Lama tak terdengar, ”plinthat-plinthut” kini jadi ”plin-plan”. Ada juga ”bunglon”. Keduanya mengandung arti negatif.
Oleh
L WILARDJO
·2 menit baca
Saya masih ingat, dulu Bung Karno dalam pidatonya pernah memakai kata plinthat-plinthut. Kata dalam bahasa Jawa ini diucapkan BK meskipun pada waktu itu beliau sedang berpidato dalam bahasa Indonesia.
Plinthat-plinthut sebagai verba atau adjektiva berarti ’berubah-ubah perkataan atau pernyataannya’. Ubahannya bukan parafrasa perkataan sebelumnya yang maksudnya sama, tetapi mengandung arti yang berbeda; bahkan dapat menyangkal pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain: tidak panggah atau inkonsisten.
Kemudian kata plinthat-plinthut tidak terdengar lagi, tetapi muncul ringkasannya yang menggantikannya. Ringkasannya, seperti kata awal kepanjangannya, juga merupakan perulangan dengan perubahan bunyi, yakni plin-plan.
Dalam bahasa Jawa perulangan kata dengan perubahan bunyi itu disebut dwilingga salin swara. Selain plinthat-plinthut, banyak lagi contoh lainnya, seperti mubra-mubru, grusa-grusu, mrana-mrene, klithah-klithih, modhal-madhul, wira-wiri, dan mbolak-mbalik.
Demikian pula dalam bahasa Indonesia, misalnya ke sana-ke sini, siku-saki, dan basa-basi. Siku-saki direkacipta oleh Prof H Johannes sebagai padanan zig-zag (Ing). Siku-saki sebaiknya tidak kita terima sebagai padanan (sinonim) siku-keluang yang sudah ada sebelumnya, tetapi tidak ada salahnya kalau menggantikannya. Siku-keluang lalu kita jadikan istilah yang dijauhkan (deprecated term).
Entah siapa yang pertama kali meringkas plinthat-plinthut menjadi plin-plan dan sekaligus menyerapnya ke dalam kosakata bahasa Indonesia. Mungkin peringkasannya itu kreativitasnya sendiri, tetapi boleh jadi dia diilhami oleh kata flim-flam dalam bahasa Inggris. Sebagai verba transitif, flim-flam berarti ’menipu (to swindle)’. Orang yang bicaranya plin-plan (plinthat-plinthut atau mencla-mencle, Jw) biasanya memang pembohong atau penipu.
Agaknya Bung Karno—seperti kita semua, pada umumnya—tidak menyukai orang yang plin-plan. Dalam pidatonya yang lain, beliau memakai kata bunglon. Menurut KBBI, bunglon ialah ’bengkarung yang hidup di pohon, dapat bertukar warna menurut tempatnya’. Itu dilakukannya untuk menyamarkan dirinya (berkamuflase/camouflage), baik dari mangsanya maupun dari pemangsanya. Dalam zoologi akal ganti warna ini disebut mimikri atau mimesis.
Makna kiasan dari bunglon menurut KBBI ialah ’orang yang tidak tetap pendiriannya (memihak ke sana-sini asal menguntungkan dirinya)’. Jadi, baik bunglon maupun plin-plan mengandung arti yang negatif, yang tidak terpuji.
Orang plin-plan alias manusia bunglon juga diolok-olok dengan ungkapan esuk dhele sore tempe atau esuk kaspe sore tape, yang artinya ’pagi masih berupa kedelai, sore sudah jadi tempe’, atau ’pagi masih berupa kaspe, sore sudah jadi tapai’. Tentulah karena kedelai/kaspe itu ditaburi bubuk ragi, lalu diperam, sehingga mengalami fermentasi. Glukosanya terurai menjadi etanol dan karbon dioksida.
Kaspe ialah ubi kayu yang juga disebut bohung atau bodin (Manihot utilissima). Ada nyinyiran tentang proyek lumbung pangan (food estate) yang dinilai gagal, yakni ”tanam pohung, panen jagung”.