Tepatkah istilah ”partai guram” disematkan pada parpol yang tak dapat melewati ambang batas parlemen?
Oleh
RIDWAN ARIFIN
·2 menit baca
Sejak zaman Soekarno, istilah partai guram telah berkembang di kancah politik. Istilah ini merujuk pada partai kecil yang keberadaannya nyaris tak terasa, seperti kutu ayam dalam bahasa Jawa, gurem. Partai ini hanya berhasil mengantongi suara yang minim dan mendapatkan dua kursi parlemen, suatu gambaran kiasan yang menyiratkan sesuatu yang ”kecil sekali”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat kata guram sebagai dua lema yang berbeda. Pertama, sebagai kata sifat yang menggambarkan sesuatu yang suram atau muram. Kedua, sebagai kata benda yang berarti hewan tungau dengan ciri kaki panjang dan tubuh berwarna putih keabu-abuan, yang berubah menjadi cokelat kemerahan saat membesar; serta sebagai kata sifat, berupa kiasan untuk sesuatu yang kecil dan tidak bermutu atau tidak diperhitungkan.
Dalam khazanah politik Indonesia, kata guram memiliki bobot makna yang mengandung dimensi historis dan psikososial yang mendalam. Secara harfiah, kata ini merujuk pada sesuatu yang suram atau tidak bercahaya, serta menggambarkan kondisi yang kecil dan tidak diperhitungkan.
Dalam konteks politik, label guram sering dialamatkan kepada partai-partai politik yang gagal mencapai ambang batas elektoral, yang secara implisit dapat menurunkan apresiasi terhadap keberagaman ideologi dan potensi perubahan yang mungkin mereka tawarkan.
Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia juga mengategorikan guram ke dalam dua kelas kata: kata sifat yang berarti gelap, dan kata benda yang berkaitan dengan insekta atau araknida, satmata. Dari sisi ini, kata guram yang mengalir luas melampaui semantik dasarnya mencapai derajat ”non-unggulan” (unseeded) dalam terminologi olahraga, yakni atlet atau tim yang baru memasuki babak kualifikasi, atau yang tidak termasuk dalam peringkat dunia, dan sering kali tidak diperhitungkan.
Dalam konteks lain ada istilah underdog yang sepadan dengan kuda hitam, yang merujuk pada seseorang atau tim yang tidak diperhitungkan, tetapi dapat menjadi juara.
Setiap partai memiliki basis dukungan dan kontribusi politik yang tak bisa diabaikan.
Dalam KBBI, kata guram tidak memiliki padanan dengan makna ”non-unggulan” atau ”tidak diunggulkan”. Meskipun sinonim dari guram dalam konteks bahasa sehari-hari dan penggunaan yang lebih luas—terutama di ranah olahraga atau kompetisi—sering kali merujuk pada pihak yang kurang mendapat perhatian atau dianggap tidak memiliki peluang menonjol, KBBI secara spesifik belum merefleksikan asosiasi tersebut dalam lema guram.
Demikian pula dalam Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia, lema ”non-unggulan” atau ”tidak diunggulkan” belum termasuk dalam daftar sinonim untuk guram. Sinonim yang terdaftar cenderung fokus pada aspek tradisional atau literal kata tersebut, seperti gelap dalam kelas adjektiva atau kategorisasi hewan dalam nomina.
Dalam konteks modern, istilah ”non-unggulan” mengandung nuansa kompetitif dan potensi tersembunyi yang tidak sepenuhnya terekam oleh pengertian guram yang lebih berfokus pada aspek kecil dan tidak bermutu.
Bertolak dari keberagaman makna tersebut, tepatkah menamai beberapa partai yang gagal melewati ambang batas parlemen sebagai partai guram? Mungkin istilah ini terasa terlalu keras mengingat setiap partai memiliki basis dukungan dan kontribusi politik yang tak bisa diabaikan semata-mata karena tidak memenuhi persyaratan persentase suara.
Asosiasi istilah partai guram bisa bermuatan negatif, sebuah label yang mungkin tidak sepenuhnya adil bagi partai-partai yang memiliki visi dan misi untuk kepentingan publik, meski dukungan mereka kecil.
Ridwan Arifin, Penyusun Glosarium Istilah Keimigrasian