Pergeseran Mudik Lebaran
Cara silaturahmi bergesar. Bagi yang keluarga besarnya sekota pun, silaturahmi tak lagi harus saling mengunjungi.
Mudik Lebaran tercatat hampir 200 juta tahun ini, sebuah angka fantastis setara dengan gabungan populasi Thailand dan Filipina. Fenomena serupa dengan angka seperempatnya terjadi di Amerika Serikat saat Thanksgiving 2023, empat kali lipatnya di China pada Imlek 2024.
Saya pernah jadi bagian arus mudik. Semasa hidupnya, ayah saya berkarier di badan usaha milik negara (BUMN) dan ditugaskan keliling Indonesia. Saya hanya ikut tinggal di Manado, Sulawesi Utara, selebihnya balik ke Jakarta demi masuk rayon universitas incaran. Namun, karena BUMN tempat ayah bekerja dianggap vital, pegawai tidak bisa cuti saat Lebaran dan Natal. Alhasil, saya pernah mudik Lebaran ke Ambon, Makassar, Medan, Palembang, dan Surabaya.
Berkumpul dengan orang-orang terdekat saat hari-hari besar umum di seluruh dunia, hanya definisi ”terdekat” dan cara berkumpulnya yang berbeda. Masyarakat Indonesia yang komunal punya lingkaran lebih luas dari masyarakat individual, acap dengan hierarki adat yang menentukan siapa mengunjungi siapa.
Ayah saya berasal dari keluarga besar Aceh, tetapi walau beliau bukan yang tertua di ”cabang” Jakarta, rumah kami yang didatangi karena abang beliau sekalian berlebaran ke sahabatnya di sekitar. Hari kedua Lebaran, kami ganti mengunjungi abang ayah, hari ketiga ke adik ayah. Demikian puluhan tahun kecuali saat ayah saya ditugaskan di luar Jakarta.
Beberapa tahun ini, saya mulai melihat pergeseran, terutama pada generasi X dan Y yang sudah tak punya orangtua dan tinggal di perkotaan.
Baca juga: Manajemen Mikro Kementerian, Sebuah Cobaan Ramadhan
Pertama, mereka mulai jarang mudik, karena bukan saja orangtua sudah tiada, paman-bibi pun tidak bersisa. Silaturahmi dengan keluarga besar bisa via gawai, mengunjunginya saat masa liburan lain.
Bagi yang keluarga besarnya sekota pun, silaturahmi tak lagi harus saling mengunjungi, cukup sekali bertemu di sebuah rumah. Lokasi rumah bisa dirotasi agar semua merasakan ditamui, termasuk dengan repot dan biayanya. Sudah beberapa tahun, sejumlah sepupu menyambangi kami dan mertua (bila masih ada) di hari pertama Lebaran, esoknya tancap gas tamasya. Tahun ini, paman-bibi saya meniadakan open house sendiri, mungkin karena makin lansia dan lelah, cukup bersilaturahmi dengan semua kerabat di open house kami.
Mulai ada teman yang memberlakukan potluck party, tiap keluarga membawa satu hidangan untuk semua, meringankan tuan rumah. Beberapa kawan lebih revolusioner lagi; bertemu di restoran dan membagi rata tagihannya. Tentu ini bisa dilakukan bila strata ekonomi sekeluarga besar setara.
Apalagi yang tak dibesarkan di kampung orangtua karena orangtuanya pun perantau, keterikatan psikologis relatif tipis. Contoh, sepupu saya yang lahir dan besar di Aceh lalu merantau ke Kalimantan dan berkeluarga di sana. Setelah orangtuanya tiada, sepupu ini tak lagi mudik ke Aceh karena anak-anaknya yang kuliah di Jawa merasa mudik Lebaran, ya, ke rumah di Kalimantan. Saya paham sebagai anak dari orangtua beda suku yang dibesarkan di provinsi yang beda lagi, naluri saya ”mudik”, ya, ke domisili orangtua, bukan ke kampung mereka.
Baca juga: Finlandia: Alam dan Egalitarisme
Berbagai pergeseran ini mulai terlihat, walau ceruknya belum sebesar demografi yang berorangtua sama suku dan dibesarkan di daerah asal mereka sebelum merantau saat dewasa, sehingga definisi kampung halaman, identitas diri, dan romantisme hari raya melebur. Tapi, bisa saja, dengan kian seringnya orang merantau dan menikah dengan orang beda suku, ditambah semakin kosmopolitannya Indonesia, ceruk ini melebar.
Pengabdi primordialisme mungkin akan menangisi ini sebagai kemunduran. Saya memilih melihatnya sebagai cermin saat Bhinneka Tunggal Ika tak lagi sebatas slogan. Bagaimana menurut sidang pembaca yang budiman?
Lynda Ibrahim, Konsultan Bisnis dan Penulis