Sihir Jimat Harimau dan Pemburu yang Diburu
Masyarakat lokal percaya bahwa harimau adalah sosok pelindung bagi manusia dari segala tindakan jahat yang akan datang.
Konon spesies manusia bisa bertahan melampaui jutaan tahun karena ia bisa memaksimalkan fungsi otak menjadi penalaran yang mampu memecahkan persoalan hidup. Kekuatan fisik tidaklah berarti banyak ketika tidak diimbangi dengan kecerdikan. Sebaliknya, tidak begitu halnya dengan binatang seperti harimau. Ia hanya memiliki kekuatan fisik tiada tara, tetapi tidak dilengkapi dengan kecerdasan otaknya.
Dalil ini bisa jadi merupakan pembenaran terhadap takdir. Hanya saja, ”kesempurnaan” sebagai makhluk hidup di alam semesta membuat manusia justru sering kali menggunakan kecerdikannya untuk tujuan-tujuan menghancurkan. Misalnya, demi mempertahankan hidup, manusia mulai merambah hutan, yang notabene teritorial dari binatang. Tidak sekadar mencari damar, seperti diceritakan dalam novel Harimau! Harimau! (1975) karya Mochtar Lubis, sekelompok manusia dari Desa Air Jernih, Sumatera, saling sikut, saling tuduh berdosa di antara mereka.
Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) tidak hanya dihadirkan secara fisik oleh Mochtar Lubis, tetapi menjelma dalam diri para pencari damar. Mereka memiliki nafsu membunuh manusia lain melebihi apa yang dimiliki oleh seekor harimau. Bahwa beberapa tokoh di dalam novel ini ”dihukum” Mochtar Lubis lewat kematian tak wajar: diterkam harimau! Drama itu adalah cara khas fiksi memberi ”hukuman” pada perilaku para tokohnya yang menyimpang dari norma.
Dalam novel ini, kita menyaksikan sebuah demonstrasi karakter yang mengendap dalam diri manusia. Bahwa kecerdasan otak tidak selamanya membuat manusia mampu mengelola ”anugerah” penalaran. Ia bahkan lebih buas dibandingkan seekor harimau, yang cuma memiliki kekuatan fisik.
Dalam terminologi kehinduan ada yang disebut Tri Pramana, terdiri dari bayu (tenaga), sabda (suara), dan idep (pikiran). Karena memiliki ketiga unsur ini, manusia disebut sebagai makhluk utama. Sementara binatang hanya memiliki bayu dan sabda dan pepohonan hanya memiliki bayu. Kategorisasi ini melahirkan sebutan manusia sebagai makhluk terunggul jika dibandingkan binatang, apalagi pepohonan.
Toh begitu, manusia sebagai makhluk terunggul lagi-lagi dibantah habis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen ”Macan”, yang dimuat Kompas Minggu (1/3/2020). Cerpen ini bahkan dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2020 dan juga barangkali menjadi salah satu cerpen terbaik dari Seno Gumira sendiri. Seno membalikkan dalil ”manusia unggul” itu dengan cara meneropong cerita dari sudut pandang seekor macan betina.
………Ia merunduk di balik semak, antara bersembunyi tetapi juga siap menerkam. Iring-iringan manusia berjalan berurutan di jalan setapak di bawahnya. Di sisi lain jalan terdapatlah jurang berdinding curam yang menggemakan arus sungai di dasarnya. Suara arus tentu lebih mengalihkan perhatian. Gemanya bahkan membuat mereka harus berbicara cukup keras.
”Hujan begini Simbah tidak ke mana-mana kan?”
”Oooh kurasa hujan seperti ini tidak banyak artinya untuk Simbah, justru ini saatnya keluar untuk mencari mangsa yang menggigil kedinginan.”……….
Itulah kutipan alinea kedua dan percakapan orang-orang kampung yang masuk ke hutan untuk memburu harimau betina. Seno mencoba ulang-alik memahami perasaan seekor harimau betina, yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri pasangannya dicincang oleh manusia (orang-orang kampung). Dengan sudut pandang semacam ini, kita diberi kedalaman perspektif agar benar-benar menyelami perasaan seekor harimau betina. Bahwa harimau juga memiliki naluri keibuan dan balas dendam jika ketenangan di wilayah teritorialnya terusik.
Baca juga: Robohnya Lumbung Padi Kami
Secara terpilih Seno menempatkan balas dendam seekor harimau tidak sekadar membunuh mangsanya. Orang-orang kampung yang membawa berbagai senjata tajam untuk memburunya dibiarkan melewati tebing curam tanpa gangguan. Andaikan harimau betina itu memiliki perasaan dendam yang membabi buta, tentu dengan mudah ia menerkam orang-orang kampung itu. Namun, ia sedang memburu seorang pemburu yang telah menjadi penyebab matinya sang jantan di tepi hutan.
