Susu Gratis, dari Mana Susunya?
Percepatan swasembada susu secara berkelanjutan dan lebih serius bentuk dukungan pemutusan mata rantai susu impor.
Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang hampir pasti memenangi Pilpres 2024 menjanjikan program susu gratis dalam upaya mewujudkan SDM unggul untuk Indonesia Emas 2045. Di tengah kondisi persusuan nasional yang sedang tidak baik-baik saja, dari mana sumber susu diperoleh?
Prabowo pernah menyebutkan bahwa susu berasal dari sapi langsung karena mutunya lebih baik dibandingkan dengan susu kemasan pabrik.
Namun, berdasarkan data BPS (2022), produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya 968.980 ton atau sekitar 20 persen dari kebutuhan nasional yang mencapai 4,4 juta ton. Meski mengalami kenaikan produksi setiap tahun, jumlah belum bisa mengejar angka kebutuhan dalam negeri. Sisanya masih dipenuhi dari impor, sekitar 80 persen dari kebutuhan.
Konsumsi rendah
Tingkat konsumsi susu penduduk Indonesia masih rendah, yaitu sekitar 16 kilogram per tahun. Sejatinya, kebutuhan susu terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang saat ini sudah mendekati 280 juta jiwa. Ini artinya pengembangan peternakan sapi perah lokal secara lebih profesional menjadi kata kunci mengingat peluang pasar susu nasional terbuka lebar seiring tumbuhnya kebutuhan masyarakat.
Melakukan percepatan swasembada susu secara berkelanjutan dan lebih serius ialah bentuk dukungan pada upaya pemutusan mata rantai susu sapi impor.
Minimnya produksi susu nasional dipicu oleh dua hal: jumlah populasi sapi perah yang tak mencukupi dan rendahnya produktivitas sapi perah itu sendiri. Dari sisi produktivitas, sapi perah di Indonesia rata-rata hanya memproduksi 10 liter per ekor per hari. Jauh dari produksi susu sapi negara maju yang bisa mencapai 30 liter, bahkan 50 liter per ekor per hari. Sapi-sapi yang produktivitasnya rendah mayoritas dikelola peternak kecil dengan pengelolaan sapi yang masih tradisional. Pada poin inilah pilar swasembada susu nasional harus diberi penguatan.
Produksi susu di Indonesia sebagian besar dihasilkan peternak rakyat dengan skala usaha 1-3 ekor sapi perah. Skala usaha ternak ini kurang ekonomis karena keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan susu hanya cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup peternak. Namun, sejumlah perusahaan susu nasional yang menerapkan manajemen ternak dan teknologi yang baik bisa memiliki produktivitas susu 24 liter bahkan 34 liter per hari.
Tingkat konsumsi susu yang masih rendah harus diisi dengan mengimpor susu untuk menutupi defisit ketersediaan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memberi batas rendah untuk konsumsi susu di bawah 30 kilogram per kapita per tahun. Sementara batas sedang untuk konsumsi susu mencapai 31-150 kilogram per kapita per tahun, dan di atas itu dianggap sebagai konsumsi tinggi.
Laju konsumsi susu di republik agraris ini—yang masih tergolong rendah berdasarkan standar dari FAO—harus ditingkatkan. Pasalnya, susu merupakan bahan pangan yang kaya kandungan gizi. Ia menjadi sumber protein berkualitas, sumber kalsium yang menguatkan tulang, dan diyakini dapat memperbaiki gizi anak balita untuk tidak terpapar tengkes (stunting), alias gagal tumbuh.
Program kerja capres-cawapres yang menjanjikan pemberian susu gratis patut diberi apresiasi. Namun, konsekuensi logisnya keran impor bakal dibuka. Lantas, siapa yang diuntungkan? Tentu saja para importir susu dan sapi perah. Rencana impor 1,5 juta ekor sapi perah untuk menyukseskan program susu gratis layak dikritisi. Bahkan, dalam dua tahun akan ada 3 juta ekor sapi perah yang dapat memproduksi susu untuk kebutuhan susu gratis bagi 82 juta anak.
Rencana besar importasi ini sangat bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mengurangi barang impor. Ia berulang kali mengungkapkan kekesalan akibat maraknya barang impor di Indonesia. Bahkan, ia pernah menyebut, hobi impor sebagai sebuah kebodohan di tengah melimpahnya potensi sumber bahan pangan lokal.
Produksi susu di Indonesia sebagian besar dihasilkan peternak rakyat dengan skala usaha 1-3 ekor sapi perah.
Percepatan swasembada
Mendorong penguatan swasembada susu guna meningkatkan konsumsi susu menjadi catatan penting bagi pemerintahan hasil Pemilu 2024. Siapa pun pemenangnya patut melakukan percepatan swasembada susu sapi tahun 2030.
Sebagai perbandingan, tingkat konsumsi susu di Filipina sudah di angka 23 kilogram per kapita per tahun, lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Thailand 44 kilogram per kapita per tahun dan Malaysia 50 kilogram per kapita per tahun. Jika masyarakat Indonesia mengonsumsi setidaknya 30 kilogram per kapita per tahun saja, kebutuhan susu nasional bisa melonjak menjadi lebih dari 8 juta ton per tahun. Pasar ini seharusnya menjadi ruang yang menjanjikan bagi peternak sapi perah lokal.
Niat swasembada susu sudah berulang kali diserukan pemerintah. Saatnya pemerintah membuat regulasi baru dan membenahi lebih serius usaha penggemukan dan peternakan sapi lokal guna memacu kinerjanya supaya bisa menyediakan susu berkualitas untuk kebutuhan masyarakat menyongsong Indonesia Emas 2045. Upaya ini bisa tercapai apabila pemerintah memberikan subsidi memadai sehingga produksi dan produktivitas ternak sapi perah bisa ditingkatkan.
Langkah antisipasi lewat pemberdayaan peternak kecil dan menengah menjadi agenda jangka panjang yang amat penting. De facto, peternak kecil yang jumlahnya hampir 80 persen dari seluruh usaha peternakan yang ada adalah pemasok susu terbesar di Indonesia.
Pengelolaan usaha peternakan sapi perah lokal yang diintegrasikan dengan perkebunan kelapa sawit menjadi langkah strategis yang dapat dilakukan ke depan. Saat ini luas lahan perkebunan sawit di Indonesia sudah sekitar 16 juta hektar. Jika setiap hektar bisa menghidupi dua ekor sapi, Indonesia akan swasembada, tidak saja susu, tetapi juga daging sapi dalam waktu tidak lama.
Mengintegrasikan perkebunan kelapa sawit dengan peternakan sapi perah akan dapat mengatrol secara signifikan jumlah populasi sapi perah yang saat ini masih bertengger di angka 600.000 ekor. Dengan mengucurkan bantuan modal lewat kredit bunga rendah diharapkan petani sawit swadaya dapat menghasilkan susu sapi bermutu baik pula.
Selama ini, peternak lokal sapi perah belum sepenuhnya menghasilkan susu yang signifikan, baik secara kualitas maupun kuantitas, sebab terkendala oleh masalah pengadaan bibit dan pola pemeliharaan yang dilakukan masih konvensional. Persoalan ini perlu dijembatani dengan mentransfer teknologi maju agar peternakan sapi perah nasional lebih kompetitif. Saat ini perkembangan bioteknologi peternakan amat pesat dan mampu menghasilkan ternak transgenik yang unggul guna meningkatkan populasi ternak.
Langkah antisipasi penting lainnya, pemerintah harus memberikan prioritas terhadap pengembangan bioteknologi peternakan melalui kerja sama dengan pemilik modal swasta besar. Pengembangan ini membutuhkan aturan main yang jelas dan memihak rakyat sehingga saling menguntungkan antara pemilik modal dan peternak lokal. Implikasi upaya ini akan mampu mengatasi kekurangan susu dan mengatrol tingkat konsumsinya di Indonesia guna menepis dampak gizi buruk di masyarakat.
Baca juga: Mengejar Kemandirian Industri Susu Nasional
Melakukan percepatan swasembada susu secara berkelanjutan dan lebih serius ialah bentuk dukungan pada upaya pemutusan mata rantai susu sapi impor. Pemerintahan hasil Pemilu 2024 harus segera mengeluarkan Cetak Biru Persusuan Nasional 2024-2034 dengan integrasi perkebunan kelapa sawit. Diharapkan, pada 2029 target pemenuhan kebutuhan susu nasional dan program susu gratis bisa dari sapi perah dalam negeri.
Untuk itu, rencana aksi perlu disusun untuk mendorong penguatan swasembada susu agar produktivitas sapi perah bisa mencapai 25 liter per hari, konsumsi susu meningkat menjadi 35 liter per kapita per tahun, dan populasi sapi perah menjadi 2,5 juta ekor.
Target ini bisa tercapai lewat peningkatan populasi sapi perah terintegrasi sawit dengan penerapan good farming practices, pemberian insentif investasi berupa keringanan pajak kepada peternak lokal, perbaikan genetik sapi, dan perbaikan kualitas pakan sapi perah.
Posman Sibuea,Guru Besar Tetap dan Dekan Fakultas Pertanian Unika Santo Thomas; Anggota Pokja Ahli Pangan di Badan Pangan Nasional