Kembali dari Troya
Konstitusi, negara, Pancasila, keutuhan bangsa, dan keselamatan rakyat harus selalu lebih tinggi dari kepentingan kita.
Pemilihan umum sudah selesai. Hasilnya belum resmi pasti. Orang masih ribut soal apakah prosesnya jujur dan adil. Tiap pemilu memang sering bergejolak, setidaknya jika berkaca pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019!
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal mengumumkan hasil hitungan riil paling lama 20 Maret 2024. Mungkinkah badai berlalu?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Demokrasi menerapkan mekanisme elektoral agar tiap individu berhak sama dalam menentukan siapa yang layak memimpin. Dalam pemilihan yang jurdil, tentu saja yang terbaik selalu terpilih. Dasarnya, sabda rakyat adalah sabda langit. Namun, dalam proses yang rusak, serigala bisa terpilih, entah berbulu domba atau kambing.
Dalam Jangka Jayabaya, yang bersumber dari kitab Musasar yang digubah Sunan Prapen dari Giri Kedaton, muncul ramalan-ramalan, termasuk perihal zaman kehancuran yang disebut kalabendu.
Terlepas apakah Jayabaya dari Kerajaan Kediri atau orang lain yang menulis itu, yang jelas Jangka Jayabaya telah dikenal luas dalam sejarah. Sebagian percaya Indonesia bergerak menuju zaman Ratu Adil. Sebagian melihat dengan pesimistis bahwa kalabendu sudah tak terbendung.
Yang jelas, Johan Calvin (1509-1564) pernah bilang, ”Ketika Tuhan ingin menghukum suatu bangsa, Dia memberi mereka pemimpin yang jahat.”
Calvin dikenal sebagai perintis Calvinisme, gerakan teologis yang memutlakkan (konsepsi) Tuhan-nya Luther, dengan ide ”predestinasi”, setelah Reformasi dimulai pada 31 Oktober 1517, melalui pemancangan 95 tesis di gerbang Katedral Wittenberg.
Di seluruh Jerman, orang berlibur tiap 31 Oktober untuk mengenang peristiwa bersejarah itu—hari bersejarah yang menjadi titik krusial dalam histori kebangkitan Protestantisme dan pemicu gerakan Kontra-Reformasi dalam tubuh Gereja Katolik (Roma).
Konstitusi, negara, ideologi (Pancasila), keutuhan bangsa, dan keselamatan rakyat harus selalu lebih tinggi dari kepentingan dan diri kita.
Kaum nasionalis selalu optimistis, Pemilu 2024 adalah perjuangan merawat masa depan, dalam perspektif merawat integrasi sosial di tengah ancaman ideologi transnasional yang terbukti telah memperlebar segregasi minoritas-mayoritas melalui glorifikasi baju kelompok dalam politik kontemporer!
Argumen ini mulia, tetapi butuh pembuktian. Perjalanan ke masa depan akan rumit jika banyak orang berangkat dari skeptisisme berbalut pesimisme. Sebab, pada sentrum terdalam dari praksis berdemokrasi, ada prinsip fairness yang dirindukan semua orang, terutama kaum moralis.
Tulisan ini boleh dibaca dalam konteks ”Kapal Menuju Troya” yang diterbitkan harian Kompas, 16 Februari 2024.
Tanpa berpretensi mendiskredit pihak mana pun, renungan ilmiah ini bagian dari refleksi akal dan moral untuk merawat ”roh demokrasi” yang dimaksud Larry Diamond (2009). Toh, karya Homeros Odyssey selalu inspiratif, setidaknya bagi mereka yang berminat membaca tanda-tanda zaman—bukan hanya perihal hancurnya kota Troya di abad ke-13 sebelum Masehi (SM).
Baca juga: Kapal Menuju Troya
Kuda Troya
Dengan muslihat kuda kayu, yang dikenal sebagai ”kuda Troya” dalam sejarah—ide cemerlang Odysseus yang mengejutkan Agamemnon—akhirnya kota Troya yang kokoh dan megah itu runtuh. Sepuluh tahun lamanya, pasukan Yunani menggempur dan bertahan di balik tembok. Mereka lelah, lapar, dan gagal.
Bahkan, untuk tokoh perang hebat seperti Achilles dan Odysseus, Troya terlalu tangguh. Pada akhirnya, hanya dengan kuda kayu, ide yang muncul dari benak Odysseus, Raja Itacha—yang membuat Zeus dan sebagian dewa-dewi di Olympus kecewa—kota itu luluh lantak.
Kepulangan Odysseus
Keputusan Olympus sudah final. Odysseus harus dihukum untuk kecurangannya dalam mengalahkan Troya. Bentuk hukumannya mengerikan.
Odysseus harus melewati rintangan yang tak terkira sukarnya dalam perjalanan panjang kembali ke Ithaca. Bahkan, setelah ia berhasil, orang tak lagi mengenalnya. Ia mengemis di pinggir jalan. Muncul rumor di istana, Odysseus sudah gugur di medan perang atau di jalan balik dari Troya.
Penelope, istri Odysseus, dan Telemakus, putranya, lalu mengadakan perekrutan terbuka untuk menentukan calon suami. Yang menang akan menjadi raja Ithaca.
Sekira 108 pelamar tinggal di rumah Odysseus sembari menunggu keputusan Penelope. Hati kecilnya masih menanti Odysseus. Ia berusaha mengulur waktu dengan alasan perkabungan setelah mangkatnya Laertes, ayah Odysseus.
Singkat cerita, Odysseus, yang lama menjadi pengemis, dikenali dan kembali ke rumahnya. Dia bersama putranya lalu membunuh semua pelamar yang membuat onar dan berkuasa lagi sebagai raja.
Peziarahan akal sehat
Emmanuel Levinas (1906-1995) menafsir perjalanan Odysseus sebagai analogi peziarahan ego dan nalar manusia dalam sejarah rumit filsafat Barat untuk memahami ontologi manusia. Dinamika abad ke-18 yang kompleks dan konfliktual pada akhirnya membawa manusia pada pencerahan tentang diri dan identitasnya.
Odysseus keluar jauh dari rumah untuk berperang, bergejolak, dan menderita, tetapi ia tetap kembali. Rumah Ithaca adalah basis filosofis Levinas untuk bangunan tesis ”engkau adalah aku yang lain”. Bahwa, eksistensi manusia pada hakikatnya saling mensyarati. Tidak mungkin ada ”aku” kalau tidak ada ”engkau”, pun sebaliknya.
Sebab, pada sentrum terdalam dari praksis berdemokrasi, ada prinsip fairness yang dirindukan semua orang, terutama kaum moralis.
Seruan ”saling merawat” dan ”saling menghormati” adalah kebutuhan ontologis manusia dalam konteks sosiabilitas-nya Levinas. Odysseus bisa saja melanjutkan hidupnya di tiap perhentian dalam perjalanan pulang. Namun, ia memilih bergerak hingga tiba di rumahnya.
Ada kebutuhan dalam dirinya untuk kembali pada apa yang mendefinisikan identitasnya, yaitu rumah.
Serumit apa pun pertentangan kepentingan dan politik, manusia pada akhirnya butuh saling menghargai. Karena ada Heimweh, rasa rindu rumah, dalam batin manusia yang memanggil tiap pribadi untuk kembali ke rumah kemanusiaan.
Levinas tentu banyak dipengaruhi ”antonomi dinamis”- nya Immanuel Kant dalam Kritik der reinen Vernunft (1781), terutama antonomi keempat perihal ”sesuatu yang diperlukan”. Entah ”sesuatu” itu bagian atau penyebab dari adanya dunia ini, yang jelas ”sesuatu” itu penting, yaitu mutual respect, saling hormat.
Kuda Troya atau tumit Achilles?
Kajian tentang demokrasi sebagai kuda Troya berkembang pesat bersamaan dengan meluasnya kritik terhadap praksis demokrasi elektoral di abad modern.
Orang memakai ”demokrasi’ sebagai tameng untuk memperjuangkan hal-hal yang bertentangan dengan demokrasi per se. Kelompok antidemokrasi dalam politik modern pun acap kali membajak prosedur demokratis untuk memperjuangkan hasrat terselubung.
Setelah hitungan cepat hasil pilpres pada 14 Februari 2024 yang memenangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, muncul gelombang protes di jalanan yang menentang hasil pemilu dan meyakini adanya kecurangan.
Ada dua kemungkinan. Gerakan itu mensinyalir adanya faktum kecurangan atau menandai antagonisme politik yang berbasis kepentingan parsial. Semua kembali kepada proses hukum yang mengukur ”kebenaran” pada segala ranah berdemokrasi.
Yang jelas, orang menyadari demokrasi bisa menjadi kuda Troya, tameng ampuh, dan bisa menjadi ”tumit Achilles”, kerentanan yang fatal.
Setelah membunuh Hektor, pangeran sulung dari Troya, Achilles, harus berhadapan dengan dendam adik Hektor bernama Paris, pangeran muda yang menjadi sebab musabab dari perang panjang Yunani dan Troya. Panah yang dilepaskan Paris tepat mengenai tumit Achilles dan menyebabkan kematian seketika.
Bruce Fleming (2023) menilai demokrasi modern sebagai ”tumit Achilles” yang rapuh karena kesulitan membangun keseimbangan antara relativisme dan liberalisme atau antara absolutisme dan konservatisme. Orang relativis memaksa diri paling benar, orang liberal pun begitu. Orang absolutis juga begitu pada kaum konservatif.
Dalam praksis elektoral, antagonisme rentan untuk melahirkan konflik terbuka antara ”yang dimenangkan” dan ”yang dikalahkan”.
Kita pun dipanggil, baik secara ontologis maupun teleologis, untuk bertanggung jawab pada kepentingan umum.
Refleksi
Badai, dalam kacamata optimistis, pasti berlalu. Setidaknya, itu harapan yang mensinyalir pentingnya koeksistensi membangsa yang tenteram dan demokratis. Demokrasi bisa menjadi sarana keselamatan, bisa pula kuda Troya atau tumit Achilles. Kita, rakyat, yang menentukan arah bandulnya.
Ada kisah lama dari negeri seberang. Seorang Yahudi hendak digiring ke ladang pembantaian. Ia meminta waktu sejenak kepada serdadu Nazi yang berdiri menunggu.
Lalu, ia menorehkan kalimat indah ini pada dinding Getto Warsawa—yang hingga hari ini menjadi situs sejarah: ”Ich glaube an die Sonne, auch wenn sie nicht scheint. Ich glaube an die Liebe, auch wenn ich sie nicht fuelle. Ich glaube an Gott, auch wenn Er schweigt. Ich glaube, Ich glaube.” Aku percaya pada matahari meski ia tidak terbit. Aku percaya pada cinta meski aku tak merasakannya. Aku percaya pada Tuhan meski Ia diam tersembunyi. Aku percaya, aku percaya.
Betapa pun rumitnya rintangan yang dilalui, Odysseus tetap berlayar pulang. Para argonat tewas dan 12 kapal Argo hancur, Odysseus tetap teguh pada tujuannya. Kembali ke Ithaca adalah keniscayaan.
Baca juga: Ambruknya Keadaban Publik Kita
Kita pun dipanggil, baik secara ontologis maupun teleologis, untuk bertanggung jawab pada kepentingan umum. Konstitusi, negara, ideologi (Pancasila), keutuhan bangsa, dan keselamatan rakyat harus selalu lebih tinggi dari kepentingan dan diri kita. Itulah syarat dasar ontologi keindonesiaan kita di bumi manusia.
Boni Hargens, Analis Politik
Boni Hargens