Rekonsiliasi dan Rekognisi Pascapilpres
Pemilu bukanlah lonceng kematian bagi yang kalah dan euforia berlebihan bagi yang diunggulkan.
Kullu al-‘adawat qad turja mawaddatuha.
Illa ‘adawata man ‘adaka min hasadin
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
(Setiap permusuhan bisa diharapkan kembali membaik, kecuali permusuhannya orang yang dilakukan dengan kebencian)
Imam Syafi’i
Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 belum ditetapkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum, tetapi secara saintifik dan hasil hitung sementara, pasangan yang unggul sudah diketahui oleh publik.
Salah satu pasangan yang diunggulkan versi quick count atau hitung cepat sudah menyampaikan ajakan untuk bergandengan tangan dan merangkul pasangan lainnya. Ini langkah bijak untuk menurunkan tensi kompetisi pascapencoblosan dan kampanye yang berlangsung cukup panas.
Pemilu—sebagai salah satu indikator negara demokrasi—memang sarat kontestasi dan kompetisi sejak kandidasi hingga penetapan hasil. Sesantun-santunnya kandidat, pasti pernah salah ucap atau bertutur kasar, paling tidak menurut lawan politiknya saat kampanye.
Bahkan, mereka mungkin juga terjebak pada kampanye hitam dan negatif, berdasarkan asumsi dan dugaan semata. Artinya, pemilu selalu berlangsung keras dan tegang, di mana pun tempatnya di dunia ini. Hampir tidak ada pemilu yang berlangsung ideal. Yang kalah pasti akan menuduh adanya kecurangan pada pihak yang diunggulkan.
Aura saling serang tampak nyata selama kampanye berlangsung. Persaingan antarkandidat dan pendukungnya begitu sengit. Bersyukurnya, politisasi agama tak digunakan di pilpres tahun ini.
Pemilu bukanlah lonceng kematian bagi yang kalah dan euforia berlebihan bagi yang diunggulkan.
Ajakan menggunakan agama serta tempat ibadah sebagai bahan dan tempat kampanye relatif tak disambut publik. Kalaupun ada politisasi agama, sangat sedikit jumlahnya. Dari sisi ini, dibandingkan dengan tahun 2019, kampanye pemilu sekarang jauh lebih ”baik”.
Rekonsiliasi
Setiap pilpres digelar, masyarakat selalu terbelah. Bahkan, kekecewaan akibat jagonya kalah dipelihara hingga pilpres berikutnya. Padahal, elite partai pengusung sudah legawa menerima kekalahan, bahkan telah menjadi teman koalisi. Perbedaan pilihan politik jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati.
Jelang penetapan hasil Pemilu 2024, elite dan masyarakat mesti berkomitmen menjaga situasi dan kondisi politik tetap kondusif, ikhlas menerima kekalahan dan mengakui keunggulan lawan. Apabila muncul kecurigaan soal kecurangan, sudah ada mekanisme penyelesaiannya.
Jika tetap kecewa, tunggu lima tahun lagi. Pemilu akan dilalui kembali dan siapkan segala strategi untuk menguji keyakinan serta harapan bahwa pemilu akan dimenangi dengan jujur dan adil. Inilah cara terbaik untuk merebut klaim kemenangan dan kebenaran yang diyakini dengan tetap berpegang pada nilai-nilai demokrasi.
Pemilu selalu diakhiri dengan kemenangan di satu pihak dan kekalahan di pihak lain. Yang kalah tentu kecewa. Demi keberlangsungan negeri ini, pemilu tidak boleh dimaknai tiji tibeh (mati siji mati kabeh/mati satu mati semua).
Pemilu bukanlah lonceng kematian bagi yang kalah dan euforia berlebihan bagi yang diunggulkan. Sing kalah aja ngamuk, sing menang aja ngasorake (yang kalah jangan marah, yang menang jangan merendahkan).
Sebagaimana telah ditunjukkan oleh dua kali pemerintahan Presiden Joko Widodo, rangkulan kepada lawan merupakan bukti bahwa bangsa ini terlalu besar untuk dibangun oleh pemenang pemilu saja, tanpa melibatkan pihak lain.
Elite dan masyarakat perlu melakukan rekonsiliasi pascapemilu. Saling memberi dan meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah terjadi selama masa kampanye dan pascapilpres.
Momentum rekonsiliasi juga mendapatkan momentum yang tepat berkaitan dengan tradisi ruwahan (megengan) yang dilakukan oleh umat Islam jelang memasuki bulan Ramadhan. Umat Islam melakukan berbagai ritus ”bersih diri” di bulan Syakban, baik dalam bentuk ruwahan dengan memberi makanan kepada tetangga kiri-kanan maupun dengan ziarah kubur (nyadran) kepada nenek moyang (Moller, 2005).
Mengapa pascapemilu perlu rekonsiliasi? Bukankah pemilu akan terus digelar secara periodik? Berapa kali bangsa ini akan ”bertengkar” karena pemilu dan berapa kali kita akan rekonsiliasi? Bukankah pemilu merupakan ”permainan konstitusional” yang tidak perlu dinarasikan sebagai ”perang” sehingga tidak butuh rekonsiliasi?
Elite dan masyarakat perlu melakukan rekonsiliasi pascapemilu.
Secara bahasa, rekonsiliasi (reconciliation) berarti ’ikhtiar memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan berbagai perbedaan atau persoalan’.
Pada mulanya, rekonsiliasi menjadi istilah baru yang digunakan dalam lanskap peralihan politik dari rezim otoriter menuju rezim demokratis. Dalam konteks ini, rekonsiliasi diartikan sebagai suatu tahap untuk menutup masa lalu yang menyakitkan.
Dalam conflict studies, rekonsiliasi dimaknai sebagai upaya mewujudkan reintegrasi pada pihak-pihak yang berkonflik menuju terciptanya stabilitas perdamaian (Malik, 2017: 51-2).
Rekognisi
Meskipun pemilu bukanlah ajang konflik berlarut dan menimbulkan banyak korban, nyatanya pilpres menimbulkan luka dan kekecewaan. Sekalipun pilpres berlangsung damai serta seluruh dugaan kecurangan dan pelanggaran hukum telah ada mekanisme untuk menanganinya, upaya saling merangkul dan mewujudkan kerukunan di antara para pihak sangat dibutuhkan.
Berangkulan ini merupakan wujud pengakuan (recognition) dan sportivitas atas kemenangan pihak lawan. Rekognisi juga bermakna pengakuan bahwa seluruh proses pemilu telah dilaksanakan dengan penuh kesungguhan sesuai regulasi yang berlaku. Meski demikian, di sana-sini terdapat berbagai kekurangan yang mesti disempurnakan bersama.
Sebab, penyelenggaraan pemilu yang berkualitas bukan hanya dipikul oleh KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan pemerintah saja. Partai politik dan seluruh elemen bangsa juga memiliki kewajiban yang setara agar demokrasi di Indonesia menemukan jalan yang lurus.
Rekognisi membutuhkan kerendahan hati dan keberanian untuk berjiwa besar. Jika seluruh proses konstitusional belum memuaskan, mereka dapat menunggu pemilu berikutnya digelar seraya terus menyiapkan program dan strategi terbaik agar mencapai kemenangan.
Memelihara sakit hati dan menyemburkan narasi curang kepada pihak lawan bukanlah sikap negarawan.
Rekognisi bukan sekadar soal pemenang dan pecundang. Rekognisi tidak hanya kewajiban bagi yang kalah kepada yang diunggulkan. Rekognisi merupakan titah semua pihak untuk mengakui dan menginsafi berbagai kekeliruan yang pernah dilakukan, tanpa mengambinghitamkan pihak lain.
Rekognisi pada hakikatnya merupakan penerimaan sekaligus penghormatan satu pihak kepada pihak lainnya.
Karena itu, rekognisi dan rekonsiliasi ibarat dua sayap bagi seekor burung agar tetap bisa terbang jauh dan lebih tinggi. Tanpa rekognisi, agak sulit mencapai rekonsiliasi. Jelang memasuki bulan Ramadhan, dua hal di atas kiranya dapat lebih mudah diwujudkan demi Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI