Mengatasi Stagnasi Produktivitas
Strategi peningkatan produktivitas padi perlu lebih banyak menggunakan teknik pertanian cerdas, presisi, digitalisasi.
Eskalasi harga beras sangat tinggi sejak akhir 2023 karena suplai turun signifikan. Sistem produksi padi Indonesia tidak memiliki resiliensi yang baik terhadap gangguan tiba-tiba (shock), apalagi yang berasal dari luar sistem.
Para ekonom pertanian telah mendeteksi stagnasi pertumbuhan produktivitas padi, terutama sejak 10 tahun terakhir karena rendahnya inovasi baru atau penggunaan teknologi pertanian. Produktivitas hanya tumbuh 0,25 persen pada 2014-2023, dari 5,14 ton per hektar menjadi 5,23 ton per hektar.
Ketika pada 2019 kekeringan ekstrem melanda Indonesia, produktivitas padi bahkan turun dari 5,20 ton per hektar menjadi 5,11 ton per hektar. Upaya peningkatan produktivitas lima tahun terakhir nyaris tak banyak membawa hasil karena kapasitas produksi telah turun signifikan. Teknik budidaya pertanian yang tidak berkelanjutan menyebabkan degradasi lahan dan erosi tanah yang menurunkan produksi dan produktivitas pangan.
Baca juga: Menjauh dari Padi
Praktik pertanian superintensif dan penggunaan bahan kimia secara berlebihan selama bertahun-tahun telah menyebabkan kelelahan lahan (land fatigue) di banyak sentra produksi padi dan pangan strategis lain. Bahan organik (BO) di dalam tanah menurun drastis, bahkan dua pertiga lahan pertanian Indonesia hanya memiliki kandungan BO di bawah 2 persen. Penyerapan hara tanah oleh tanaman jadi terganggu sehingga produktivitas nyaris tak bertambah, bahkan menurun signifikan.
Kekeringan ekstrem El Nino pada 2023 memperburuk penurunan kapasitas produksi. Luas panen padi turun signifikan dan produksi padi turun hampir 1 juta ton gabah kering giling (GKG). Pertanian lahan sawah yang mengandalkan sistem irigasi yang diterapkan saat ini sangat rentan gangguan ketersediaan air. Dukungan konservasi sumber daya air dan pengelolaan sumber daya alam di daerah hulu menjadi sangat krusial dalam manajemen ketersediaan air.
Artikel ini menganalisis stagnasi pertumbuhan produktivitas selama dekade terakhir dan usulan strategi peningkatan produktivitas untuk mengatasinya. Jalan keluar ini bukan berupa strategi ”pemadam kebakaran” yang akan segera membuahkan hasil dalam jangka pendek, tetapi strategi yang bervisi lebih jangka menengah, setidaknya lima tahun ke depan, yang bermanfaat bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2024.
Kinerja produksi dan produktivitas
Angka tetap produksi padi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis awal Maret 2024 menunjukkan kinerja produksi padi Indonesia turun dari 54,75 juta ton GKG pada 2022 menjadi 53,98 juta ton GKG pada 2023 atau turun 1,41 persen.
Jika dikonversi dalam bentuk beras, produksi turun dari 31,54 juta ton (2022) menjadi 31,10 juta ton (2023) atau turun 1,36 persen. Kekeringan ekstrem El Nino telah menurunkan luas panen 300.000 hektar, dari 10,45 juta hektar (2022) menjadi 10,22 juta hektar (2023) atau turun 2,27 persen. Sedikit catatan agak baik adalah bahwa produktivitas padi meningkat 0,88 persen, dari 5,24 ton per hektar pada 2022 menjadi 5,26 ton per hektar pada 2023. El Nino berdampak lebih langsung terhadap penurunan luas panen dibandingkan dengan penurunan produksi.
Kinerja produktivitas padi banyak mengandalkan tambahan luas panen, bukan inovasi baru atau perubahan teknologi, teknik intensifikasi, pengelolaan panen dan pascapanen. Kita perlu lebih serius merumuskan strategi peningkatan produktivitas melalui pemberian insentif memadai bagi petani untuk melakukan perubahan teknologi, mengadopsi teknologi perbenihan dan pemupukan, penggunaan varietas unggul tahan genangan dan tahan kekeringan, apalagi di tengah fenomena perubahan iklim yang kian nyata berdampak signifikan.
El Nino berdampak lebih langsung terhadap penurunan luas panen dibandingkan dengan penurunan produksi.
Strategi peningkatan produktivitas ke depan perlu lebih banyak menggunakan aplikasi teknik pertanian cerdas (smart farming), pertanian presisi (precision farming), digitalisasi rantai nilai, dan lainnya. Kinerja produktivitas padi di Indonesia sebenarnya tak terlalu berbeda dengan di negara produsen beras lain di Asia Tenggara. Thailand dan Myanmar juga mengalami pelandaian produktivitas (levelling-off) dua dekade terakhir.
Berbeda dengan Vietnam dan Filipina yang mengalami lompatan produktivitas cukup signifikan, terutama karena penggunaan varietas unggul, yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.
Selain itu, penggunaan varietas unggul oleh petani padi Indonesia juga masih sangat rendah. Studi oleh Suryana dkk (2022) menunjukkan, sebagian besar (30 persen) petani padi Indonesia masih menggunakan varietas Ciherang, yang dihasilkan tahun 2000. Sebagian lagi (12,6 persen) menggunakan varietas Mekonga yang dirilis pada 2004. Hanya sebagian kecil yang menggunakan Inpari 32 (7,47 persen), Inpari 30 (6,13 persen), dan Situ Bagendit (4,12 persen). Bahkan, sekitar 6,31 persen masih menggunakan varietas IR64 yang dirilis tahun 1986.
Rendahnya adopsi teknologi baru produksi padi bukan karena ketidaktersediaan varietas baru, tapi lebih banyak karena rendahnya dukungan dan kinerja penyuluhan dan pendampingan kepada petani. Laporan Badan Litbang Pertanian (2022) atau sebelum melebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan, hingga tahun 2021, di Indonesia terdapat 117 jenis varietas unggul padi yang telah dirilis, 40 varietas jagung, 40 varietas kedelai, 110 varietas perkebunan, 15 varietas kacang-kacangan, 20 varietas tanaman rempah dan obat, 63 varietas sayur, 84 varietas buah, dan lain-lain.
Strategi peningkatan produktivitas, khususnya pangan pokok, perlu mengandalkan inovasi baru dan perubahan teknologi melalui proses penelitian dan pengembangan (R&D) jangka panjang. Para ilmuwan pertanian Indonesia telah sangat mumpuni untuk menghasilkan invensi baru dari hasil R&D tersebut. Invensi baru ini perlu segera menjadi inovasi baru yang dapat diadopsi oleh masyarakat atau telah masuk pada tahapan komersialisasi ke depan.
Rekomendasi kebijakan
Pertama, penyediaan benih berkualitas, baik melibatkan industri benih domestik, maupun asing, untuk mampu menjangkau seluruh pelosok dan bisa diakses oleh petani dari segenap lapisan.
Sistem perbenihan perlu dirombak dan disempurnakan agar memungkinkan perbaikan R&D, investasi, ekosistem lebih luas, melibatkan universitas dengan kelembagaan memadai, serta memungkinkan sistem penangkaran benih yang melibatkan masyarakat.
Kedua, perbaikan sistem pemupukan, bukan sekadar menaikturunkan angka subsidi pupuk atau bahkan mengubahnya menjadi bantuan langsung pupuk kepada petani (BLP). Pemupukan yang bisa meningkatkan produktivitas adalah yang mampu memperbaiki keseimbangan hara tanah yang dibutuhkan tanaman. Selain butuh pupuk urea, banyak daerah atau sentra produksi memerlukan tambahan fosfat dan kalium.
Baca juga: Memberikan Sentuhan Teknologi dalam ”Smart Farming”
Ketiga, penyehatan tanah secara menyeluruh melalui pengembalian BO seperti jerami ke dalam tanah, agar rasio karbon terhadap nitrogen (rasio C/N) naik pesat, misalnya melalui penambahan ameliorant tanah, pupuk hayati, dan sistem pertanian organik.
Keempat, revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, yang bisa memberdayakan petani untuk mampu menolong diri sendiri, mengembangkan sistem kelembagaan ekonomi petani, pendidikan, pelatihan, dan pemberdayaan petani untuk mengadaptasi serta mengadopsi inovasi baru yang mampu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani.
Kelima, pengembangan diversifikasi produksi pertanian ke arah yang mampu meningkatkan skala ekonomi untuk mendukung strategi diversifikasi konsumsi pangan yang mampu menyehatkan dan meningkatkan gizi masyarakat.
Bustanul Arifin,Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Indef; Ketua Umum Perhepi