Pemerintah Baru, Pilih Energi Terbarukan atau Solusi Palsu?
Kita berharap lima tahun ke depan tidak muncul solusi palsu transisi energi. Ini tantangan masyarakat untuk bergerak.
Oleh
FIRDAUS CAHYADI
·4 menit baca
Tiga hari setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024, 350.org—organisasi lingkungan hidup di Indonesia—meluncurkan sebuah film tentang dokumentasi energi terbarukan berbasis masyarakat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Film itu berjudul AdventuRE (Adventure Renewable Energy).
Secara garis besar, film itu bercerita tentang perjalanan sosok Lathifah Hana Gusti, mahasiswi Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, untuk mencari solusi nyata krisis energi. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Jakarta, Hana tidak merasakan persoalan krisis energi.
Perjalannya membuat ia sadar bahwa ada ketimpangan energi yang luar biasa antara Jakarta dan luar Jakarta. Di Jakarta, ia dengan mudah mendapatkan aliran listrik. Namun, di luar Jakarta, ia menyaksikan sendiri begitu banyak warga desa yang terus berjuang mengupayakan aliran listrik dengan energi terbarukan berbasis komunitas.
Dalam perjalanannya, ia melihat komunitas masyarakat di Lumajang, Jawa Timur, dan Kedungrong, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, memanfaatkan pembangkit listrik tenaga mikro-hidro (PLTMH). Di Bali, ia melihat masyarakat Karangasem memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, ia melihat masyarakat memanfaatkan energi dari angin.
Setelah berkeliling Indonesia dan kembali ke Jakarta, ia mengajukan pertanyaan baru. Energi terbarukan sudah diupayakan oleh komunitas, tetapi kenapa belum ada kemauan politik pemerintah mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas?
Pertanyaan Hana dalam film AdventuRE itu sangat relevan dengan kondisi saat ini. Pertanyaan dalam film itu seharusnya merupakan tamparan bagi pengambil kebijakan energi di negeri ini. Bagaimana tidak, dalam skema pendanaan JETP (Just Energy Transition Partnership), misalnya, pemerintah justru memilih mengembangkan energi terbarukan berskala besar yang rentan konflik dengan masyarakat sekitar.
Bukan hanya itu, pemerintah justru berupaya untuk terus memperpanjang penggunaan energi fosil melalui serangkaian kebijakan solusi palsu. Salah satu solusi palsu itu adalahcarbon capture storage (CCS).
Di akhir periode masa jabatannya, tepatnya pada akhir Januari lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Perpres ini akan menjadi payung hukum bagi kegiatan CCS di Indonesia. Pemerintah seperti tidak peduli bahwa semakin lama energi fosil tetap digunakan, semakin sulit pula pengembangan energi terbarukan.
Sudah dapat dipastikan Jokowi tidak akan lagi menjadi presiden Indonesia lagi dan akan digantikan Prabowo untuk lima tahun ke depan. Apakah pertanyaan tokoh utama film AdventuRE terkait kemauan politik pemerintah dalam mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas masih relevan?
Jawabannya singkat, semakin relevan. Bagaimana tidak, di berbagai kesempatan Prabowo selalu mengemukakan akan melanjutkan model pembangunan Jokowi. Ini bisa berarti bahwa Prabowo juga akan melanjutkan lemahnya komitmen Jokowi dalam mengembangkan energi terbarukan berbasis masyarakat.
Pemerintah seperti tidak peduli bahwa semakin lama energi fosil tetap digunakan, semakin sulit pula pengembangan energi terbarukan.
Bukan hanya itu, Prabowo adalah sosok yang sangat dekat dengan pebisnis industri fosil, termasuk batubara. Bahkan, menurut penelitian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Prabowo merupakan salah satu pemegang saham perusahaan batubara yang memiliki luas konsesi sebesar 4.793 hektar di Berau, Kalimantan Timur.
Prabowo, menurut catatan Jatam, juga menjadi salah satu pemegang saham PT Nusantara Kaltim Coal yang didirikan pada 2005. PT Nusantara Kaltim Coal memiliki konsesi tambang batubara seluas 11.040 hektar di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Bukan hanya itu, dalam pilpres lalu, Prabowo juga mendapat dukungan dari para pemilik modal di sektor energi fosil, termasuk batubara.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah dalam lima tahun ke depan, publik bisa berharap pemerintah baru dapat secara serius mengakhiri ketergantungan Indonesia terhadap energi kotor batubara untuk beralih ke energi terbarukan? Mungkinkah Prabowo akan mampu mengendalikan kepentingan dirinya sendiri dan juga orang-orang terdekatnya yang memiliki bisnis di industri energi fosil? Jawabnya sangat sulit untuk tidak mengatakan mustahil.
Alih-alih mengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat, dalam dokumen visi dan misinya pasangan Prabowo-Gibran justru akan memprioritaskan energi hijau yang berasal dari sawit. Dapat dikatakan energi hijau berbasis sawit ini adalah solusi palsu karena akan berpotensi mendorong ekspansi sawit dalam hutan secara ugal-ugalan. Angka deforestasi pun dipastikan akan meningkat.
Jika itu terjadi, bukan hanya memperburuk keanekaragaman hayati, melainkan juga menempatkan Indonesia sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar dari sektor kehutanan.
Dapat dikatakan dalam lima tahun ke depan adalah masa-masa yang sulit bagi pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat. Kita berharap, dalam lima tahun ke depan tidak bermunculan solusi palsu dari transisi energi. Jika solusi palsu yang bermunculan, dalam lima tahun ke depan, transisi energi tampaknya tidak lagi jalan di tempat seperti selama ini, tetapi bisa jadi berjalan mundur.
Film AdventuRE adalah bagian dari cara masyarakat mengingatkan para pejabat publiknya untuk lebih serius dalam mengurus transisi energi, yang merupakan hajat hidup orang banyak. Cepat atau lambat Indonesia harus meninggalkan energi fosil karena selain tidak ramah lingkungan hidup juga persediaannya yang makin menipis. Proses transisi energi itu tidak seharusnya mengulang kesalahan masa lalu dengan mengabaikan peran komunitas masyarakat.
Situasi yang gelap dalam lima tahun ke depan terkait transisi energi justru harus menjadi tantangan masyarakat untuk bergerak. Tanpa suara-suara masyarakat yang terus mengingatkan pentingnya transisi energi yang adil, kita akan terus kecanduan energi fosil dan terjebak dalam solusi palsu transisi energi. Jika itu terjadi, kita tidak lagi berjalan menuju Indonesia Emas, tetapi Indonesia Cemas.
Firdaus Cahyadi, Indonesia Team Lead Interim 350.org Indonesia