Di tengah kondisi sosial yang kian runyam, demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin berat. Kecurangan pemilu, manipulasi suara, dan praktik politik uang menjadi indikasi nyata dari tidak sehatnya praktik demokrasi.
Lebih jauh, kecenderungan untuk melanggar berbagai aturan demi mempertahankan atau mengembangkan politik dinasti menambah pekatnya awan gelap yang menggantung di atas tatanan demokrasi nasional.
Fenomena ini mencerminkan sebuah ironi. Di satu sisi, masyarakat menuntut transparansi, keadilan, dan pemerintahan yang bersih; namun di sisi lain, masih terdapat toleransi, bahkan dukungan, terhadap praktik-praktik yang justru merusak fondasi demokrasi itu sendiri.
Kecurangan pemilu, manipulasi suara, dan praktik politik uang menjadi indikasi nyata dari tidak sehatnya praktik demokrasi.
Situasi ini menegaskan bagaimana ketidakpedulian atau ketidaktahuan masyarakat akan realitas politik yang lebih luas berkontribusi pada stagnasi dan kemunduran kualitas demokrasi, menjerumuskan negara ke dalam siklus yang tampaknya tak berujung dari praktik-praktik politik yang merugikan.
Dalam buku Robert Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, fenomena ini bisa tergambar. Putnam menggambarkan fenomena penurunan partisipasi sosial dan politik serta erosi kepercayaan dan solidaritas sosial dalam masyarakat.
Meskipun Putnam berfokus pada masyarakat Amerika, prinsip-prinsip yang diajukannya dapat dengan mudah diterapkan pada konteks Indonesia, terutama dalam hal kecenderungan masyarakat untuk mengisolasi diri dan menghindari keterlibatan aktif dalam isu-isu sosial dan politik yang lebih besar.
Dalam konteks Indonesia, fenomena tersebut dapat dilihat dalam bentuk apatis politik yang meluas dan ketidakpedulian terhadap praktik korup dan tidak etis dalam politik, yang sering kali dijustifikasi dengan alasan pragmatisme atau kelelahan politik.
Pendapat ahli lain, seperti Amartya Sen dalam ”Development as Freedom”, menekankan pentingnya partisipasi publik dan diskusi terbuka dalam memperkuat demokrasi dan mempromosikan pembangunan sosial yang inklusif.
Sen berargumen bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses memperluas kebebasan nyata yang dinikmati oleh individu, termasuk kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial negara mereka.
Pemilu dan nasib masyarakat
Dalam konteks pemilu, adanya indikasi kecurangan dan manipulasi yang terjadi tidak hanya merusak integritas proses demokrasi itu sendiri, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga terkait.
Ketika masyarakat mulai menerima bahwa praktik-praktik ini adalah bagian dari hal ”normal” dari proses politik, mereka secara tidak langsung memberikan legitimasi kepada penguasa yang memanipulasi sistem untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Akhirnya, ruang untuk membangun dinasti politik tidak hanya dibuka lebar, tetapi juga diperkuat oleh keengganan masyarakat untuk menantang status quo. Lebih jauh, pembukaan ruang bagi dinasti politik membawa kemungkinan buruk dalam bentuk konsentrasi kekuasaan, pengabaian prinsip meritokrasi, dan peningkatan korupsi.
Dinasti politik cenderung mempertahankan kekuasaan dalam lingkaran keluarga atau afiliasi dekat, yang sering kali mengesampingkan kepentingan umum demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Ini berpotensi mengarah pada kebijakan yang tidak mementingkan kesejahteraan rakyat luas, tetapi lebih fokus pada pemeliharaan kekuasaan dan pengumpulan kekayaan. Akibatnya, ketimpangan sosial ekonomi dapat meningkat, dan kesempatan untuk mobilitas sosial menjadi semakin terbatas.
Ketidakmampuan masyarakat merespons secara efektif kondisi hari ini dapat dijelaskan melalui konsep ”ketaatan otoritas” dan ”disonansi kognitif”.
Sekiranya kita mampu membuka tempurung yang selama ini menahan kita menuju masyarakat yang lebih terbuka, adil, dan sejahtera bagi semua.
Teori ketaatan otoritas, yang dipopulerkan oleh Stanley Milgram, menunjukkan bahwa individu memiliki kecenderungan bawaan untuk mengikuti perintah dari otoritas, bahkan ketika perintah tersebut bertentangan dengan prinsip moral atau etika mereka sendiri.
Dalam konteks Indonesia, hal ini diperparah oleh budaya yang menekankan hormat dan patuh pada pemimpin, yang bisa mendorong penerimaan pasif terhadap praktik koruptif atau tidak etis oleh pemerintah dan pemimpin politik.
Ditambah lagi dengan terjadinya disonansi kognitif, konsep yang diperkenalkan oleh Leon Festinger. Konsep ini menggambarkan ketidaknyamanan psikologis yang dirasakan seseorang ketika mereka memegang dua keyakinan, nilai, atau ide yang kontradiktif secara bersamaan.
Dalam hal ini, masyarakat mungkin secara internal menolak praktik korupsi atau pembentukan dinasti politik, namun pada saat yang sama merasa tidak berdaya atau skeptis terhadap kemampuan mereka untuk membuat perubahan yang signifikan.
Akibatnya, untuk mengurangi disonansi ini, banyak yang mungkin memilih untuk mengabaikan, merasionalisasi, atau bahkan menerima praktik tersebut sebagai bagian tak terelakkan dari politik.
Hal ini menegaskan bahwa respons masyarakat yang tampaknya apatis atau pasif bukan hanya hasil dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian, tetapi juga merupakan produk dari proses psikologis yang kompleks yang telah diatur oleh struktur kekuasaan yang ada.
Pemerintah dan elite politik dengan cerdik memanfaatkan dinamika psikologis ini, mempertahankan status quo, memperkuat kontrol, dan mencegah munculnya tantangan terhadap kekuasaan mereka.
Untuk melawan kondisi ini, diperlukan upaya kolektif yang melibatkan pemberdayaan masyarakat, pendidikan politik yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kritis, dan pembangunan kapasitas untuk aksi kolektif. Ini mencakup meningkatkan pemahaman tentang hak dan tanggung jawab sebagai warga negara, serta mengembangkan strategi untuk melawan manipulasi dan tekanan dari otoritas.
Dengan memperkuat solidaritas sosial dan jaringan dukungan, masyarakat dapat lebih efektif dalam menantang dan mengubah praktik dan struktur yang merugikan, membangun fondasi yang lebih kuat untuk demokrasi yang inklusif dan partisipatif.
Langkah ini membutuhkan keberanian kolektif dan tekad yang kuat dari kita semua, untuk berdiri, bersuara, dan bertindak bersama dalam memperjuangkan transparansi, keadilan, dan integritas dalam kehidupan sosial dan politik.
Baca juga: Indonesia dan Demokrasi
Sekiranya kita mampu membuka tempurung yang selama ini menahan kita menuju masyarakat yang lebih terbuka, adil, dan sejahtera bagi semua. Atau selamanya, nasib kita hanyalah menjadi masyarakat katak dalam tempurung!
Wawan Kurniawan, Peneliti Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia