Beban Sejarah Mahkamah Konstitusi
Banyak kalangan memprediksi MK tidak berani mengambil opsi putusan diskualifikasi terhadap pasangan Prabowo-Gibran.
Beranikah Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagaimana petitum para pemohon dalam sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024?
Pertanyaan ini mengemuka seiring rasa penasaran publik terhadap proses rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang akan berlangsung mulai 16 April 2024 ini. RPH ini merupakan proses akhir yang paling menentukan di internal MK sebelum tahap pembacaan putusan dilakukan pada 22 April 2024.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, alangkah baiknya kita memotret kembali fenomena dalam proses persidangan yang bisa memberikan secercah ruang atas petitum para pemohon.
Baca juga: Pastikan Tindak Lanjuti Putusan MK, KPU Siapkan Tambahan Alat Bukti dan Kesimpulan
Pertama, terlepas apa pun putusannya nanti, setidaknya MK telah mengonfirmasi bahwa petitum para pemohon merupakan kewenangannya. Bukan ruang abu-abu ataupun salah kamar sebagaimana yang dituduhkan banyak pihak. Artinya, MK telah membuka diri untuk terlibat dalam percakapan di luar persoalan angka-angka perolehan suara semata.
Sebelumnya, banyak pihak yang meragukan MK akan keluar dari pakem prosedural. Cara pandang yang hanya mengunci kewenangan MK sebatas pada hasil perolehan suara.
Namun, dengan memberikan kesempatan kepada para pemohon untuk membuktikan dalil-dalil dalam permohonannya, bermakna MK telah membangun ruang perdebatan yang hendak memastikan pilpres ini telah dilaksanakan secara fair dari hulu ke hilir proses.
Kedua, pemanggilan kepada menteri-menteri di kabinet Presiden Joko Widodo meskipun dianggap belum cukup tanpa kehadiran Presiden.
Setidaknya, hal itu membuktikan bahwa MK serius dalam mengonfrontasi dugaan kecurangan yang didalilkan para pemohon. Khususnya yang menyangkut politisasi bantuan sosial untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Dua hal ini mengirimkan pesan kepada publik bahwa MK membuka diri untuk melahirkan amar putusan yang lebih dari sekadar angka.
Beban sejarah
MK seperti menggendong seisi bumi dan langit. Sebab, bagi MK, putusan diskualifikasi terhadap pasangan Prabowo-Gibran bermakna menjilat ludah sendiri. MK seolah tersandera oleh ”dosa sejarah” yang diukirnya sendiri.
Terlebih cacat etik pencalonan Gibran sebagai wakil presiden dikontribusikan langsung oleh MK melalui putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini menjadi jalan pintas bagi Gibran untuk melenggang mulus dalam Pilpres 2024 ini. Pada saat yang bersamaan, putusan nomor 90 ini pula yang turut meruntuhkan marwah MK.
Melalui putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), hakim Anwar Usman diberhentikan sebagai Ketua MK karena telah melanggar Sapta Karsa Hutama yang berkaitan dengan prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip independensi, hingga prinsip kepantasan.
Putusan MKMK tersebut sekaligus mengonfirmasi bahwa putusan nomor 90 itu adalah putusan yang cacat etik.
Putusan yang cacat etik tentu akan berimplikasi penerapan hukum yang bermasalah secara etik pula. Ibarat seseorang yang bersedekah dari hasil kejahatan, maka amal perbuatannya tidak akan diterima.
Intinya, jika hulu proses pemilu bermasalah, tidak akan ada legitimasi di hilir proses. Oleh karena itu, putusan nomor 90 itu perlu dikoreksi. Dan, satu-satunya cara untuk melakukan koreksi hanyalah melalui putusan MK pula.
MK seperti menggendong seisi bumi dan langit. Sebab, bagi MK, putusan diskualifikasi terhadap pasangan Prabowo-Gibran bermakna menjilat ludah sendiri.
Tidak ada cara lain! Namun, sayang, MK seolah ”menolak” melakukan itu. Salah satu momentum bagi MK untuk melakukan koreksi terhadap putusannya sendiri adalah proses pengujian kembali terhadap ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Alih-alih melakukan koreksi, MK justru secara bulat menolak permohonan dalam perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 ini.
”Public trust”
Beban sejarah ini pada akhirnya disimpan dan seolah ditutup rapat oleh MK hingga sengketa pilpres berlangsung saat ini. Karena itu, banyak kalangan yang memprediksi MK tidak akan berani mengambil opsi putusan diskualifikasi terhadap pasangan Prabowo-Gibran. Sebab, opsi ini seperti menjerat leher sendiri.
Secara otomatis menunjuk batang hidung MK sebagai biang kerok keonaran atas pencalonan Gibran Rakabuming Raka melalui putusan nomor 90 yang terbukti cacat secara etik tersebut. Namun, justru inilah tantangan MK. Sebab, memulihkan kepercayaan publik harus dimulai dari keseriusan untuk mengakui kesalahan terlebih dahulu.
Jika tidak, luka yang ditanamkan akan butuh waktu panjang untuk disembuhkan. Yang pasti, kini MK hanya punya dua opsi dalam sengketa pilpres ini, mengembalikan nama baik MK dengan memilih menghapus noda sejarah, atau tetap tersandera dengan putusannya sendiri, yang hingga kapan pun akan tetap diingat oleh publik sebagai dosa besar yang begitu sulit dimaafkan.
Keberanian ini yang ditunggu oleh publik. Meski sulit dan berat bagi MK, tetap dinanti. Sekecil apa pun peluangnya, pintu sadar MK harus tetap digedor dengan keras. Jika masih merasa sebagai lembaga yang lahir dari rahim rakyat, MK tidak boleh abai dengan harapan publik.
Hanya dengan cara itulah kepercayaan publik dipupuk kembali. Sebab, kepercayaan publik itu lahir dari tiga elemen penting: koreksi atas kesalahan, kinerja baik, dan konsistensi.
MK mungkin bisa memperlihatkan kinerja baik secara konsisten meski membutuhkan waktu lama. Namun, tanpa keberanian untuk mengakui kesalahan sekaligus melakukan koreksi terhadapnya, maka kepercayaan publik sulit untuk tumbuh kembali.
Sementara MK sendiri dibangun di atas ayat-ayat kebenaran dan keadilan yang harus terus diucapkan. Cukup dengan sekali koreksi, kepercayaan itu bisa dipulihkan kembali.
Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, ”Sekali diucapkan, kebenaran meluncur turun dari ketinggian, menjalar ke mana-mana, berkembang biak dalam hati manusia waras”.
Sekali lagi, tanpa keberanian, Mahkamah Konstitusi hanya akan memikul beban sejarah itu hingga akhir hayatnya!
Herdiansyah HamzahDosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman