Hak Penerbit dan Jurnalisme Berkualitas
Seraya menyambut gembira Perpres No 32/2024, ada banyak ”cek kosong” yang harus ditindaklanjuti oleh komunitas pers.
Harian Kompas edisi 21 Februari 2024 memuat berita utama bertajuk ”Aturan Hak Penerbit Dukung Jurnalisme Berkualitas”.
Judul ini sangat pas untuk memosisikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang dukungan platform digital untuk jurnalisme berkualitas. Mengapa? Jawabannya terletak pada diksi ”dukungan” yang berarti ia bukan faktor penentu utama.
Makna Perpres No 32/2024
Bagaimana kita harus memahami perpres ini dalam spektrum media pers digital berskala global? Apakah ada jaminan bahwa regulasi setingkat perpres, dengan belajar dari kasus Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999, akan membangun iklim industri berita yang berkualitas?
Patut diakui ada beberapa terobosan yang lahir dari aturan ini. Pertama, dari segi struktur regulasi, perpres ini adalah ”anak kandung” pertama dari UU No 40/1999 tentang Pers yang dibuat oleh pemerintah, bukan komunitas pers.
Dalam konteks sejarah regulasi pers, aturan ini membuka pintu produksi aturan di bawah UU Pers yang dapat dibuat oleh pemerintah, atau model regulasi berikutnya terkait pers, apabila peraturan yang dibuat oleh Dewan Pers dianggap lemah atau kurang berwibawa.
Seperti jamak terjadi di beberapa negara lain, termasuk Australia, Jerman, dan Kanada, ada ”situasi khusus” yang membuat self-regulation tidak cukup kuat, terutama karena pihak yang menjadi konstituen bukan korporasi media berskala lokal, melainkan global.
Regulasi setingkat perpres di Indonesia menjadi awal yang baik untuk ’uji nyali’ keberanian pemegang otoritas pers terhadap platform digital.
Perusahaan raksasa digital global cenderung tak patuh pada regulasi internal media pers dan hanya akan merespons regulasi yang diproduksi oleh pemerintah setempat. Regulasi setingkat perpres di Indonesia menjadi awal yang baik untuk ”uji nyali” keberanian pemegang otoritas pers terhadap platform digital.
Jika nantinya terbukti kurang kuat, ia dapat saja dilakukan revisi atau dinaikkan aturannya pada tingkat UU.
Kedua, perpres memberikan pengakuan terhadap pentingnya platform digital sebagai aktor dalam ekosistem kemerdekaan pers (ekonomis dan teknologis) di Indonesia. Disrupsi digital telah ditandai oleh krisis produksi berita berbasis cetak yang berbiaya tinggi.
Fenomena ini diikuti krisis sumber daya iklan komersial yang memaksa perusahaan berita lokal bermigrasi ke media digital. Pada saat bersamaan, ribuan digital-only news media tumbuh subur. Sayangnya, kedua inisiatif ini secara bisnis bergantung pada ”kemurahan hati” platform selaku pemegang kendali teknologi reproduksi dan distribusi beserta ekosistem bisnisnya.
Dengan pola pikir ini, maka platform digital yang notabene adalah perusahaan jasa teknologi telah dianggap sebagai pihak yang secara legal turut bertanggung jawab atas praktik bisnis berita di Indonesia.
Pola pikir ini selaras dengan ekspansi bisnis platform digital yang memang rajin mengagregasi konten berita, mengurasi lewat kerja moderasi mesin kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), bahkan membuat sendiri konten berita serta menjadikannya sebagai komoditas publik.
Ketiga, kepemilikan korporasi platform digital yang tak dikuasai suatu negara, tapi lintas negara, mendorong pemerintah di seluruh dunia untuk ”turun tangan” melalui regulasi ini guna menjamin keseimbangan posisi tawar antara bisnis media lokal dengan platform global selaku agregator, pengendali algoritma dan tarif iklan.
Tentunya dalam jangka panjang ada harapan agar muncul platform digital raksasa setingkat Google di Indonesia atau minimal terjadi akuisisi sebagian kepemilikan platform global itu oleh pengusaha nasional.
Terakhir, perpres memberikan mandat cukup besar kepada Dewan Pers sebagai regulator utama jurnalisme berkualitas. Mandat itu, misalnya, tecermin dari otoritas mengangkat komite dan mengeksekusi keseluruhan isi perpres yang mengatur pentingnya jurnalisme berkualitas, core business Dewan Pers.
Maknanya, Dewan Pers yang sejatinya bertugas mengawal kode etik jurnalistik dan profesionalisme jurnalis mendapat perluasan mandat ke area negosiasi bisnis berita dengan platform digital, tugas yang cukup berat dan tidak lazim.
Upaya filter berita bermasalah (Pasal 5 poin a, perpres) sebetulnya adalah tugas di sektor hilir, sedangkan hulunya penguatan model bisnis bagi media independen.
Catatan problematis
Pada intinya, keluarnya perpres ini tidak hanya kabar baik bagi industri berita lokal dan nasional yang memakai platform digital, tetapi juga tantangan bagi penguatan peran dan kelembagaan Dewan Pers selaku regulator dan juga komunitas pers secara umum.
Dalam upaya ini, ada beberapa catatan problematis yang terkandung dalam substansi perpres. Catatan ini menjadi beban yang harus dipikul komunitas pers, termasuk Dewan Pers, untuk memastikan agar ekosistem media berita digital menjadi sehat.
Pertama, penggunaan diksi jurnalisme berkualitas dalam nama perpres mengisyaratkan idealisme tinggi dari aturan ini, tetapi tak terdapat penjelasan memadai terkait indikatornya. Jurnalisme berkualitas ditempatkan sebagai jiwa perpres, tetapi ketentuan pasal-pasalnya cenderung mereduksi pada aspek pembagian keuntungan finansial dan tata kelola teknologi algoritma digital.
Ketentuan terkait standar etik dan model bisnis media berita yang harus dikembangkan tidak mendapat tempat dalam perpres.
Kedua, postur perpres yang kurus, ramping, hanya 19 pasal atau 10 halaman, membuat area pengaturannya menjadi sangat umum, belum masuk ke wilayah teknis. Bandingkan, misalnya, dengan News Media and Digital Platforms Mandatory Bargaining Code Bill 2021 di Australia yang isinya mencapai 57 halaman.
Artinya, diperlukan produksi regulasi yang lebih rendah, dengan risiko waktu, energi, dan biaya yang lebih besar, baik untuk komite maupun lembaga terkait. Misalnya, perumusan ketentuan terkait persentase pembagian hasil antara platform digital selaku agregator dengan media siber, pasti akan alot. Harapan bahwa perpres ini dapat langsung berlaku tidak bisa diwujudkan.
Ketiga dan ini paling penting, perpres belum mengatur afirmasi khusus untuk media layanan publik berbasis digital, yang selama sekian tahun ini justru aktif memproduksi konten jurnalisme berkualitas.
Tanpa aturan afirmatif ini, skema bagi hasil dan kewajiban platform mendukung jurnalisme berkualitas hanya menguntungkan industri berita media digital yang berskala besar, atau industri berita berpola click-bait yang selama ini merajai platform. Upaya filter berita bermasalah (Pasal 5 poin a, perpres) sebetulnya adalah tugas di sektor hilir, sedangkan hulunya penguatan model bisnis bagi media independen.
Baca juga: Perpres soal Hak Penerbit Timbulkan Multitafsir
Intinya, seraya menyambut gembira adanya payung hukum ini, ada banyak ”cek kosong” yang harus ditindaklanjuti oleh komunitas pers dari perpres tersebut agar ia dapat berlaku efektif. Keadaan ini mirip dengan UU Pers yang saat kelahirannya hingga sekarang sangat kurus (21 pasal).
Kedua regulasi hanya menjadi patokan dan memberi isyarat bahwa self-regulation tetap menjadi regulasi yang tepat. Artinya pula, pasca-perpres tersebut, jaminan ada tidaknya komitmen jurnalisme berkualitas terpulang pada komunitas pers itu sendiri.
Masduki Guru Besar Kajian Media dan Jurnalisme, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta