Fenomena Al Gore dan Kepemimpinan Otentik
Moral dan etika merupakan salah satu komponen utama dari kepemimpinan otentik.
Mungkin banyak milenial atau gen Z yang tak mengetahui Al Gore. Namun, sejarah mencatat bahwa pemilik nama Albert Arnold Gore Jr adalah Wakil Presiden Amerika Serikat keempat puluh lima di bawah Presiden Bill Clinton untuk periode 1993-2001 dan seorang penerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2007.
Gore bukanlah dari keluarga sembarangan. Ayahnya, Albert Arnold Gore Sr, adalah seorang senator dari Negara Bagian Tennessee dari tahun 1953 hingga 1971 dan sebelumnya menjabat sebagai anggota Kongres dari negara bagian yang sama dari tahun 1939 hingga 1953. Kiprah politik ayahnya menurun ke sang anak yang juga pernah menjadi anggota Kongres (1977-1985) dan senator (1985-1993) di Negara Bagian Tennessee.
Karier politiknya kemudian mencapai puncaknya saat menjadi orang nomor dua di ”Negara Paman Sam” tersebut. Saat menjadi wakil presiden, pemerintahan Clinton memiliki kinerja yang mengesankan. Seperti ketika era Orde Baru dengan trilogi pembangunannya, Clinton-Gore juga memiliki trilogi pembangunan ekonomi, yakni (1) disiplin fiskal, menghilangkan defisit anggaran, menjaga tingkat bunga yang rendah, dan mendorong investasi sektor swasta; (2) menginvestasikan anggaran yang besar untuk pembangunan dan pengembangan manusia melalui pendidikan, pelatihan, ilmu pengetahuan, dan penelitian; serta (3) membuka pasar-pasar luar negeri sehingga produk-produk Amerika Serikat dapat diekspor secara kompetitif ke negara-negara lain.
Tak heran bila kemudian anggaran pendapatan dan belanja negara adikuasa tersebut mengalami surplus hingga sebesar 237 miliar dollar AS yang merupakan surplus tertinggi sepanjang sejarah Amerika Serikat. Utang-utang pemerintah juga menurun secara signifikan sebesar 363 miliar dollar AS serta ekonomi tumbuh sebesar 4 persen per tahun dan terus bertumbuh selama 116 bulan berturut-turut. Masyarakat Negara Paman Sam turut menikmatinya pula dengan adanya 22,5 juta lapangan kerja baru di mana 92 persennya terjadi di sektor swasta sehingga median pendapatan keluarga meningkat sebesar enam ribu dollar AS, suatu jumlah yang tidak kecil bahkan untuk masa sekarang.
Masyarakat Amerika Serikat tentu saja menginginkan kondisi ekonomi yang amat baik ini terus berlanjut. Siapa lagi yang dapat melanjutkannya jika bukan sang wakil presiden, Al Gore. Pepatah lama mengatakan, semakin tinggi pohon, semakin kuat angin menerpanya. Itulah yang terjadi khususnya pada Presiden Clinton. Jelang pemilihan presiden tahun 2000, skandal seksualnya terkuak dan mencuat. Salah satu skandalnya kemudian dikenal sebagai Clinton-Lewinsky Scandal karena melibatkan seorang mahasiswi magang di Gedung Putih berusia 22 tahun yang bernama Monica Lewinsky.
Hubungan asmara yang katanya sudah berakhir di tahun 1997 itu terus bergulir yang nyaris memakzulkan Presiden Clinton. Namun, sesungguhnya yang menjadi sasaran tembak bukanlah Clinton belaka, melainkan Gore yang diharapkan jadi penerusnya. Menghadapi skandal tersebut, Gore sebenarnya tak perlu galau. Dia tinggal ”dompleng” prestasi cemerlang Clinton yang memang diakui oleh masyarakat Amerika Serikat dan kemenangan tinggal di depan mata.
Awalnya memang Gore membela Clinton mati-matian di depan publik. Namun, sejalan dengan semakin terungkapnya fakta demi fakta skandal sang presiden, Gore pun mulai menjaga jarak dengan bosnya tersebut. Gore yang berasal dari keluarga aristokratik merasa terusik moral dan etikanya dengan adanya skandal seksual Clinton.
Bahkan, manajer kampanye Gore pun terang-terangan menyebutkan bahwa kekalahannya akibat dia menjauh dari Clinton, sedangkan Clinton sendiri, meski terlilit skandal, tetap menjadi idola masyarakat. Tampaknya moral dan etika Gore menjadi alasan utama ia menjaga jarak dengan bosnya meski dia sadar risikonya akan kalah dari George Herbert Walker Bush, dan itulah kenyataan yang kemudian terjadi. Mengacu pada teori kepemimpinan, moral dan etika merupakan salah satu komponen utama dari kepemimpinan otentik.
Apa itu kepemimpinan otentik? Avolio, Luthans, dan Walumbwa (2004) melukiskan seorang pemimpin yang otentik sebagai pemimpin yang peduli pada kekuatan nilai-nilai moral dan memiliki karakter moral yang tinggi, serta yang juga memiliki harapan yang tinggi, optimistis, dan tahan banting. Sementara Shamir dan Eilam (2005) mengatakan bahwa seorang pemimpin yang otentik memiliki empat karakteristik. Karakteristik yang pertama adalah sang pemimpin jujur kepada dirinya sendiri.
Dia tak menjadi seseorang seperti yang diharapkan atau kehendak orang-orang lain. Karakteristik kedua adalah sang pemimpin bertindak sesuai keyakinan dirinya. Dia tak bertindak demi status, jabatan, dan atau citra dirinya. Karakteristik ketiga adalah sang pemimpin tak mengekor atau ikut-ikutan apa yang dilakukan pemimpin atau orang lain. Dia betul-betul menjadi dirinya sendiri. Karakteristik keempat adalah sang pemimpin selalu bertindak atas dasar nilai-nilai yang ia anut dan yakini, bukan atas nilai-nilai atau keyakinan semu, yaitu nilai-nilai atau keyakinan yang dipaksakan orang lain atau terpaksa ia anut demi mencapai sesuatu.
Avolio dan Gardner (2005) mengatakan bahwa seorang pemimpin yang otentik tahu betul di mana dia harus berdiri dan berpihak di tengah berbagai isu dan persoalan, terutama yang meresahkan masyarakat. Pemimpin yang otentik tak henti-hentinya mendidik dan meyakinkan masyarakat apa yang menurut dia benar dan apa yang menurut dia salah melalui berbagai tindak nyata, tak hanya dengan kata-kata. Walumbwa, Avolio, Gardner, dan Wernsing (2008) lebih gamblang lagi menyebutkan tiga komponen kepemimpinan otentik selain moral dan etika.
Komponen pertama adalah kepedulian dan kewaspadaan diri terhadap lingkungan sekitar di mana ia amat menjaga perilakunya agar tetap sesuai dengan nilai-nilai yang ia anut dan yakini. Komponen kedua terkait perilaku pemimpin yang memproses apa pun informasi yang ia terima secara seimbang dari berbagai sudut pandang. Pemimpin yang otentik tak segan-segan menggali informasi dari segala sumber agar memperoleh perspektif yang utuh sebelum ia mengambil keputusan atau bertindak. Komponen ketiga adalah menjaga hubungannya dengan berbagai pihak secara transparan, termasuk mengakui secara terbuka bila ia berbuat salah dan mendorong para pengikut dan anak buahnya untuk menyampaikan pendapat dan unek-uneknya secara terbuka kepadanya.
Kembali ke fenomena Al Gore di atas, ia dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin yang otentik. Meski secara menyakitkan gagal terpilih sebagai presiden menggantikan Bill Clinton, Gore tetap berkiprah sesuai apa yang ia yakini, salah satunya mengenai perubahan iklim. Gore gencar mengedukasi masyarakat global tentang bahayanya perubahan iklim, antara lain melalui film dokumenter berjudul An Inconvenient Truth, sebuah film tentang pemanasan global yang dilansir pada tahun 2006 dan kemudian memenangi penghargaan Academy Award.
Film itu juga sukses besar di pasaran dan menjadi salah satu film yang menghasilkan pendapatan kotor terbesar sepanjang sejarah perfilman Amerika Serikat. Al Gore sendiri memperoleh bonus yang besar dari kesuksesan film dokumenter tersebut. Namun, ia sumbangkan seluruh bonus yang ia peroleh kepada The Alliance for Climate Protection (sekarang dikenal sebagai The Climate Reality Project) yang ia ikut dirikan untuk menyuarakan penting dan perlunya tindakan nyata untuk mencegah terjadinya krisis iklim.
Pada tahun 2007 Gore diganjar dengan Hadiah Nobel untuk Perdamaian Dunia atas upayanya yang tak kenal lelah menyuarakan bahaya perubahan iklim. Seorang pemimpin yang otentik memang tak segan memilih jalan sunyi agar tetap berada di jalan yang sesuai nilai-nilai yang ia anut dan yakini. Banyak pihak di Partai Demokrat yang mendorong Gore untuk kembali di riuh rendah dan hiruk pikuknya pentas politik Amerika Serikat, tetapi Gore tetap berdiri tegak di jalan yang ia yakini walaupun tak banyak orang yang membersamainya di jalan tersebut. Itulah konsekuensi menjadi pemimpin yang otentik. Siapkah kita menjadi pemimpin yang otentik meski kita harus sendiri?
Budi W Soetjipto adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan Dewan Pembina Indonesia Strategic Management Society