Perusahaan-perusahaan besar internasional lebih memilih Vietnam sebagai lokasi pabrik mereka ketimbang Indonesia.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kunjungan CEO Apple untuk bertemu Presiden Joko Widodo pekan ini diharapkan berujung pada keputusan Apple menjadikan Indonesia basis manufakturnya untuk pasar global.
Sebelumnya, investasi Apple di Indonesia hanya sebatas membangun Apple Developer Academy di sejumlah daerah, bukan manufaktur. Artinya, Indonesia hanya menjadi pasar bagi salah satu pabrikan ponsel pintar terbesar di dunia itu.
Kalangan pengamat mengatakan, Indonesia perlu belajar dari Vietnam untuk bisa masuk ke dalam rantai pasok global Apple (Kompas.id, 17/4/2024). Pernyataan ini tak berlebihan. Sebagai pemain baru, Vietnam cepat melesat menjadi primadona baru investasi manufaktur di kawasan setelah China. Korporasi multinasional (MNCs) berebut berinvestasi di negara itu.
Beberapa dari mereka bahkan menjadikan Vietnam pusat penelitian dan pengembangan strategis produk. Dengan produksi 233,7 juta unit, Vietnam adalah produsen ponsel pintar ketujuh terbesar dunia pada 2021. Sebanyak 60 persen produksi Samsung di seluruh dunia diproduksi di Vietnam.
Mengapa Vietnam bisa, sementara kita tidak? Padahal, tak kurang Presiden Jokowi sendiri sangat aktif mendekati para pemimpin tertinggi MNCs itu. Presiden juga pernah mengungkapkan kekecewaan karena tak satu pun dari puluhan pabrik yang relokasi dari China—di tengah perang dagang AS-China 2019—memilih Indonesia sebagai basis produksi baru.
Sebagian besar memilih Vietnam. Tesla akhirnya juga memilih Malaysia. Persoalannya, bukan hanya Indonesia yang berbenah. Kalaupun kini banyak investor besar berkomitmen investasi di kawasan industri baru Indonesia, kita meyakini potensi kita jauh lebih besar seandainya sejak awal kita lebih serius membenahi kelemahan mendasar yang kita miliki.
Penting bagi Indonesia mengatasi ketertinggalan dalam partisipasi di rantai pasok/nilai global (GVC) di berbagai manufaktur barang dan jasa. Hal itu meliputi produksi ponsel pintar, produk elektronik lain, dan teknologi informasi. Selain skalanya yang besar, industri ini menjanjikan lompatan dalam industrialisasi dan penguasaan teknologi.
Jaringan produksi global selama ini juga memainkan peran penting dalam ekonomi. Lebih dari 25 persen lapangan kerja di ASEAN terkait dengan GVC dan lebih dari 25 persen ekspor barang ASEAN disumbangkan produk elektronik.
Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Laos menunjukkan peningkatan pesat sejak tahun 2000, sementara Indonesia relatif stagnan. Rendahnya partisipasi Indonesia di GVC tecermin antara lain dari hanya 10 persen lapangan kerja kita yang terkait GVC. Sebagai perbandingan, Singapura 50 persen.
Meski investasi MNCs di industri elektronik Indonesia sudah dimulai sejak 1980-an, hingga kini Indonesia kesulitan menembus rantai pasok/nilai global.
Penyebabnya, selama ini sebagian besar produksi elektronik Indonesia untuk pasar domestik dan bukan ekspor. Akibatnya, industri pemasok komponen lokal tak tumbuh. Kalaupun ada, hal itu terbatas pada produk bernilai tambah rendah. Akibatnya, kita sangat bergantung pada komponen impor.
Absennya industri komponen lokal yang kuat membuat kita tertinggal dalam integrasi ke rantai pasok global. Belum lagi bicara iklim investasi dan regulasi. Saatnya kita berbenah.