Puasa dan Semangat Mengendalikan Diri
Bulan puasa bisa menjadi momentum untuk membangun semangat menahan dan mengendalikan diri dalam kehidupan berbangsa.
Dalam pandangan masyarakat umum, puasa diartikan dan diamalkan sebagai ibadah menahan diri dari makanan, minuman, hubungan badan, dan hal-hal yang membatalkan puasa (al-imsak ‘anil mufthirat wal mufthilat) sepanjang hari (dari terbit fajar/pagi hingga maghrib/sore).
Makanan, minuman, dan hubungan badan yang dikendalikan selama bulan puasa adalah yang sudah berstatus halal. Adapun makanan, minuman, dan hubungan badan yang berstatus haram (almuharromat), maka tetap haram, terutama di bulan puasa.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Ibadah puasa menyelipkan semangat mengendalikan dan menahan dari (al-imsak), baik dari hal-hal yang dihalalkan, terlebih lagi dari hal-hal yang diharamkan. Semangat ini dilakukan sepanjang hari selama satu bulan penuh.
Baca juga: Puasa dan Pendidikan Moral Otentik
Apa urgensi dari puasa dengan semangat menahan dan mengendalikan diri ini? Salah satu jawabannya adalah mengembalikan tubuh pada keseimbangan dan upaya menjadi lebih sehat (yang utama tentu karena menjalankan perintah Allah). Paling tidak menahan dan mengendalikan tubuh agar tidak terus mengonsumsi hal-hal yang dalam setahun bisa menjadi tumpukan penyakit, seperti kolesterol, asam urat, dan darah tinggi.
Pada awalnya (dan kadar yang dibolehkan), makanan dan minuman yang ada mungkin masuk dalam kategori sehat. Namun, dalam kurun waktu berbulan-bulan hingga menahun, makanan dan minuman yang ada bisa menumpuk pelbagai macam lemak yang kemudian menjadi penyakit bagi tubuh manusia.
Penyakit bangsa
Pun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam perkembangan dan keadaan seperti sekarang, kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan semangat menahan dan mengendalikan diri secara sangat kuat, khususnya dalam menghadapi keadaan pascapemilu yang menurut banyak pihak paling buruk bin amburadul.
Ibarat orang makan yang sampai pada kondisi tidak sehat, pelbagai macam kondisi pilu sekaligus mendebarkan dalam kehidupan berbangsa mutakhir adalah kesalahan kita sendiri sebagai bangsa. Dimulai dari kesalahan dalam memilih dan menetapkan para anggota KPU sekarang yang tampak kurang di sana-sini hingga kesalahan fenomena Jokowi.
Jokowi yang terlalu kuat dengan modal citra pemimpin merakyat dan capaian pembangunan infrastruktur yang bahkan melampaui presiden-presiden sebelumnya. Bahkan, Jokowi kerap dan terus dielu-elukan sebagai pemimpin yang dicintai rakyat dengan tingkat kepuasan di atas 70 persen hingga hari ini.
Dalam perkembangan dan keadaan seperti sekarang, kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan semangat menahan dan mengendalikan diri secara sangat kuat.
Padahal, sejauh ini Jokowi bisa disebut sebagai presiden yang tanpa enggan (kalau tidak boleh mengatakan malu) mendukung dan merestui anak ataupun anggota keluarganya untuk menduduki jabatan publik yang bersifat strategis, seperti wali kota, ketua partai, dan cawapres. Bahkan, hanya dalam pemerintahan sekarang, seorang ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menjalin hubungan suami-istri dengan adik presiden hingga akhirnya terjadi tragedi MK.
Berangkat dari semboyan Jokowi adalah kita, fenomena Jokowi terus semakin kuat dan pelan-pelan mulai menumpuk ”kolesterol” mematikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagian pendukung fanatik Jokowi pun berubah menjadi pengkritik Jokowi yang dianggap telah berubah 180 derajat.
Persoalannya adalah, secara sebab-akibat, Jokowi hari ini adalah akibat dari Jokowi kemarin. Dan slogan ”Jokowi adalah kita” tidak hanya berlaku dalam konteks ”tahun-tahun madu” seperti sebelumnya, tetapi juga berlaku pada masa-masa sekarat demokrasi seperti sekarang (itu pun kalau masih dianggap perlu ada tanggung jawab terhadap pilihan, termasuk pilihan yang terbukti salah di kemudian hari).
Ilustrasi
Langkah penyelamatan
Dalam hemat penulis, masih ada pilihan-pilihan yang bisa diambil oleh bangsa ini untuk keluar dari situasi kritis, bahkan sekarat, demokrasi seperti sekarang. Minimal melalui dua langkah penyelamatan.
Pertama, berpegang pada prinsip kebijaksanaan dalam memahami dan menyikapi seluruh tragedi politik atau bahkan hukum yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Prinsip kebijaksanaan tak hanya berpegang pada semangat benar atau salah secara hukum atau aturan, tetapi juga berpijak pada kemaslahatan sekaligus menghindari bahaya atau mudarat yang lebih besar.
Apa yang dilakukan Prof Jimly Asshiddiqie dan tim Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bisa dijadikan sebagai contoh dari kebijaksanaan dalam menyikapi tragedi putusan MK yang mengubah ketentuan secara tiba-tiba dan membuka jalan bagi pencalonan Gibran Rakabuning Raka sebagai anak presiden untuk menjadi wakil presiden. Tanpa kebijaksanaan seperti putusan MKMK, bangsa ini bisa mengalami tragedi lain yang lebih mengerikan.
Baca juga: Demokrasi Buruk Rupa
Sikap bijaksana kurang lebih sama kini sangat dibutuhkan dalam memahami dan menyikapi persoalan-persoalan mutakhir, khususnya terkait perolehan dan hasil pemilu, baik di tingkat pilpres, pileg, maupun DPD. Kekurangan-kekurangan yang ada harus disikapi secara proporsional dan terfokus, baik terkait dugaan kecurangan maupun hasil pemilu.
Kedua, sikap menahan diri. Semua pihak sejatinya bisa menahan diri untuk tidak ”membakar rumah” karena hendak mengejar tikus atau hewan lain yang sangat mengganggu. Rumah dimaksud dalam tulisan ini adalah kehidupan berbangsa dan bernegara yang kondusif agar bisa bekerja keras untuk membangun kebaikan dan kemakmuran bagi semua. Tikus ataupun hewan lain dimaksud tak lain adalah aneka macam persoalan yang timbul terkait Pemilu 2024.
Hal ini tak berarti pelbagai macam dugaan kecurangan atau kekurangan pemilu harus dibiarkan. Sebaliknya, pelbagai macam dugaan kecurangan atau kekurangan yang ada harus dibahas tuntas dan tidak boleh terulang pada pemilu berikutnya. Namun, proses perbaikan dan pengadilan atas dugaan kecurangan yang ada sejatinya melalui jalur yang telah diatur undang-undang, yaitu Bawaslu dan MK, atau dengan merombak desain kepemiluan melalui revisi UU terkait pemilu.
Ilustrasi
Perbaikan ini harus bersifat komprehensif; dimulai dari menutup celah kemungkinan terjadinya kecurangan yang bisa melibatkan pejabat kepemiluan dan para kontestan, hingga kebiasaan politik uang yang berstatus haram, tetapi acap dihalalkan secara praktik. Ini untuk kepentingan ke depan.
Adapun hal yang paling penting saat ini adalah menerima semua hasil Pemilu 2024 walaupun masih banyak kekurangan bahkan dugaan kecurangan. Hingga pelbagai macam agenda kehidupan berbangsa dan bernegara bisa terus dijalankan.
Kehadiran bulan puasa tahun ini, yang berbarengan dengan masa-masa rawan pascapemilu, sejatinya bisa dijadikan sebagai momentum oleh semua pihak untuk membangun semangat menahan dan mengendalikan diri dalam rangka membangun dan menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangankan hal-hal yang diharamkan dan inkonstitusional seperti aksi kekerasan, hal-hal yang dihalalkan dan konstitusional sekalipun (termasuk hak angket) penting untuk dikendalikan pada bulan yang suci sekaligus masa yang rawan seperti sekarang.
Inilah salah satu substansi ibadah puasa. Hingga dengan berpuasa kita sebagai manusia bisa menjadi lebih sehat dan kuat. Demikian juga, dengan semangat menahan diri yang ada dalam puasa, kita sebagai bangsa bisa tetap utuh, bersatu, dan terus bergerak maju.
Marhaban, ya, Ramadhan, selamat datang bulan Ramadhan, bulan penuh ampunan dan sarat dengan pesan-pesan kebijaksanaan dan keluhuran. Selamat berpuasa bagi seluruh umat yang menjalankannya.
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam