Kembali pada Fitrah Politik
Peningkatan kapasitas warga menjadi jalan utama yang akan membuat politik kembali pada fitrahnya.
Momentum Lebaran yang mulia, rasanya baik jika digunakan sebagai ruang refleksi, guna memikirkan kembali seluruh kehadiran ”politik” dalam hidup bersama kita sebagai sebuah bangsa. Tentu kita tidak bermaksud mengganggu suasana yang fitri dengan hal ihwal yang telah telanjur dipersepsi sebagai realitas yang buruk.
Sebaliknya, kita percaya bahwa rasa gembira dalam suasana tulus saling memaafkan, akan membentuk kejernihan, yang justru dapat mengatasi hal-hal buruk dan menjadi berkah untuk membersihkan yang kotor.
Fitrah
Benarkah segala sesuatu hadir begitu saja tanpa suatu maksud tertentu? Jika kita kembali pada titik mula adanya negara Indonesia, akan diperoleh pelajaran penting bahwa mestinya segala sesuatu, pada dirinya, terkandung suatu misi, yang menjadi alasan utama keberadaannya.
Negara, dalam hal Republik Indonesia, seperti tersurat dalam Pembukaan UUD’45, diadakan tiada lain dan tiada bukan sebagai alat bangsa dalam mencapai kehidupan baru pascakolonial, yang digambarkan sebagai ”berkehidupan kebangsaan yang bebas”.
Yang dimaksud tentu adalah kebebasan dalam makna kompleks, yang di antaranya adalah bahwa bangsa tidak lagi ada dalam genggaman bangsa asing dan bahwa bangsa berhak sepenuhnya untuk tiba pada hari depan yang lebih baik, di mana frasa ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menjadi kebenaran nyata, yang dirasakan oleh tiap-tiap warga.
Baca juga: Idul Fitri, Kegembiraan Beragama dan Berpolitik
Demikian itulah misi yang diembankan pada negara. Dan persis, misi itu pula yang seharusnya menjadi neraca dalam melihat seluruh proses penyelenggaraan kekuasaan negara.
Manakala dalam hidup bangsa tidak ditemukan yang ideal dan sebaliknya yang berlangsung adalah keadaan yang justru ingin dihapus oleh kemerdekaan, maka tentu kita perlu mengambil jeda sejenak, untuk memikirkan dengan saksama, apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
Pertanyaan kita sebagai bangsa, mengapa kesempatan emas untuk mentransformasi hidup dan kehidupan bangsa pada keadaan yang baik disia-siakan begitu saja. Dalam batas-batas tertentu, mungkin dapat dikatakan bahwa yang tengah berlangsung pada dewasa ini berpotensi menggagalkan misi suci dibentuknya negara.
Apakah kenyataan tersebut datang dari ketidakmengertian akan misi negara? Ataukah karena salah dalam menerjemahkan konsepsi? Apakah karena tidak mampu atau tidak sanggup mengemban amanah? Ataukah karena telah terjadi formasi yang memang tidak hendak mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Dalam konteks demokrasi, Vedy R Hadiz melukiskan kemungkinan tersebut: ”Ini terjadi jika rakyat memilih pemimpin yang mewakili kepentingan khusus yang anti demokratis.” Lebih jauh dikatakan: ”Jadi, proses pemilu demokratis dapat membunuh atau mencederai demokrasi itu sendiri.” (Kompas, 25/1/2024).
Jalan kembali
Jika politik dimaknai sebagai seluruh proses penyelenggaraan kekuasaan negara, dalam hal ini pertanyaan dapat disederhanakan menjadi: ”ada apa dengan politik?” Dalam tajuk rencana harian Kompas dilukiskan: ”… sejumlah wacana politik belakangan ini menunjukkan politik Indonesia belum banyak berubah. Politik lebih banyak dipahami hanya sebagai cara mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan dan kekuatan” (Kompas, 16/3/2024). Politik dengan demikian seperti tengah mengeksklusifkan diri, menyempitkan perannya sendiri, dan mungkin telah memindahkan misi dari punggungnya, menggantinya dengan ”yang lain”.
Apakah yang demikian ini masuk dalam kategori ketidaksengajaan sejarah? Atau, sebaliknya, gerak sejarah hendak dibuat mundur jauh ke belakang. Artinya, keadaan kini merupakan produk dari kesengajaan dan karena itu ada diksi ”mempertahankan”?
Tentu yang dipertahankan bukan kesetiaan pada garis cita-cita luhur atau kesetiaan pada agenda reformasi. Apabila benar demikian itu adanya, maka dalam suasana fitri, kita bertanya: mengapa masyarakat kebanyakan membiarkan keadaan itu yang berlangsung? Atau, bahkan, mengapa masyarakat kebanyakan seperti memfasilitasi penyelenggaraan keadaan tersebut?
Dalam menghadapi situasi yang demikian, para bijak berpesan, kembalilah pada ibu dari politik, sang pemilik kedaulatan, yakni rakyat!
Sampai di sini kita tentu perlu mata hati agar bisa membedakan dengan jelas, mana prinsip fundamen dan mana hasrat. Para pendiri Republik percaya bahwa hasrat dapat dikendalikan oleh hukum. Kekuasaan dikendalikan dan dibatasi oleh hukum, bukan sebaliknya. Sementara hukum harus dikendalikan oleh etika.
Karena itu, ketika kuasa melampaui hukum, segala upaya mengembalikan ”langkah kuasa” pada sepenuh-penuhnya jalan konstitusi, tidak mungkin dengan jalan melampaui hukum. Dalam menghadapi situasi yang demikian, para bijak berpesan, kembalilah pada ibu dari politik, sang pemilik kedaulatan, yakni rakyat!
Lebaran mengajarkan kita pada kesabaran. Kendati keadaan mungkin memanggil-manggil agar muncul tindakan segera, tetapi kita tahu bahwa ketergesaan adalah sumber dari masalah baru.
Mungkin, suasana sekarang memberi ruang akan pentingnya suatu rencana strategis bangsa, yang disusun dengan sengaja dan sistematis, yaitu pendidikan kebangsaan. Suatu proses yang memang membutuhkan waktu dan mungkin membosankan, tetapi hanya dengan itulah kita akan mampu membangun fondasi kokoh, yang tidak mudah digoyahkan dengan siasat pendek dan pragmatis. Sikap kritis kampus yang muncul akhir-akhir ini dapat menjadi modal utama, yang akan menjadi rabuk kesuburan kesadaran rakyat.
Selanjutnya
Inti sari pokok pendidikan kebangsaan adalah membangun secara sengaja ekosistem demokrasi. Proses ini pada dasarnya adalah juga langkah membangun kepribadian bangsa. Usaha ini bisa menjadi suatu ”proyek nasional”, yang harus jujur diakui, belum diselenggarakan sebagaimana mestinya.
Hanya dengan peningkatan kapasitas warga, maka politik akan berjalan di atas rel konstitusi dan setia pada kepentingan nasional. Oleh karena nilai guna yang besar, maka semua komponen bangsa hendaknya dapat meneguhkan tekad bersama, berkolaborasi untuk menjadikan agenda ini sebagai bagian dari kepentingan nasional. Inilah jalan utama membuat politik kembali pada fitrahnya.
Kita percaya pada demokrasi. Dan justru karena itulah warga tidak boleh diasingkan dari praktik demokrasi. Dalam waktu-waktu ke depan, dapat dipikirkan upaya beberapa kolektif untuk mendorong proses penyehatan demokrasi.
Baca juga: Kembali ke Fitrah Kerukunan
Pertama, suatu konsolidasi masyarakat sipil yang lebih luas. Kampus telah memulainya. Kedua, suatu reformasi pada institusi yang memegang mandat melakukan perekrutan politik. Ketiga, langkah perbaikan menyeluruh terhadap semua proses pemilihan pemimpin publik, di semua sektor dan tingkatan.
Barangkali perlu dipikirkan suatu konsep kepemimpinan Indonesia—yang dengan itu, kita mempunyai kriteria baku dan nilai-nilai dasar kepemimpinan, yang digali dari Bumi Pertiwi. Semua ini akan menjadi tahap mula dalam proses panjang meningkatkan kapasitas warga, agar menjadi bagian dalam menjaga misi negara, mewujudkan cita-cita merdeka. Selamat berlebaran, maaf lahir dan batin.
Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri