tukar, antara lain keseimbangan terhadap ekspor dan impor. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan menguntungkan eksportir, tetapi membuat pening importir. Situasi lebih rumit akan dihadapi produsen yang mengimpor bahan baku dan barang modal, tetapi memasarkan produknya di dalam negeri dengan harga rupiah.
Keseimbangan nilai tukar kian penting bagi Indonesia yang mengekspor migas 3,899 miliar dollar AS, tetapi mengimpor hingga 9 miliar dollar AS pada Januari-Maret 2024.