”Pedagogi Perjumpaan” dalam Kurikulum Merdeka
Pedagogi perjumpaan menciptakan pengalaman-pengalaman baru sebagai sumber pembelajaran sesuai Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka telah ditabalkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kompas, 27 Maret 2024). Lewat kurikulum ini ada harapan terjadi transformasi pendidikan.
Sekolah semestinya menumbuhkan kompetensi dan karakter semua murid untuk menjadi pelajar sepanjang hayat dengan nilai-nilai Pancasila. Kurikulum Merdeka fokus pada muatan esensial. Muatan wajib dikurangi untuk memberi waktu bagi pembelajaran yang lebih mendalam, bermakna, dan terdiferensiasi.
Sebagai guru, setiap terjadi pembaruan kurikulum, penulis maknai sebagai undangan untuk berdiskresi terus-menerus. Dengan demikian, pendidikan di negeri ini dapat selalu menjawab perubahan zaman dan mampu menyesuaikan diri dengan tantangan baru.
Salah satu hal penting yang membutuhkan respons konkret para guru adalah mewujudkan sosok profil pelajar Pancasila. Satu inspirasi untuk merespons spirit Kurikulum Merdeka dalam mewujudkan karakter pelajar Pancasila penulis dapatkan lewat ”pedagogi perjumpaan”.
Baca juga: Jalan Kurikulum Merdeka Menjadi Kurikulum Nasional yang Baru
Lewat perjumpaan
Arturo Sosa SJ dalam buku Berjalan Bersama Ignatius (2021) merumuskan pentingnya mengembangkan pedagogi lewat perjumpaan. Sekolah beserta para guru menciptakan kondisi-kondisi tertentu sehingga pengalaman-pengalaman baru itu menjadi sumber pembelajaran dan kesadaran progresif akan diri sendiri, dunia, dan Tuhan. Membantu para murid sebagai orang muda mendapatkan pengalaman demikian itu adalah sebentuk pendampingan yang mendukung hidup dalam keberagaman, dialog secara horizontal, dan sudut pandang yang lebih universal.
Karakter hasil pembiasaan dalam pedagogi perjumpaan dapat dicapai lewat pengalaman sebagai sukarelawan atau live-in sosial, yang memungkinkan peserta lebih memahami realitas dan belajar membaca realitas. Yang menjadi bagian penting sesudah mengalami live-in itu para murid mesti merefleksikan setiap pengalaman akan perjumpaan dengan realitas. Membatinkan setiap pengalaman hingga menuliskan buah-buah refleksi itu. Refleksi yang tersurat menjadi (salah satu) penanda seberapa mampu pelajar mencecap pengalaman menjadi miliknya.
Lewat buku Dari Cilincing hingga Kampung 1001 Malam (2023), penulis mencecap buah-buah refleksi para murid satu sekolah swasta di Yogyakarta yang tersurat ketika selesai menempuh program live-in sosial yang sejalan dengan penguatan profil pelajar Pancasila. Salah satunya refleksi yang ditulis Alfonsus Magistra sepulang hidup sepekan bersama para buruh pabrik di satu kota di kawasan Pantai Utara Jawa:
”Menjadi seorang kuli pabrik terasi membuatku masuk lebih ’dalam’. Selama sepuluh jam dari pagi hingga senja membuatku merasa sangat bosan melakoni pekerjaan yang monoton ini. Tidak bisa kubayangkan rasanya para kuli yang harus menjalani rutinitas seperti ini setiap hari. Beberapa hari bekerja di sini saja sudah merasa terpenjara. Kehidupan yang aku jalani selama ini sangat kontras dengan keadaan yang aku alami selama live-in. Keseharianku biasanya sangat dekat dengan kecanggihan teknologi, fasilitas yang serba-ada dan kemudahan. Namun, di sini berbeda, supaya aku bisa bertahan hidup, diperlukan perjuangan yang tidak mudah. Aku baru menyadari bahwa ternyata mendapatkan uang untuk makan saja perlu pengorbanan.”
Perjumpaan Alfonsus dengan para buruh pabrik menghadirkan pemahaman baru baginya bahwa ada kehidupan lain yang ditempuh banyak orang yang kontras dengan kesehariannya. Keterbukaan akan kehadiran pihak lain dialaminya dengan membaur, terlibat, bahkan membaui aroma keringat orang-orang yang bekerja di sudut-sudut kegelapan pabrik.
Aku bersyukur karena formasi ini telah mengajarkanku cara bersyukur atas rahmat Allah, bahkan dalam hal-hal sederhana yang dahulu sering aku lupakan.
Pengalaman Alfonsus di pabrik terasi tersebut sepadan dengan yang dituliskan oleh Muhammad Fadhl dalam buku yang sama ketika menjalani peregrinasi. Bersama rekan-rekan sekelasnya secara berkelompok menempuh perjalanan panjang, demi merasakan kasih Tuhan dan hanya mengandalkan kebaikan-Nya dalam segala situasi.
Fadhl menyuratkan dengan indah pengalamannya: ”Di perjalanan itu, seorang ibu memberikan kami sebungkus nasi burjo dengan lauk satu paha ayam. Kami berusaha adil agar sebungkus nasi burjo itu tetap bisa dinikmati oleh sepuluh orang anggota kelompokku. Di sini bukan hanya aku yang kelaparan dan kelelahan, melainkan teman-temanku juga begitu. Peristiwa ini membuatku sangat terharu. Aku mensyukuri setiap suapan nasi yang aku lahap. Biasanya aku selalu pilih-pilih makanan, bahkan sisa nasi di piringku saja sering aku abaikan. Namun, sekarang bisa mengisi perutku dengan sebungkus nasi burjo saja sudah sangat bersyukur. Hal yang sering aku anggap remeh ternyata sangat berharga manakala aku tidak memiliki apa-apa. Aku sangat menyesal karena aku tidak menghargai makanan selama ini. Padahal di balik sebuah makanan, ada orang yang berjuang hari demi hari untuk menyiapkan makanan itu hingga tiba di atas mejaku. Ada orangtuaku pula yang bekerja keras agar bisa memenuhi kebutuhan hidupku. Aku bersyukur karena formasi ini telah mengajarkanku cara bersyukur atas rahmat Allah, bahkan dalam hal-hal sederhana yang dahulu sering aku lupakan.”
Ketika menyelisik tulisan murid-murid sekolah menengah dalam buku tersebut, penulis dapat merunut alur mulai dari pengalaman konkret yang mereka alami, lalu merumuskan perasaan awal dalam perjumpaan, dan diakhiri dengan perubahan dirinya. Perubahan-perubahan yang teraba lewat refleksi itu mulai dari sikap batin hingga perilaku nyata sesudahnya.
Dalam sebuah peregrinasi yang dialami oleh Muhammad Fadhl, ternyata ia bersama kelompoknya belajar pula arti peduli sesama, menjauhkan sikap egosentris, dan pentingnya berbagi dalam hidup bersama. Mereka secara konkret mesti berkolaborasi di sepanjang perjalanan dan kelak tak ingin menyia-nyiakan setiap butir nasi yang diusahakan oleh orangtuanya.
Lewat buku Membangun Jiwa, Membantu Sesama, Merawat Bumi Rumah Kita (2023) Debora Emmanuelle, seorang siswi sekolah menengah swasta di Magelang menuliskan refleksinya: ”Baru beberapa minggu menjalani pengurangan ’jejak karbon’, saya merasa menjalani kehidupan dengan lebih baik, lebih banyak berjalan, selalu mematikan lampu saat tidak digunakan, mematikan kran air jika tidak dipakai. Saya bersyukur mengikuti P5—Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila—gaya hidup berkelanjutan. Saya mendapat banyak perubahan yang baik dari yang saya pelajari di sekolah. Saya ingin semakin banyak perubahan baik dari diri saya dengan mengikuti P5 ini, bagaimanapun juga ini adalah tanggung jawab saya untuk melindungi Bumi dengan perubahan-perubahan kecil yang menjadi kebiasaan baik dalam hidup untuk mengurangi jejak karbon.”
Baca juga: Kembali ke Akar Kurikulum Merdeka
Setelah membaca goresan refleksi Alfonsus, Muhammad Fadhl, Debora, dan semua orang muda yang menjalani pengembangan karakter pelajar Pancasila, penulis merasa optimistis pada kurikulum baru yang digulirkan oleh Kemendikbudristek ini. Kurikulum akan berdaya ubah jika disertai kreativitas sekolah dan guru sesuai konteksnya masing-masing.
Murid-murid membutuhkan perjumpaan dengan dunia nyata yang mereka hadapi: dunia buruh, masyarakat berbagai lapisan, persoalan lingkungan, jejak karbon, kebiasaan memperlakukan sampah, dan menantang kapasitas diri. Dengan perjumpaan, mereka tidak lagi menempuh simulasi atau kepura-puraan belaka. Pun, para murid terus-menerus ditanamkan bahwa siapa pun yang mereka jumpai adalah sahabat dalam hidup bersama, bukan obyek untuk penelitian atau sekadar bahan pembahasan di meja-meja diskusi.
Pedagogi perjumpaan yang diselenggarakan untuk menciptakan pengalaman-pengalaman baru sebagai sumber pembelajaran memang membutuhkan ”kehadiran” guru. Karena itu, guru perlu mencurahkan waktu untuk merancang, menemani, hingga mendampingi berefleksi. Bahkan, porsi paling besar adalah waktu untuk menyertai para murid ketika bergelut di lapangan.
Guru yang belum mempunyai kapasitas pribadi yang terbuka dan kreatif, masih menunggu petunjuk teknis dalam mengelola pembelajaran, perlu dibantu dan diyakinkan untuk berani mengambil keputusan mengkreasi perjumpaan murid-muridnya dengan berbagai sumber pembelajaran.
St Kartono, Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta
Facebook: St Kartono