Mengurai Dominasi Platform Digital Global
Regulasi tentang ”publisher rights” hendaknya tidak dilihat sebagai ekspresi permusuhan terhadap platform digital.
Disrupsi digital adalah kabar untuk semua pihak. Tak ada sektor yang dapat menghindarinya. Tak ada pilihan selain mempersiapkan diri menghadapinya. Ini juga berlaku untuk media massa.
Media massa harus menghadapi perubahan pola konsumsi informasi yang kian memusat pada bentuk-bentuk baru teknologi dan aplikasi digital. Semakin sulit bagi pengelola media massa menghindari integrasi ke dalam ekosistem produksi, distribusi dan monetisasi konten yang dikendalikan perusahaan platform digital global.
Integrasi ini pada awalnya menghadirkan peluang-peluang baru yang menggiurkan untuk berinteraksi dengan khalayak dan menjalankan mode pariwara yang lebih menjamin presisi dan akurasi pesan.
Baca juga: Media Konvensional Kian Terdisrupsi Media Digital
Masalahnya, meskipun telah menjalankan integrasi dan telah sedemikian rupa beradaptasi dengan berbagai tuntutan digitalisasi, nasib media massa tetap tak membaik dan semakin terjepit oleh tekanan disrupsi.
Apa pun yang dilakukan pengelola media dalam konteks transformasi digital tidak akan berdampak banyak jika kita tidak segera beranjak menangani masalah lain yang tidak kalah serius, yakni struktur industri media yang semakin monopolistik, terpusat, dan timpang.
”Winner take all market”
Ekosistem bermedia hari ini menampakkan struktur yang berlapis-lapis. Bagaimana masyarakat mengonsumsi informasi, kurang-lebih ditentukan oleh apa platform media sosial (medsos), platform mesin pencari, platform video, web browser, sistem operasi, serta aplikasi tertanam dalam gawai yang mereka gunakan.
Model periklanan yang banyak digunakan pengiklan juga ditentukan oleh perilaku konsumsi media yang terbentuk oleh hal-hal tersebut.
Ilustrasi/Didie SW
Dalam konteks inilah, perusahaan platform digital kemudian mengendalikan praktik bermedia. Google secara paripurna menguasai pangsa pasar teknologi mesin pencari (Google Search), platform video (Youtube), web browser (Chrome), dan sistem operasi mobile (Android).
Meta mendominasi jagat medsos dengan mengoperasikan platform medsos terpopuler: Facebook, Instagram, dan Whatsapp. Dengan dominasi tersebut, Google dan Meta mempraktikkan monopsoni sekaligus monopoli, yakni menguasai pasar secara paripurna karena baik bahan dasar (data perilaku pengguna) maupun produk akhir (teknologi, informasi, dan iklan) telah dikendalikan oleh pihak yang sama.
Dalam kerangka ini, transformasi digital bukan hanya cerita tentang pergeseran dari media lama ke media baru, melainkan juga cerita pembentukan ulang ranah media sebagai sebagai winner-takes-all-market.
Suatu pasar di mana pemain terkuat, dalam hal ini platform digital global, tidak hanya mengambil keuntungan yang lebih besar, tetapi juga mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pemain lain, katakanlah media massa dengan jumlah yang jauh lebih besar, terpaksa memperebutkan remah-remah surplus ekonomi yang tersisa.
Pemain terkuat itu, dengan keunggulan modal, teknologi, jaringan, skala ekonomi, dan popularitas yang tak tertandingi, mampu menarik pengguna, konsumen, dan rekanan dengan jumlah yang berlipat ganda dalam waktu yang sangat cepat.
Regulasi tentang publisher rights hendaknya tidak dilihat sebagai ekspresi permusuhan terhadap platform digital.
Mereka mendorong pengguna untuk menarik pengguna yang lain, para pembeli layanan untuk menarik lebih banyak pembeli baru. Mereka memaksa para pemain lain untuk berbisnis dalam ekosistem dengan aturan-aturan yang telah mereka tentukan secara arbitrer.
Mereka menciptakan pertumbuhan yang fantastis, meraih posisi dominan di pasar dan terus menyerap surplus ekonomi dalam proporsi yang semakin besar. Semakin kuat winner-takes-all-market, semakin lebar ketimpangan antara sang penguasa pasar dan pelaku pasar yang lain. Semakin deras pula arus disrupsi yang melanda para pelaku pasar lain tersebut.
Persaingan yang terjadi antara penguasa dan pelaku pasar yang lain ibarat pertarungan David melawan Goliath.
Hal inilah yang terjadi dalam hubungan antara perusahaan platform digital dengan perusahaan media massa, termasuk di Indonesia. Dalam laporan yang disusun we are social dan Melwater, dari total belanja iklan Indonesia tahun 2023 yang mencapai Rp 103,4 triliun, belanja iklan digital memiliki porsi 46 persen (Rp 47,5 triliun).
Dengan angka pertumbuhan di atas 10 persen per tahun, belanja iklan digital diperkirakan akan menyudahi dominasi belanja iklan televisi di Indonesia tahun 2025. Siapa yang menikmati pertumbuhan ini? Sayangnya, bukan media massa konvensional, melainkan raksasa digital Google dan Meta.
Dalam tiga tahun terakhir, duopoli itu menguasai lebih dari 70 persen belanja iklan digital di Indonesia. Hal ini terjadi setidaknya melalui dua cara.
Pertama, mereka adalah pemilik inventori iklan terbesar. Mereka mengoperasikan platform mesin pencarian, video dan media sosial dengan popularitas yang tak tertandingi. Popularitas ini mampu melahirkan persepsi publik bahwa ”kalau mau mencari informasi, hiburan, dan jejaring, ya, harus ke Google Search, Youtube, Facebook, dan Instagram”.
Persepsi ini begitu kuat sehingga melahirkan trafik dan social engagement yang sangat besar dan memusat, yang pada gilirannya juga menggerakkan tren pemasaran dan periklanan ke arah yang sama. Maka tak mengherankan jika pangsa pasar iklan pencarian, iklan media sosial, dan iklan video belakangan semakin dominan.
Dalam peta belanja iklan digital Indonesia tahun 2023, ketiga jenis periklanan ini memiliki porsi masing-masing: iklan pencarian (32 persen/Rp 15,5 triliun), iklan medsos (35 persen/Rp 16,7 triliun), iklan video (14,8 persen/Rp 10,9 triliun). Sekali lagi, penguasanya adalah Google dan Meta.
Kedua, perusahaan platform digital juga mengoperasikan berbagai teknologi penunjang periklanan digital yang semakin lama semakin sulit dihindari penerapannya oleh para penerbit dan pengiklan, seperti DSP, SSP, Ads Servers, Trading Desk, Web Browser, Analytics Software Provider, data provider.
Baca juga: Terkait ”Publisher Rights”, Indonesia Harus Segera Belajar Cara Negosiasi dengan Platform Digital
Teknologi-teknologi ini melahirkan mode periklanan programatik dengan perusahaan platform bertindak sebagai broker yang menjembatani hubungan antara pengiklan dan media. Sebagai broker, ”diam-diam” mereka mengambil porsi bagi-hasil terbesar, diperkirakan sebesar 61-74 persen dari nilai transaksi iklan.
Karena tidak berhubungan langsung dengan pengiklan, pihak media massa umumnya tidak mengetahui secara persis duduk masalah ini. Padahal, porsi periklanan programatik sangat dominan dalam pasar periklanan digital di Indonesia, yakni mencapai 80 persen (Rp 38,6 triliun) dari total belanja iklan digital Indonesia 2023.
Hak penerbit
Disrupsi bagi pengelola media massa dalam hal ini bermakna kalah bersaing dalam menawarkan inventori iklan dan harus menyisihkan sebagian pendapatan untuk perusahaan platform yang bertindak ”broker” teknologi periklanan.
Permasalahannya kemudian, bagaimana kalau ini terjadi tak secara alamiah, tetapi dalam struktur ekonomi yang timpang dan monopolistik? Dalam konteks inilah regulasi publisher rights, seperti baru saja disahkan melalui Peraturan Presiden No 32/2024 tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas semestinya diletakkan.
Campur tangan pemerintah dibutuhkan karena secara faktual perusahaan platform digital global telah menguasai lebih dari 70 persen belanja iklan digital dan lebih dari 80 persen distribusi konten jurnalistik di Indonesia. Monopoli di bidang apa pun sudah semestinya dikendalikan. Apalagi, di bidang yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan akan ruang publik media yang beradab dan mendukung nilai demokrasi, kebebasan, dan keberagaman.
Afirmasi pemerintah dibutuhkan karena secara faktual media massa kesulitan bernegosiasi dengan perusahaan platform digital akibat posisi yang timpang dan berat sebelah.
Regulasi tentang publisher rights hendaknya tidak dilihat sebagai ekspresi permusuhan terhadap platform digital. Keberadaan platform digital telah memberikan banyak manfaat positif untuk industri kreatif, deliberasi publik, demokratisasi, pengembangan inovasi dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, memusuhi mereka jelas bukan pilihan yang masuk akal. Kita tidak bisa hidup tanpa bersentuhan dengan teknologi, aplikasi dan layanan digital yang mereka lahirkan.
Namun, yang juga mesti ditegaskan adalah bahwa perusahaan platform digital—apa pun produk mereka— bagaimanapun adalah makhluk ekonomi yang membawa motif utama komodifikasi dan komersialisasi. Platform mesin pencarian memfasilitasi distribusi konten sekaligus mengambil keuntungan yang jauh lebih besar dari yang didapatkan si pembuat konten.
Media sosial adalah media jejaring sekaligus sarana komodifikasi dan komersialisasi. Motif komodifikasi dan komersialisasi ini secara faktual telah melahirkan dampak negatif: epidemi hoaks, polarisasi sosial, kecanduan gawai, arus modal keluar (capital out flow), monopoli periklanan digital, pelanggaran privasi dan lain-lain.
Regulasi tentang publisher rights hendaknya tidak dilihat sebagai ekspresi permusuhan terhadap platform digital.
Dalam konteks ini, regulasi publisher rights semestinya diletakkan sebagai suatu inisiatif untuk mendorong platform digital mengambil tanggung jawab yang setara dengan keuntungan-keuntungan yang telah mereka peroleh dari proyek ”digitalisasi” di suatu negara.
Publisher rights tidak secara eksplisit mewajibkan platform digital menyerahkan sejumlah remunerasi konten kepada media massa, tetapi mewajibkan mereka untuk bernegosiasi berdasarkan itikad baik tentang remunerasi konten itu dengan pihak media massa.
Perspektif geo-ekonomi-politik juga penting sebagai titik tolak di sini. Google, Facebook, Amazon, Microsoft, dan Apple bagaimanapun adalah representasi kepentingan ekonomi-politik negeri ”Paman Sam”. Ketika otoritas Uni Eropa mempersoalkan model bisnis mereka yang monopolistik, Presiden AS secara langsung turun gelanggang untuk membela ”kepentingan ekonomi digital” negaranya.
Di sisi lain, Alibaba, Baidu, Tencent, dan Tiktok sedikit-banyak juga mencerminkan semangat ekspansionisme digital negeri ”Tirai Bambu”.
Dengan latar belakang seperti ini, pengaturan segi-segi digitalisasi dalam konteks hukum nasional menjadi kecenderungan global baru. Publisher rights hanya satu contoh di sini. Berbagai negara terus melakukannya untuk melindungi publik nasional dari bahaya epidemi hoaks, kebocoran data pribadi dan berbagai kejahatan digital trans-nasional, serta untuk menegakkan kepentingan nasional dalam percaturan geo-ekonomi-politik digitalisasi global.
Baca juga: Kuasa Algoritma dan Polarisasi Politik
Namun, batas api yang perlu ditegaskan di sini adalah kita sedang berusaha mengatasi dampak negatif digitalisasi. Jangan sampai hasilnya keputusan politik yang mereduksi segi-segi positif digitalisasi! Preservasi atas peran positif teknologi terhadap ranah kebebasan, demokrasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan mesti menjadi paradigma dalam upaya meregulasi segi-segi digitalisasi dalam konteks hukum nasional suatu negara.
Agus Sudibyo,Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI