Pemuda Berkualitas untuk Indonesia Emas
Untuk mengoptimalkan bonus demografi, beri kesempatan pemuda dari ekonomi bawah mengakses pendidikan berkualitas.
Indonesia diprediksi memasuki puncak bonus demografi dalam lima tahun ke depan. Namun, bonus tersebut dapat menjadi dilema jika gagal dipersiapkan dengan matang. Belum lagi aging population telah menanti di gerbang akhir bonus demografi. Bonus demografi yang ditengarai menjadi stimulus Indonesia Emas 2045 dapat berbalik arah menjadi ancaman perekonomian.
Bonus demografi merupakan fenomena yang bisa jadi hanya terjadi sekali dalam perjalanan sejarah suatu bangsa. Fenomena ini terjadi saat jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).
Pada periode 2020-2030, Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi penduduk usia produktif Indonesia akan berjumlah hingga 70 persen penduduk Indonesia. Kunci keberhasilan meraup keuntungan dari fenomena ini terletak pada baiknya kualitas penduduk dan cukupnya lapangan pekerjaan.
Baca juga: Maju Bersama Menuju Indonesia Emas 2045
Pembangunan sumber daya manusia saat ini sudah menjadi salah satu fokus kebijakan Presiden Joko Widodo. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 mendefinisikan pemuda adalah warga negara Indonesia berusia 16 sampai 30 tahun. Pembangunan kualitas pemuda dapat menjadi salah satu program strategis untuk mengolah bonus demografi. Bung Karno pun meyakini pentingnya peran pemuda yang tersirat dalam kutipan terkenalnya, ”Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!”
Strategi memperkuat kualitas penduduk usia produktif sejak dini, atau dengan kata lain merujuk pada pemuda, ini dapat berdampak langsung pada pembangunan di periode tersebut dan juga berdampak pada pembentukan kualitas pada generasi berikutnya. Selain itu, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023 memperkirakan hampir seperempat penduduk Indonesia atau 64,16 juta jiwa penduduk adalah pemuda. Namun, masih terdapat beberapa tantangan dalam pembangunan pemuda di Indonesia saat ini.
Kualitas pendidikan pemuda saat ini belum begitu memuaskan, begitu pula dengan kesempatan mendapatkan pendidikan berkualitas. Pada 2023, sebanyak 13 persen pemuda hanya menamatkan pendidikan jenjang SD/sederajat ke bawah. Sementara itu, angka partisipasi sekolah (APS) pemuda Indonesia juga masih memiliki kesenjangan yang cukup besar antara kelompok ekonomi atas dan bawah.
Kesenjangan ini mencolok pada jenjang pendidikan perguruan tinggi. Pemuda pada kelompok pengeluaran 20 persen teratas yang tamat perguruan tinggi berjumlah 21,74 persen. Persentase tersebut empat kali lebih besar dibandingkan pemuda pada kelompok pengeluaran 40 persen terbawah yang hanya berjumlah 5,79 persen.
Dilihat dari kondisi ketenagakerjaan, Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) Agustus 2023 menunjukkan, pemuda yang menganggur masih relatif tinggi. Sebanyak 13,41 persen pemuda tidak terserap pasar tenaga kerja. Padahal, pengangguran nasional secara umum hanya berjumlah 5,32 persen.
Pada 2023, sebanyak 13 persen pemuda hanya menamatkan pendidikan jenjang SD/sederajat ke bawah.
Jika dilihat dari tingkat pendidikan, tingkat pengganguran pemuda yang berpendidikan SMA sederajat dan perguruan tinggi lebih besar dibandingkan pemuda yang berpendidikan SMA ke bawah. Tingginya tingkat pengangguran, terutama bagi pemuda terdidik, sangat disayangkan karena hilangnya potensi tenaga kerja yang kurang termanfaatkan di era bonus demografi.
Selain itu, pemuda berstatus not in employment, education, and training (NEET) masih cukup tinggi, yakni 25,80 persen. Artinya, sekitar seperempat pemuda Indonesia tidak berada dalam dunia pendidikan (sekolah/kursus) atau tidak terserap pasar tenaga kerja. Para pemuda ini, antara lain, termasuk mereka yang putus asa dalam mencari pekerjaan, kondisi fisik yang tidak sempurna (difabel), atau karena alasan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya sehingga tidak masuk dunia pendidikan atau pasar tenaga kerja.
Fakta menarik lain adalah pemuda perempuan yang tergolong NEET dua kali lebih banyak dibandingkan pemuda laki-laki, yakni 35,77 persen berbanding 16,38 persen. Perbedaan ini diduga karena perempuan yang berumah tangga akan lebih mempertimbangkan kepentingan keluarga ketika memutuskan untuk masuk ke pasar kerja atau melanjutkan pendidikan dibandingkan laki-laki.
Pendidikan berkualitas
Beberapa tantangan di atas menunjukkan upaya mengoptimalkan bonus demografi melalui pemuda berkualitas butuh komitmen tinggi dari pemerintah. Salah satunya dengan memberikan kesempatan bagi pemuda dari keluarga ekonomi bawah untuk mengakses pendidikan berkualitas.
Untuk itu, pemerintah dapat mengintervensi biaya pendidikan hingga perguruan tinggi yang dirasa terlalu tinggi bagi mereka. Lagi pula, investasi pendidikan ini nanti juga dapat bermanfaat bagi pemerintah saat mereka memasuki pasar tenaga kerja.
Sementara itu, permasalahan tingkat pengangguran pemuda yang tinggi baiknya diiringi dengan program yang menguatkan link and match lulusan terdidik dan permintaan tenaga kerja. Ditambah lagi, ke depan akan terjadi perubahan lanskap pasar tenaga kerja yang semakin digital dan penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang diduga semakin pesat.
Baca juga: Pemuda Memikul Beban Berat Menghadapi Indonesia 2045
Permintaan kualifikasi tenaga kerja di kemudian hari juga dapat berubah. Urgensi penyiapan keterampilan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) beserta infrastrukturnya tidak boleh dikesampingkan.
Kesenjangan akses teknologi dan internet antara perkotaan dan perdesaan juga perlu diperhatian. Perhatian pemerintah terhadap kesehatan mental pemuda dalam mengejar perubahan yang adaptif tersebut juga tidak kalah penting untuk menunjang kualitas pemuda.
Kolaborasi dengan berbagai pihak, khususnya dunia swasta ataupun lembaga nonprofit, harus diperkuat dalam menguatkan program link and match tenaga terdidik. Alternatif program yang dapat dilakukan antara lain mengadakan pelatihan bersertifikat untuk pengajar araupun peserta didik, memperbanyak pengajar tamu dari perusahaan terkait, melakukan penelitian yang kontinu mengenai kebutuhan tenaga kerja saat ini sehingga kurikulum dapat sesuai dengan kebutuhan perusahaan, dan menambah kerja sama pemerintah daerah dengan perusahaan terkait penyaluran peserta didik yang siap kerja.
Penguatan kualitas pemuda melalui pendidikan bukan investasi jangka pendek sehingga harus dimulai sejak dini.
Selain itu, tingginya indikator NEET menandakan intervensi ataupun insentif guna menarik pemuda untuk masuk dunia kerja atau pendidikan perlu diperhatikan, terutama pada perempuan. Intervensi pasar tenaga kerja dengan mengurangi hambatan perempuan berkeluarga sudah semakin relevan, misalnya dengan menyediakan child care dan ruang laktasi di tempat kerja. Instansi pemerintah pusat dan daerah dapat menjadi pelopor dalam hal ini.
Pembangunan sekolah yang ditujukan khusus bagi anak-anak yang kesulitan mendapatkan pendidikan dasar dapat mulai didirikan, khususnya di daerah. Program jemput siswa dari pelosok menuju sekolah di kota/desa terdekat dengan fasilitas asrama dengan biaya pemerintah atau CSR pihak swasta dapat menjadi pilihan.
Dengan keseriusan menjadikan manusia sebagai fokus pembangunan, Indonesia diharapkan dapat mengoptimalkan bonus demografi. Penguatan kualitas pemuda melalui pendidikan bukan investasi jangka pendek sehingga harus dimulai sejak dini.
Prioritas kebijakan dan program tetap harus mengacu pada data yang valid dan representatif. Menuju Indonesia Emas, diharapkan semakin banyak pemuda berkualitas Indonesia yang benar-benar dapat ”mengguncang dunia”.
Febria Ramana, Statistisi Pelaksana di Badan Pusat Statistik (BPS)