Makan Siang Gratis dan Beban Fiskal
”Tidak ada makan siang gratis” dari program makan siang gratis. Lantas, apa ongkosnya?
Tidak pernah ada makan siang gratis, begitu para ekonom meyakini. Pernyataan ini merujuk pada realitas bahwa setiap pilihan kebijakan (ekonomi) selalu punya implikasi (negatif) yang perlu diantisipasi. Begitu pun mengenai program unggulan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ini. Prinsipnya, ”tidak ada makan siang gratis” dari program makan siang gratis tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengindikasikan adanya pelebaran defisit anggaran 2025 menjadi 2,45-2,8 persen atau naik dari defisit 2024 yang diperkirakan mencapai 2,29 persen terhadap perekonomian atau produk domestik bruto (PDB).
Pelebaran defisit tersebut didorong peningkatan berbagai program sosial pemerintah baru, salah satunya program makan siang gratis yang diperkirakan menelan anggaran sekitar Rp 450 triliun setahun.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperingatkan, program yang membutuhkan biaya sekitar 2 persen dari PDB ini berpotensi meningkatkan utang pemerintah yang pada gilirannya bisa menurunkan peringkat utang ( credit rating) Indonesia.
Menanggapi berita tersebut, sebagaimana diberitakan Bloomberg (26/2/2024), lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperingatkan, program yang membutuhkan biaya sekitar 2 persen dari PDB ini berpotensi meningkatkan utang pemerintah yang pada gilirannya bisa menurunkan peringkat utang (credit rating) Indonesia.
Jika peringkat kredit turun, likuiditas akan berkurang dalam perekonomian dan perlu biaya lebih besar (suku bunga naik) untuk mendapatkannya. Dampaknya, perekonomian akan menyusut dan kesejahteraan masyarakat menurun.
Tentu saja kita tidak mau didikte begitu saja oleh kemauan investor (asing). Namun, respons mereka perlu diperhatikan sebagai bagian dari kalibrasi terhadap kebijakan supaya tetap memiliki disiplin (pasar). Dengan begitu, program kerja lebih produktif dan berkesinambungan serta mencapai tujuan. Bukan sebaliknya, membebani fiskal dan memberikan sinyal negatif pada pasar.
Reorientasi program
Program makan siang gratis adalah salah satu dari delapan Program Hasil Terbaik Cepat yang dikawal langsung oleh presiden dan wakil presiden. Judul programnya adalah memberi makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil.
Makan siang harian akan diberikan kepada siswa prasekolah, sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan pesantren yang totalnya mencapai sekitar 86 juta penerima.
Tentu saja program ini memiliki justifikasi yang valid; Indonesia perlu akselerasi kualitas sumber daya manusia. Meski begitu, tetap diperlukan kalibrasi terhadap rencana program unggulan tersebut.
Perlu penajaman maksud dan tujuan program makan siang gratis ini untuk kemudian diturunkan dalam indikator capaian.
Pertama, perlu penajaman maksud dan tujuan program makan siang gratis ini untuk kemudian diturunkan dalam indikator capaian. Jika dimaksudkan mengatasi stunting sudah terlambat. Program pemberian susu gratis pada ibu hamil lebih relevan sebagai penanganan stunting.
Berdasarkan pengalaman di banyak negara, program makan siang gratis memiliki efek positif berganda. Mulai dari peningkatan asupan gizi anak, kenaikan partisipasi sekolah, hingga meningkatkan karakter siswa. Definisi operasional program ini perlu dirumuskan dengan baik sehingga dipahami para pemangku kepentingan serta bisa diukur pencapaiannya.
Pemberdayaan lokal
Kedua, pelaksanaan program makan siang gratis harus menjadi bagian dari pemberdayaan masyarakat lokal yang melibatkan ekosistem sekolah, seperti komite sekolah, orangtua, dan komunitas sekitar.
Pendekatan ini selain mengundang partisipasi juga mendorong transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana. Melibatkan pelaku usaha makanan lokal juga penting dalam rangka pemberdayaan.
Program makan siang gratis merupakan strategi unggulan dalam mengakselerasi peningkatan kualitas sumber daya manusia guna mencapai Indonesia Emas 2045. Namun, Indonesia tidaklah seragam.
Namun, Indonesia tidaklah seragam.
Ada begitu banyak aspek ketimpangan, mulai dari geografis hingga pendapatan dan tingkat kemakmuran. Program ini mungkin tidak lagi sesuai dengan kebutuhan di daerah perkotaan, apalagi di sekolah elite yang muridnya sudah memiliki kualitas asupan gizi.
Namun program ini sangat relevan di daerah dengan tingkat pendapatan penduduk rendah. Oleh karena itu, diperlukan reorientasi dari program makan siang gratis ini.
Gerakan sosial
Pertama, implementasi program makan siang gratis dimulai dari daerah yang paling memerlukan, seperti daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Di daerah ini, pelaksanaan makan siang gratis akan memberikan dampak sangat penting mulai dari perbaikan gizi, partisipasi sekolah, hingga pemberdayaan masyarakat lokal.
Kedua, dalam pembiayaan perlu melibatkan pemerintah daerah, sektor swasta, dan bahkan tokoh masyarakat setempat. Di setiap masyarakat pasti ada tokoh atau kelompok masyarakat yang tingkat kesejahteraannya mencukupi untuk turut serta memberikan dukungan dalam pelaksanaan program makan siang gratis. Pendekatannya bisa meniru program dana desa yang berbasis proposal dari komunitas lokal.
Intinya, program makan siang gratis perlu didorong sebagai gerakan sosial ketimbang Program Strategis Nasional (PSN) yang hanya bersumber dari pembiayaan pemerintah.
Intinya, program makan siang gratis perlu didorong sebagai gerakan sosial ketimbang Program Strategis Nasional (PSN) yang hanya bersumber dari pembiayaan pemerintah. Kita tahu, ada begitu banyak masalah dalam pelaksanaan PSN ini.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan 36,67 persen anggaran proyek strategis nasional digunakan untuk kepentingan pribadi (Kompas, 10/1/2024).
Jika anggaran program makan siang gratis sekitar Rp 450 triliun per tahun hanya bersumber dari negara, selain akan meningkatkan beban fiskal juga muncul potensi tidak tepat sasaran atau dikorupsi.
Tak perlu gaduh
Program makan siang gratis perlu dimatangkan terlebih dahulu teknis implementasinya, mulai dari tahapan pelaksanaan hingga sumber pendanaannya. Jangan biarkan publik berspekulasi terkait implikasi pembiayaan, seperti realokasi anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM), peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), atau penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Hiruk pikuk seputar pelaksanaan program makan siang gratis ini perlu digunakan sebagai peringatan dini bagi pemerintah mendatang. Jangan sampai pemerintah mendatang hanya terjebak pada jargon politik yang bersifat populis dan kurang mengedepankan aspek teknokratis.
Jangan sampai pemerintah mendatang hanya terjebak pada jargon politik yang bersifat populis dan kurang mengedepankan aspek teknokratis.
Merujuk pada studi Badan Pembangunan Nasional, persoalan paling mendasar bangsa ini adalah persoalan regulasi dan institusi. Tanpa pembenahan yang memadai, berapa pun anggaran pemerintah yang digelontorkan untuk program pembangunan selalu berpotensi tidak tepat sasaran.
Alih-alih melanjutkan program yang sudah ada, pemerintah ke depan justru bisa menurunkan pencapaian pembangunan yang sudah dicapai, jika tidak mengedepankan aspek teknokrasi, meritokrasi, dan profesionalitas dalam pemerintahan.