Tantangan Hilirisasi Nikel
Bagi sebagian besar pengguna EV, baterai LFP memberikan jangkauan dan daya lebih dari cukup.
Kemerosotan harga nikel global yang berkepanjangan memberikan tekanan pada produsen nikel di seluruh dunia dan akan memperdalam dominasi Indonesia dalam pasokan global.
Kondisi pasar saat ini yang ditandai dengan melimpahnya pasokan dan lemahnya pertumbuhan permintaan, terutama di sektor kendaraan listrik (EV), turut menyebabkan penurunan harga nikel secara signifikan. Skenario ini kemungkinan akan terus berlanjut serta akan memengaruhi kelangsungan operasi nikel dan menghambat pengembangan proyek baru.
Dalam periode tekanan besar, turunnya harga menyebabkan biaya operasi lebih tinggi, khususnya di luar Indonesia. Di Australia, misalnya, fasilitas operasi Ravensthorpe milik First Quantum dan Nickel West milik BHP sedang menghadapi tantangan. Produsen nikel Wyloo Metals Pty Ltd juga mengumumkan akan menutup sebagian dari pabrik pengolahannya.
Potensi penutupan tambang-tambang nikel ini telah memicu peringatan di negara-negara Barat akan konsentrasi pasokan berlebihan di Indonesia yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan dari China (Financial Times, 30/1/2024).
Dalam lingkup geopolitik yang sedang berubah, Indonesia berupaya mendapatkan posisi yang lebih menonjol dalam rantai pasokan BEV.
Sejak pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel pada 2020, dorongan agresif industri hilir nikel Indonesia telah membantu meningkatkan pangsa pasarnya menjadi 55 persen pada tahun lalu, naik dari hanya 16 persen pada 2017. Namun, peningkatan produksi juga berkontribusi terhadap penurunan harga nikel global sebesar 43 persen. Ada kekhawatiran dominasi Indonesia dalam pasokan global ini hanya akan tumbuh karena rendahnya harga logam tersebut.
Lanskap geopolitik
Meski Indonesia diperkirakan tidak akan mengalami dampak signifikan dari guncangan harga saat ini, strategi untuk menjaga keberlangsungan proyek strategis nasional masa depan ini perlu mendapat perhatian. Terutama, menjaga rantai pasokan untuk industri baterai EV yang rentan terhadap volatilitas harga, risiko geopolitik, disrupsi teknologi, dan kebijakan proteksionis pemerintah.
Sayangnya, dalam debat kandidat calon presiden beberapa waktu lalu soal hilirisasi, tidak ada kandidat yang menyentuh persoalan substansi ini.
Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia seperti digambarkan oleh Cullen Hendrix, Senior Fellow pada Peterson Institute for International Economics di Washington, berada dalam situasi yang mirip dengan Arab Saudi dan cadangan minyaknya.
Memiliki sumber daya melimpah yang nilainya akan berkurang seiring dengan pesatnya pertumbuhan sektor EV. Namun, guncangan makroekonomi, risiko geopolitik, dan inovasi dalam baterai kendaraan listrik (BEV) menjadi tantangan untuk meningkatkan nilai tambah pada industri hilir nikel dan mineral penting lainnya.
Dalam lingkup geopolitik yang sedang berubah, Indonesia berupaya mendapatkan posisi yang lebih menonjol dalam rantai pasokan BEV. Hal ini mencakup tidak hanya menambang bijih nikel dan melakukan perakitan baterai pada saat importir BEV besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), sedang melakukan perakitan di dalam negeri.
Di AS, upaya ini termasuk menarik kredit pajak melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) dan di UE mencakup pinjaman pemerintah melalui program InvestEU.
Definisi ”entitas asing yang menjadi perhatian” (FEOC) yang dirilis US Department of The Treasury and Internal Revenue Service (IRS) pada 1 Desember 2023 akan berperan dalam mencegah perusahaan China, Rusia, Korea Utara, dan Iran memenuhi syarat keinginan pajak yang diatur dalam IRA.
Dengan lebih dari 60 persen investasi industri nikel di Indonesia berasal dari China, definisi FEOC akan mengecualikan sebagian besar nikel Indonesia dari kualifikasi kredit pajak IRA. Pedoman untuk kredit pajak EV dalam IRA juga mewajibkan komponen baterai dengan nilai tertentu diproduksi atau dirakit di Amerika Utara atau mitra perdagangan bebas (FTA).
Investigasi ini bertujuan mencegah pembuat EV China yang mengambil pasokan nikel dari Indonesia membanjiri pasar Eropa dengan impor murah.
Aturan itu bertujuan menghilangkan ketergantungan AS pada China dalam pengembangan rantai pasokan BEV. Pada April 2023, Indonesia pernah mengusulkan FTA untuk beberapa mineral yang dikirim ke AS agar memperoleh manfaat dari kredit pajak AS, tetapi belum ada kejelasan lebih lanjut sampai saat ini (Reuters, 10/4/2023).
Sementara program InvestUE adalah inisiatif independen negara anggota UE dan penyelidikan antisubsidi terhadap produsen EV China. Investigasi ini bertujuan mencegah pembuat EV China yang mengambil pasokan nikel dari Indonesia membanjiri pasar Eropa dengan impor murah. Dalam kedua kasus ini, ketergantungan pada perusahaan-perusahaan China di sektor nikel di Indonesia menciptakan kerentanan terhadap ambisi untuk jadi pemain EV global.
Disrupsi teknologi
Dalam perkembangan teknologi BEV, nikel menghadapi persaingan dari baterai jenis baru yang sebagian besar mendapat perhatian di antara produsen EV di China, dikenal sebagai baterai lithium ferrophosphate (LFP), yang tidak memerlukan nikel. Meskipun perluasan produksi LFP diperkirakan melemahkan beberapa permintaan nikel, masih ada cukup ruang di pasar EV untuk meningkatkan permintaan kedua jenis baterai tersebut.
Kendati demikian, cadangan nikel dan ambisi industri nikel Indonesia tidak boleh mengabaikan perkembangan baru ini agar nikel memiliki harga yang stabil. Nikel adalah komponen kunci dalam baterai nikel-mangan-kobalt (NMC) yang saat ini mendominasi pasar karena keunggulan dalam jangkauan dan bobotnya. Namun, dominasi ini bisa saja hanya sementara.
Pada Agustus 2023, CEO Tesla Elon Musk mengumumkan bahwa perusahaannya akan mengalihkan sebagian besar EV menggunakan baterai LFP. Untuk hub regional, Tesla telah memilih mendirikan kantor pusat perwakilannya di Cyberjaya, Malaysia. Melalui perwakilannya ini, Tesla dapat menjual EV buatan Shanghai langsung ke konsumen di Malaysia tanpa perantara dan bebas tarif (NikkeiAsia, 1/8/2023).
S&P Global Market Intelligence pada edisi riset 27 Juli 2023 memprediksi setelah tahun 2030 dominasi baterai NMC akan berkurang, digantikan baterai LFP. Baterai LFP menawarkan jangkauan lebih pendek dan harga lebih murah karena bahan bakunya lebih melimpah. Bagi sebagian besar pengguna EV, baterai LFP memberikan jangkauan dan daya lebih dari cukup.
Agar Indonesia dapat mempertahankan nikel sebagai mesin pertumbuhan dan pembangunan di tengah disrupsi teknologi baterai, seperti baterai sodium-ion dan solid-state, ataupun akses pasar dalam menjual rantai pasokan EV di AS dan Eropa, prioritasnya adalah membina hubungan yang lebih erat dengan kedua pasar terbesar EV.
Pasar di AS dan UE memiliki konsumen relatif kaya akan selera EV berbasis NMC yang berkinerja lebih tinggi.
Baca juga: Banjirnya Produk Nikel dan Disorientasi Hilirisasi
Membina hubungan yang lebih erat dengan AS dan UE bukan berarti mengorbankan kemitraan dengan perusahaan-perusahaan Asia, seperti dengan China dan Korea Selatan.
Tentu masalah proteksionisme dan pengawasan terhadap dampak lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam penambangan dan pengolahan harus menjadi standar operasi proyek. Hanya orang bodoh yang menginginkan industri hilir nikel yang memberi nilai tambah pada ekonomi ini tidak dilanjutkan atau menjadi korban dari disrupsi dan pergeseran lanskap geopolitik.
Eko Sulistyo,Direktur Institute for Climate Policy & Global Politics