Ketika bertemu si pemburu yang membunuh pejantannya, harimau betina itu bahkan mengamati perilaku manusia dari kejauhan. Seno menulis ending cerpen itu dengan kalimat berikut:
…….. Kemudian pintu rumah kayu itu terbuka. Dari dalam membersit cahaya lentera. Seorang lelaki berikat kepala dengan bau tubuh yang tengik berlari kecil ke arah sumur sambil membawa baskom.
Hujan belum berhenti ketika ia meluncurkan ember pada tali ke bawah dan mengereknya kembali ke atas secepatnya. Dalam kesibukan seperti itu pun, kepekaannya sebagai pemburu tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali timba dan membalikkan badan secepatnya.
Namun, kali ini terlambat.
Dalam ending menggantung semacam ini, banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Apakah harimau betina berhasil membalas dendam? Apakah ia mencabik-cabik si pemburu yang telah mencincang pejantannya? Mengapa Seno menghentikan ceritanya ketika pembaca benar-benar ingin tahu akhir dari kisahnya? Jikapun ia membunuh si pemburu, mengapa orang-orang kampung yang memburunya ke tengah hutan tidak dibunuhnya? Apakah harimau bisa membedakan mana kawan dan mana lawan? Lebih jauh lagi, apakah harimau mengerti mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk?
Sekali lagi, fiksi punya cara khas dan unik dalam menyodorkan pesan moral agar menjadi bahan permenungan bagi pembacanya. Ia tidak mengajari perihal dalil-dalil dalam agama atau hukum formal, tetapi menyodorkan simulasi realitas, yang bisa terjadi setiap saat di sekitarmu. Karena itu, kita harus belajar dari realitas pengalaman.
Ambillah perkara penyerangan harimau di Lampung Barat dan Sumatera Utara, periode Februari-Maret 2024, yang menimbulkan korban. Setidaknya telah terjadi tiga kali serangan harimau kepada para petani di Suoh, Lampung Barat. Umumnya, para petani sedang berladang di wilayah yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Terakhir di daerah berdekatan terjadi serangan terhadap Samanan (41), yang mengalami luka parah.
Celakanya, konflik yang berlarut-larut ini memicu aksi massa. Massa yang beringas membakar kantor Resort Suoh TNBBS. Massa menganggap para petugas tidak berhasil mencegah penyerangan harimau terhadap manusia. Binatang buas itu masih berkeliaran di hutan dan membuat warga ketakutan.
Fakta penyerangan ini bisa diperpanjang dengan peristiwa serupa di Desa Harapan Maju, Sei Lepan, Langkat, Sumatera Utara. Pada Senin (11/3/2024), petani bernama Jerimia Peranda Ginting (25) nyaris tewas diterkam harimau saat memetik cabai. Ironisnya, penerkaman itu terjadi justru lima hari setelah pelepasliaran dua harimau bernama Ambar Goldsmith dan Beru Situtung di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Sebelumnya, kedua harimau telah menjalani rehabilitasi selama setahun di Suaka Satwa Harimau Sumatera Barumun di Kabupaten Padang Lawas Utara. Keduanya juga korban konflik dengan manusia beberapa tahun sebelumnya. Ada dugaan satu di antara atau kedua harimau inilah yang menyerang Jerimia karena harimau selalu ingat pada wilayah teritorialnya.
”Harimau sumatera masih ingat dengan teritorialnya. Maka, dia akan kembali menguasai teritorialnya sehingga berpotensi menyerang warga sekitar hutan,” kata aktivis lingkungan Yudha Lesmana Pohan kepada media di Sumatera Utara.
Rasanya dalam soal satu ini, manusia yang justru tak pernah belajar dari pengalamannya. Para leluhur mereka telah mengajarkan lewat mitos-mitos yang tersebar di beberapa kelompok etnis masyarakat yang hidup di tepi hutan, di mana harimau bermukim. Sebutlah, misalnya, masyarakat Aceh menyebut harimau dengan sapaan rimueng. Binatang ini tak lain dipercaya sebagai jelmaan harimau putih dan harimau hitam yang menjaga makam Teuku Cot Bada di daerah Pidie. Menurut mitos, rimueng biasanya mendatangi makam setiap menjelang maghrib.
Di tanah Minang, harimau disapa dengan datuak atau inyiak, yang dipercaya sebagai roh leluhur mereka. Datuak bahkan menjadi inspirasi bagi berbagai kreativitas lokal, seperti silek harimau atau silat harimau. Di Riau, di sekitar Gunung Kerinci, masyarakat lokal memercayai bahwa harimau sumatera jelmaan sahabat dan prajurit roh para leluhur. Masyarakat Kerinci memanggil harimau sebagai kucing loreng besar dengan sebutan imaw srabat atau imaw ulubalang. Masyarakat lokal percaya bahwa harimau adalah sosok pelindung bagi manusia dari segala tindakan jahat yang akan datang. Mereka juga dianggap sebagai penjaga hutan yang akan mengusir satwa liar yang mengganggu kehidupan manusia.
Baca juga: Nyepi Bukan soal Kesepian
Jika masyarakat masuk ke dalam hutan dan bertemu dengan harimau, mereka harus menyapa dengan sebutan dio, diyau, dan hantuo. Ini sapaan khas lokal untuk menghormati sosok harimau yang lebih tua karena dipercaya binatang ini lebih dulu bermukim di Kerinci. Jika kedapatan harimau turun gunung dan mendekati permukiman warga, hal itu pertanda bahwa ada hukum adat yang dilanggar warga. Tak main-main, masyarakat Kerinci memiliki ritual bernama ngagah harimau, berupa pembacaan syair-syair untuk menghormati roh harimau yang telah mati.
Jangan lupa pula, masyarakat Sumatera Utara punya sapaan yang menyamakan harimau dengan seorang kakek, ompung. Sapaan itu menempatkan harimau pada posisi penting dalam struktur sosial masyarakat setempat. Masyarakat Jawa juga menyapa harimau dengan sapaan simbah (kakek) sebagaimana disebut dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma. Lalu masyarakat Bali menyebut harimau bali (Panthera tigris balica) sebagai sang mong.
Sebutan sang mong berasal dari sang maung, yang artinya ”beliau si harimau”. Sang mong memiliki tempat khusus dalam cerita-cerita rakyat Bali, termasuk diabadikan dalam lukisan klasik Kamasan, Klungkung. Dulu sekali, Bapak pernah cerita bahwa sang mong pernah ada di wilayah hutan Jembrana, tetapi karena terus diburu oleh tentara kolonial Belanda, perlahan-lahan punah.
”Ini jimat kuku sang mong,” kata Bapak suatu hari kepadaku.
Umurku baru 15 tahun ketika Bapak menyematkan jimat sang mong itu di saku bajuku. Waktu itu, Paman harus mengantar seorang penumpang dokar kami menuju Desa Pengambengan, yang jaraknya sekitar 7 kilometer dari desa kami. Penumpang itu mencarter dengan harga mahal. Tahun 1980-an, di Negara, kota kecil kami, angkutan utamanya adalah dokar. Mungkin karena penumpang ini menyewa dokar tengah malam, Bapak jadi waswas dan memintaku menemani Paman.
Entahlah apakah karena sihir jimat kuku sang mong atau hanya sensasi keberanian yang terpompa tiba-tiba menjadi semacam sugesti, aku seolah benar-benar siap untuk menghadapi segala kemungkinan di perjalanan kami. Keberanian itu termasuk dalam menghadapi si penumpang yang bisa jadi seorang perampok. Sebagai anak umur 15 tahun, aku benar-benar tak berpikir, apa yang harus dirampok dari kami, orang-orang yang hidup melata di jalanan?
Barangkali peristiwa itu hanya pengalaman kecil, yang mungkin buatmu tidak berarti apa-apa, karena kami aman sepanjang perjalanan pergi-pulang Pengambengan-Negara. Setidaknya, hari-hari ini belakangan ini, aku belajar banyak tentang keberadaan harimau di tengah-tengah kehidupan manusia modern. Impitan kesusahan dalam mempertahankan hidup membuat manusia berpikir pragmatis. Rezeki hari ini untuk hidup hari ini! Itu seperti mantra hidup di zaman modern.
Dalam pragmatisme hidup semacam itu, manusia melupakan akal sehat. Ajaran-ajaran yang diturunkan lewat mitos-mitos di sepanjang sejarah hidup harimau yang panjang terlupakan begitu saja. Hutan sebagai wilayah teritorial kehidupan binatang, termasuk harimau di dalamnya, secara drastis berubah fungsi karena desakan hidup. Dalam praktik tak terkendali itulah, manusia dibutakan oleh insting ”kebinatangan”: aku hidup karena itu aku ada!
Baca juga: Sebatang Pohon Pisang di Jendela
Tak salah jika Mochtar Lubis dan Seno Gumira Ajidarma membuat semacam ironi lewat sastra. Bahwa ternyata harimau jauh lebih setia dan berpikir adil daripada manusia. Kebuasan harimau tak lain adalah persepsi yang ditanamkan oleh pikiran pragmatis manusia. Sejatinya, kebuasan itu hidup subur di dalam tubuh manusia sejak keberadaannya di dunia. Paling tidak sejak filsuf seperti Aristoteles, ilmuwan Charles Darwin, atau Ernst Haeckel menempatkan manusia dalam kelompok para binatang. Bedanya, ketiganya memberi catatan bahwa manusia memiliki kemampuan berpikir dan menggunakan akal sehatnya.
Sejak konflik meletus di Pulau Sumatera bertahun-tahun lalu, antara manusia dan harimau, apakah pendapat ketiganya masih relevan? Jangan-jangan manusia telah lama disesatkan oleh kemampuan berpikirnya sehingga luput menghidupkan akal budi di dalam dirinya. Ah, sayang sekali. Kini, siapa yang pemburu dan siapa yang diburu?
Putu Fajar Arcana, Jurnalis Kompas 1994-2022; Sastrawan; Sutradara; Dosen Creative Writing London School of Public Relations, Jakarta