Kurikulum Kompleks, Pendidikan Terhambat
Perubahan kurikulum di masa depan seharusnya dirancang untuk menyederhanakan proses pembelajaran, bukan menambah beban.
Ilustrasi
Seiring pemilihan presiden baru, harapan masyarakat terhadap peningkatan kualitas di berbagai sektor, terutama pendidikan, meningkat signifikan. Kebijakan pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan perubahan kurikulum, menjadi fokus utama yang diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam mempersiapkan generasi yang berkualitas dan kompetitif di tingkat global.
Pasalnya, implementasi kurikulum baru yang telah dilakukan sebelumnya menimbulkan berbagai masalah yang belum sepenuhnya teratasi, bahkan sebelum era kepemimpinan baru ini. Menurut Doni Koesoema A, dalam artikelnya yang berjudul Tirani Aplikasi (Kompas, 22/1/2024), jutaan guru dihujani oleh berbagai aplikasi yang sangat mengganggu konsentrasi mereka bekerja. Kebijakan ini dianggap merugikan guru, menghancurkan kinerja mereka, dan menyebabkan guru menjadi tidak fokus pada aktivitas mendidik siswa.
Dengan terpilihnya presiden baru nanti, muncul harapan akan dilakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap kurikulum yang saat ini diterapkan. Harapan ini didasari oleh kebutuhan akan kebijakan pendidikan yang inklusif, yang mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan semua pihak terlibat, mulai dari guru, siswa, hingga keluarga.
Baca juga: Kelayakan Kurikulum Merdeka Jadi Kurikulum Nasional Dikritisi
Kunci sukses sistem pendidikan masa depan adalah menciptakan lingkungan belajar yang tidak hanya fokus pada peningkatan kualitas akademis, tetapi juga pada kenyamanan, kegembiraan, dan keberlanjutan proses belajar-mengajar. Di Indonesia, peran anggota keluarga dan orangtua dalam mendidik anak-anak sangat penting.
Oleh karena itu, kurikulum yang tidak mudah dipahami oleh anggota keluarga dan para orangtua akan menyulitkan siswa dalam belajar dan menyelesaikan tugas-tugas mereka. Sistem pendidikan yang sukses di masa depan harus menciptakan lingkungan belajar yang tidak hanya meningkatkan kualitas akademik, tetapi juga kenyamanan, kegembiraan, dan keberlanjutan dalam proses belajar-mengajar.
Tanggung jawab tiga pihak
Menuju cita-cita Indonesia Emas 2045, ketika Indonesia diharapkan maju secara serentak dari Sabang sampai Merauke, menjadi tanggung jawab utama dalam sektor pendidikan. Dalam konteks ini, pandangan para filsuf kuno, seperti Aristoteles (384 SM-322 SM), John Locke (29 Agustus 1632-28 Oktober 1704), dan Jean-Jacques Rousseau (28 Juni 1712-2 Juli 1778), tentang pendidikan menjadi sangat relevan.
Ketiga filsuf tersebut, meski hidup di era yang berbeda, secara konsisten menekankan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara negara, keluarga, dan individu. Ini adalah konsep yang harus kita gali kembali dalam konteks Indonesia saat ini, terutama dalam upaya mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Aristoteles memandang pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara negara dan keluarga. Negara bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif, sementara keluarga memberikan fondasi moral dan pendidikan awal.
John Locke menekankan pentingnya pengembangan moral, intelektual, dan fisik yang harus didukung pemerintah, keluarga, dan masyarakat secara luas. Ia percaya bahwa pendidikan harus mempersiapkan individu untuk kehidupan sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
Dalam menghadapi tantangan pendidikan di era modern, Indonesia perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip ini ke dalam sistem pendidikan.
Jean-Jacques Rousseau mengusulkan pendidikan yang lebih alami dan berpusat pada siswa, yang menghargai kebebasan dan pengembangan individu sesuai dengan kecenderungan alami mereka. Rousseau menekankan bahwa lingkungan pendidikan harus dibentuk oleh pemerintah untuk memfasilitasi jenis pendidikan ini, dengan peran penting dimainkan keluarga dan guru dalam mendukung perkembangan karakter anak.
Dalam menghadapi tantangan pendidikan di era modern, Indonesia perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip ini ke dalam sistem pendidikan. Pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur pendidikan yang inklusif, keluarga dalam membangun karakter, dan individu dalam mengambil tanggung jawab atas pengembangan diri mereka sendiri menjadi sangat penting. Sinergi antara ketiga elemen ini tidak hanya akan memperkuat fondasi pendidikan nasional, tetapi juga memastikan bahwa setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang secara optimal.
Dampak negatif
Kurikulum pendidikan yang terus bertambah kompleks tidak hanya memberatkan guru dan siswa, tetapi juga mengurangi peranan esensial keluarga dalam pendidikan. Kondisi ini dapat menghambat perkembangan kolektif kita.
Peranan aktif keluarga, yang selama ini menjadi fondasi utama sistem pendidikan di Indonesia, kini terancam akibat perubahan-perubahan tersebut. Ini menyebabkan berkurangnya dukungan yang sangat dibutuhkan oleh siswa dan melemahnya ikatan sosial dalam komunitas.
Mengingat pentingnya revisi sistem pendidikan yang dilaksanakan secara hati-hati, penting untuk memastikan bahwa semua segmen masyarakat dilibatkan, dan pendidikan berkualitas dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Kurikulum hendaknya menjadi alat pemersatu generasi saat ini dengan tujuan dan aspirasi nasional kita, bukan menjadi penghalang untuk mengakses pendidikan.
Kunci dari keberhasilan ini adalah kontinuitas kurikulum, keahlian guru dalam materi yang diajarkan, dan stabilitas sistem pendidikan. Kontinuitas kurikulum membantu membangun fondasi pengetahuan yang solid, keahlian guru dalam materi yang diajarkan menjamin pembelajaran berlangsung efektif, sementara stabilitas sistem pendidikan menciptakan lingkungan belajar yang mendukung.
Baca juga: Menyoal Dunia Pendidikan Kita
Frekuensi dan kompleksitas perubahan kurikulum yang berlebihan tidak hanya menyebabkan kebingungan, tetapi juga menambah beban pada guru, mengganggu fokus dan efisiensi mereka dalam mengajar. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih stabil dan inklusif terhadap sistem pendidikan untuk mendukung kelangsungan pembelajaran dan memastikan kesempatan yang merata bagi setiap individu untuk berkembang bersama dalam dunia pendidikan.
Pengalaman pribadi
Saya ingin berbagi sebuah pengalaman ketika saya kelas II SMP, khususnya mengenai perubahan kurikulum yang dilaksanakan secara kurang hati-hati pada 1975 di Indonesia. Perubahan dari Matematika konvensional ke Matematika modern menimbulkan kebingungan, terutama karena kurangnya persiapan para guru serta pemahaman dari keluarga yang biasanya membantu anggota keluarganya dalam belajar.
Mengenang kembali pengalaman pada 1975, saya teringat bagaimana guru Matematika saya merespons perubahan ke Matematika modern. Beliau berkesimpulan bahwa tidak perlu terlalu menggali Matematika modern dan lebih baik melanjutkan pembelajaran dengan Matematika konvensional. Menurut beliau, prinsip-prinsip Matematika untuk siswa SMP tetap sama: di mana pun dan kapan pun.
Keputusan guru tersebut terbukti sangat bijaksana. Ini membantu kami, yang masih anak-anak, serta keluarga kami yang tidak familiar dengan Matematika modern. Saya berhasil menyelesaikan pelajaran Matematika di SMP dan dapat mengikuti pelajaran Matematika di SMA dengan baik. Bahkan, saat melanjutkan studi di ITB, saya mampu mengikuti pelajaran Kalkulus di tingkat pertama dengan cukup baik.
Guru SMP saya benar, Matematika dari SD hingga Kalkulus memiliki prinsip yang cenderung tetap dan tidak berubah. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada saya dan siswa lainnya jika guru Matematika kami memaksakan penggunaan kurikulum baru.
Pengalaman ini menekankan pentingnya keterlibatan keluarga dalam proses pembelajaran. Ketidakmampuan keluarga untuk mengikuti kurikulum baru dapat merugikan, memutus dukungan yang sangat dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu, pengembangan dan implementasi kurikulum baru harus mempertimbangkan dampaknya terhadap guru, siswa, dan keluarga untuk menghindari konsekuensi negatif.
Refleksi dari pengalaman tersebut menunjukkan kebijaksanaan seorang guru Matematika yang memilih untuk tetap pada pendekatan konvensional, mempertahankan prinsip dasar yang konsisten. Pendekatan ini terbukti efektif, menegaskan bahwa efektivitas pembelajaran tidak selalu tergantung pada perubahan kurikulum.
Dengan demikian, perubahan kurikulum di masa depan seharusnya dirancang untuk menyederhanakan proses pembelajaran, bukan menambah beban. Para guru harus diberi waktu yang cukup untuk mempersiapkan materi ajar dengan serius, mengajarkannya, dan memiliki waktu untuk refleksi.
Tujuannya adalah menciptakan proses belajar yang menyenangkan bagi guru dan siswa serta memperkuat hubungan antara siswa dan keluarga. Perubahan kurikulum harus menjadi alat untuk mempererat ikatan keluarga dalam pendidikan dan mendukung perkembangan holistik siswa.
Syamsul Rizal, Profesor dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh; Anggota Majelis Pendidikan Aceh