Peran dan Hak Angket DPR di Pusaran Pilpres
Peran dan hak angket DPR krusial untuk mengusut apakah terdapat potensi kecurangan dalam Pemilu 2024 atau tidak.
Calon presiden Ganjar Pranowo mendorong dua partai pengusungnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan, menggulirkan hak angket di DPR untuk mengusut dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif di Pemilu 2024.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut hak angket itu sebagai hak demokratis (Kompas, 21/2/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Langkah mengajukan hak angket ini merupakan manuver politik yang menyengat sekaligus taktis. Alternatifnya, Ganjar juga menyodorkan usul kepada PDI-P dan PPP untuk menggunakan hak interpelasi DPR guna meminta keterangan kepada pemerintah.
Kedua anjuran itu disambut baik oleh capres Anies Baswedan yang meyakini partai pemanggulnya, yakni Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), juga akan memberikan dukungan (Kompas, 24/2/2024).
Hak angket dan hak interpelasi
Secara konstitusional, mosi mengeluarkan hak interpelasi dan hak angket merupakan implementasi fungsi pengawasan yang diemban oleh DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Di samping itu, kedua hak lembaga perwakilan itu merupakan gagasan restorasi kinerja parlemen yang melemah lima tahun terakhir. Dengan demikian, dorongan untuk memajukan hak interpelasi dan angket merupakan pengamalan cita-cita UUD 1945 yang menginginkan parlemen dapat secara efektif mengontrol pemerintah.
Peran dan hak angket DPR adalah krusial untuk mengusut apakah terdapat potensi kecurangan dalam Pemilu 2024 atau tidak.
Penjabaran lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar itu, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), telah memberikan eksplanasi dan landasan yang hakiki mengenai hak interpelasi dan hak angket.
Berdasarkan Pasal 79 Ayat (2) UU MD3, hak interpelasi merupakan hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah terkait kebijakan pemerintah yang berdampak luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 menyebutkan, hak angket merupakan kewenangan DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang krusial, strategis, dan berdampak luas bagi kehidupan bernegara dan berbangsa, yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, berdasarkan tingkatan hak DPR, hak angket memiliki muatan yang lebih tinggi dibandingkan hak interpelasi. Sebab, melalui hak angket, UU memberikan landasan kepada parlemen untuk menindaklanjuti hasil investigasinya ke dalam hak menyatakan pendapat bahwa sepak terjang pemerintah telah valid melanggar konstitusi atau peraturan perundang-undangan.
Tiga pesan kunci
Seterusnya, dengan menunjuk pada peristiwa politik adanya usulan hak angket tersebut, serta pemahaman secara esensial angket, maka terdapat tiga pesan kunci yang menguraikan lebih lanjut amaran sentral yang berkaitan dengan hak angket dan peran DPR.
Pertama, desakan hak angket yang diinisiasi oleh Ganjar dan disambut baik oleh Anies merupakan tanggapan terhadap gelagat Presiden Jokowi menjelang pilpres yang mengekspos ketidaknetralan sikap Kepala Negara sebagai konsekuensi pernyataan campur tangan Presiden dalam Pemilu 2024 untuk kepentingan negara dan nasional demi keberlanjutan kebijakan strategis pemerintahan saat ini (”Presiden: Cawe-cawe untuk Kepentingan Negara”, Kompas, 30/5/2023).
Di sisi lain, hak angket merupakan reaksi terhadap indikasi pelanggaran pemilu yang melibatkan penyelenggara pemilu, aparat penegak hukum, dan mobilisasi kepala desa yang berkaitan, dengan tujuan memengaruhi para pemilih sebelum hari pemilihan (Kompas.id, 20/2/2024).
Dengan kata lain, mosi hak angket mencoba memisahkan dua kolam permasalahan, yakni kolam yang berkaitan dengan tata kelola penyelenggaraan negara sebelum dilaksanakannya pemungutan suara, yang melibatkan kebijakan dan langkah- langkah Presiden serta jajaran pejabat pemerintah.
Di sisi lain, kolam yang berkenaan dengan tata laksana pemilihan umum yang melibatkan para penyelenggara pemilu, baik itu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), maupun Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan demikian, berdasarkan tingkatan hak DPR, hak angket memiliki muatan yang lebih tinggi dibandingkan hak interpelasi.
Pada akhirnya, hak angket menempatkan kolam yang berkaitan dengan pengelolaan negara sebelum dilaksanakan pemilu sebagai isu utama.
Kedua, pengertian hak angket sebagaimana dijabarkan oleh Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 sejatinya merupakan hak prerogatif DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang menjalankan fungsi representasi aspirasi masyarakat, pengawasan atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan serta kebijakan, dan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Maka, melalui Pasal 79 tersebut, DPR tak hanya memiliki kewenangan untuk mendalami kebijakan pemerintah atau tindak tanduk Presiden yang berpotensi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau pelanggaran hukum berat. DPR juga dapat menggali pelaksanaan UU Pemilu yang melibatkan KPU dan Bawaslu sebagai pemain utama dalam penyelenggaraan pemilu.
Melalui kacamata sejarah parlemen Indonesia, hak angket terbanyak terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Koran Tempo, 23/2/2024), yakni meliputi hak angket DPR untuk menyelidiki kasus penjualan tanker Pertamina (2005), hak angket terkait impor beras (2006), hak angket terkait penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (2008), hak angket terkait daftar pemilih tetap (DPT) pemilu (2009), dan hak angket atas kasus Bank Century (2009).
Sementara di era Presiden Joko Widodo pada 2017, terdapat satu hak angket DPR yang berkaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus e-KTP.
Berdasarkan rangkaian peristiwa itu, ada suatu tema esensial bahwa dalam sudut pandang kelembagaan, DPR berperan untuk memastikan prinsip kardinal ketatanegaraan, yakni pemerintahan yang mewakili kepentingan umum dan bertanggung jawab, serta membatasi penyalahgunaan kekuasaan.
Ketiga, bergulirnya wacana hak angket merupakan pertanda yang mujarab untuk merestorasi parlemen yang selama lima tahun belakangan telah kehilangan spirit untuk mengemban kedaulatan rakyat.
Di samping itu, melalui momentum yang mendorong DPR untuk menyelidiki adanya dugaan kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tindakan eksekutif yang berpotensi melanggar hukum, maka langkah tersebut adalah upaya mengukuhkan suatu pepatah hukum bahwa tiada seorang pun, bahkan pemerintah, kebal hukum (no one, even the government, is above the law).
Selanjutnya, secara fundamental maksim itu memiliki dua fungsi. Pertama, merefleksikan negara hukum yang berintikan tiga hakikat hukum, yaitu kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas (Franz Magnis-Suseno, 2018). Dengan demikian, setiap orang ataupun pejabat negara ditempatkan setara di mata hukum dan mempunyai tanggung jawab yang sama.
Kedua, menghindari kemunculan negara regulasi yang berintikan acuan keabsahan suatu tindakan, terlepas dari etika politik dan fundamen dasar hukum. Kemudian fenomena yang tampak adalah semakin melimpahnya peraturan yang dibentuk sehingga semakin banyak oportunitas pemanfaatan peraturan tersebut.
Dengan demikian, setiap orang ataupun pejabat negara ditempatkan setara di mata hukum dan mempunyai tanggung jawab yang sama.
Akibatnya, ini menjadikan ordonansi sebagai senjata dalam memudahkan rencana politik tercapai. Dengan demikian, apabila kapasitas parlemen dapat dipulihkan, fungsi pengawasan DPR dapat menjadi optimal serta kebijakan publik atau tindakan eksekutif yang dihasilkan dapat mencapai tujuan yang selaras dengan nalar dan moral publik.
Hak menyatakan pendapat
Peran dan hak angket DPR adalah krusial untuk mengusut apakah terdapat potensi kecurangan dalam Pemilu 2024 atau tidak. Pada tingkatan tertentu, hak angket dapat berperan menjadi pijakan DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat.
Namun, untuk bisa sampai pada penggunaan hak menyatakan pendapat, setiap pengusul yang merupakan anggota partai politik membutuhkan kedisiplinan yang tahan banting dan pengendalian diri yang kokoh.
Hal ini karena adanya kewajiban bagi para pengusul untuk memenuhi seluruh persyaratan prosedural formil hingga pada keputusan DPR menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam UU MD3.
Baca juga: Memahami Hak Angket DPR
Maka, melampaui isu mengenai hak angket hingga hak menyatakan pendapat dari DPR, upaya ini semua adalah perwujudan dari merawat demokrasi sebagaimana pemikiran M Natsir bahwa pendukung dan pelaksana sistem demokrasi itu terpimpin dan terbimbing oleh nilai-nilai moral dan nilai-nilai hidup yang tinggi (7/11/1956).
Nicky Fahrizal, Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta