Ngilu membayangkan apa yang dicontohkan oleh para petinggi kita pada anak-anak muda.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Sepanjang sejarah manusia selalu mencari cara untuk, bila perlu, berbohong, melakukan kecurangan, atau menghalalkan cara untuk mencapai tujuannya. Bagaimanapun, sebagai seorang yang bergerak di dunia pendidikan, sementara ini saya menyimpulkan bahwa masa sekarang merupakan masa tersulit sepanjang sejarah kehidupan manusia untuk mengajarkan, atau belajar, mengenai benar dan salah, mengenai kebaikan.
Saya ingat bahwa saat saya SD, karena malas menunggu tukang jual es krim jalanan yang masih sibuk melayani anak-anak SD lainnya yang merubungnya, saya langsung pulang berjalan kaki dengan membawa es krim di tangan. Saya bercerita kepada ibu tentang belum membayar karena malas menunggu. Tak disangka, Ibu amat sangat marah, langsung menyuruh saya untuk kembali ke sekolah, untuk membayar es krim itu.
Saat itu belum ada internet, cukup banyak orang hidup dalam kesederhanaannya, dan manusia harus memilih untuk dapat mengambil keputusan yang terbaik tentang, misalnya apa yang harus dilakukan dengan uang terbatas yang dimilikinya. Bagaimanapun, kemarahan ibu saya menjadi kenangan sangat indah yang sepanjang masa akan saya ingat, mengenai bagaimana orangtua berusaha mendidik anaknya untuk menjadi orang baik. Mengajarkan kepedulian sosial dan penghormatan kepada orang-orang yang kurang beruntung dibandingkan kita.
Sulit peduli
Saat ini, menjabarkan dan memberi contoh perilaku ”bohong”, ”curang”, dan ”menghalalkan cara” mungkin cukup sulit karena teknologi memberi kesempatan yang luas kepada kita untuk melakukan pengelabuan. Pengelabuan menjadi hal yang sangat wajar dan dilakukan setiap hari. Misalnya mengedit tampilan visual di media sosial, melakukan salin tempel (copy-paste) saat membuat makalah, atau meminjam pikiran ChatGPT yang kita klaim sebagai hasil karya kita.
Orang juga dengan mudahnya menghukum orang lain yang dianggap bersalah (padahal kenyataannya belum tentu), sedemikian rupa hingga orang itu kehilangan mata pencariannya, sakit jiwa bahkan mati, lewat cancel culture dan penghukuman massa di media sosial. Mungkin itu yang dimaknai sebagai ”etika’.
Di masa kini, anak muda sulit mencari contoh-contoh sederhana mengenai bagaimana peduli pada orang lain. Mungkin terpikirkan untuk peduli saja tidak, karena bahkan mengapa harus peduli pun tidak dipahami.
Mengapa demikian? Kompetisi dalam memperoleh posisi dan mencari uang membuat orang tercekik karena keuntungan makin tipis, sementara waktu kerja demikian meningkat. Agar dagangan atau layanan dibeli, orang jor-joran memberikan promo, diskon, atau menurunkan harga.
Sebagai pelanggan, sebagian kita mungkin tidak peduli mengenai apa yang dialami penjual atau pengemudi online. Hal ini karena kita sendiri berkepentingan untuk mencari harga yang lebih murah, meski hanya berbeda lima puluh atau seratus rupiah.
Singkat kata, masing-masing manusia sudah cukup tegang dan tertekan harus memperjuangkan dirinya sendiri untuk memperoleh nilai baik, mendapat pekerjaan, membawa pulang uang, tidak diputus hubungan kerjanya, dan memiliki rasa aman dalam alam gig economy. Jadi, memikirkan orang lain mungkin tidak sempat. Apalagi memilih tindakan yang dianggap baik dan benar, karena bahkan yang disebut baik dan benar itu pun tidak dimengerti yang seperti apa.
Ngilu harus menjadi saksi sejarah dari berbagai bentuk perilaku dan sikap menghalalkan cara untuk mencapai tujuan dari pihak-pihak penguasa.
Mungkin karena kita sudah cukup tegang dengan hidup masing-masing, kita juga jadi enggan untuk berpikir mendalam, dan mencari hal-hal yang mudah, simpel, dan terkesan fun saja untuk dipilih.
Kompetisi
Maka, dalam alam teknologi yang amat canggih ini, kompetisi, apalagi kompetisi politik, tampaknya memang tidak lagi mempertimbangkan etika. Untuk kepentingan kelompok, kita justru secara strategis memikirkan cara untuk memanfaatkan keengganan berpikir tersebut. Maka bila kita mempersoalkan etika, sering dianggap lebai atau berlebihan.
Etika itu juga terkait dengan kotak-kotak kepentingan. Bila kelompok lain yang melakukan pelanggaran, itu disebut sebagai tidak etis. Bila kelompok sendiri yang melakukan, itu bukan pelanggaran. Melainkan boleh atau memang harus dilakukan agar kelompok lain tidak berkuasa.
Meski masa kampanye dan pemungutan suara untuk pemilu legislatif dan pilpres sudah selesai, hingga sekarang saya masih merasa ngilu. Ngilu harus menjadi saksi sejarah dari berbagai bentuk perilaku dan sikap menghalalkan cara untuk mencapai tujuan dari pihak-pihak penguasa.
Ngilu bahwa mendadak kita lupa dan bahkan jejak digital dicari cara untuk dapat dimaknai secara berbeda. Ngilu bahwa teknologi dapat dimanfaatkan untuk mengelabui, dan dengan data yang demikian masif dan mekanisme yang sangat kompleks, menjadi amat sangat sulit untuk mengurai dan membuktikannya. Ngilu bahwa untuk yang bersuara berbeda mudah dicari cara untuk membungkamnya.
Ngilu mengontraskan gerak dan kepentingan politik orang-orang di atas dengan perjuangan hidup orang-orang di jalanan yang bekerja keras seharian untuk memperoleh uang lima puluh ribu atau seratus ribu rupiah sehari untuk keluarganya.
Ngilu membayangkan apa yang dicontohkan oleh para petinggi kita kepada anak-anak muda yang akan menggantikan tampuk kepemimpinan negara. Apakah yang diajarkan memang untuk menang dalam kompetisi dengan segala cara, secara riang gembira saja? Karena etika itu sekadar kata usang yang sekarang sudah tidak lagi memiliki makna?
Tanpa perhelatan nasional yang kemarin pun sudah sangat sulit untuk membantu anak muda dapat memaknai dan menghidupi etika. Semoga kebaikan menghadirkan dirinya agar istilah ”etika” tidak punah dari perbendaharaan kata kita.
Elizabeth Kristi Poerwandari, Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia