Pembiayaan Fiskal, dari Mana Uangnya?
APBN harus difokuskan untuk pembangunan inklusif, seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan produktivitas.
Sebagian dari kursi sudah mulai terisi ketika saya tiba di Bell Hall, sebuah auditorium kecil di sudut lantai lima Belfer Building, Harvard Kennedy School. Beberapa pengajar dan mahasiswa berbaur duduk di sana. Saya menerkanya dari cara mereka berpakaian.
Sore itu, Center for International Development Harvard University dan Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab Massachusetts Institute of Technology (MIT) menyelenggarakan simposium ”Perlindungan Sosial di Negara Berkembang”. Saya mendapat kehormatan untuk berbicara dalam forum itu bersama beberapa menteri dari negara berkembang dan akademisi dari Harvard dan MIT.
Saya ingat, ada satu pertanyaan spesifik untuk saya yang diajukan oleh Rema Hanna, guru besar ekonomi dari Harvard Kennedy School, yang memimpin sesi diskusi itu: dengan anggaran pemerintah yang terbatas, dari sisi kebijakan, mana yang lebih penting: dana untuk infrastruktur atau perlindungan sosial? Sebuah pertanyaan yang rumit.
Jawaban saya: Indonesia tak punya kemewahan untuk memilih. Kita butuh keduanya. Indonesia harus terus memacu pertumbuhan ekonominya di atas 6 persen ke depan untuk menghindari risiko ”menjadi tua sebelum kaya”.
Untuk itu, produktivitas harus ditingkatkan. Caranya, dengan membangun infrastruktur yang baik, memperbaiki kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan, dan juga perbaikan dalam tata kelola pemerintahan.
Namun, saya sadar, pandemi Covid-19 menimbulkan parut (scarring effect) pada ekonomi kita. Ada soal besar menanti: ketimpangan pendapatan dan potensi menurunnya kualitas modal manusia (pendidikan dan kesehatan).
Pengalaman Chile menunjukkan, terabaikannya kelas menengah telah menimbulkan gejolak sosial dan kerusuhan besar di negara itu.
Perekonomian memang berangsur membaik, tetapi ada risiko pemulihan akan timpang. Studi Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can (2023) dari FEB UI menunjukkan, pertumbuhan ekonomi 2019-2022 memang meningkatkan pengeluaran (sebagai proksi pendapatan) bagi 20 persen kelompok terbawah dan kenaikan amat tajam bagi 10 persen kelompok teratas, tetapi nyaris mengabaikan kelompok pendapatan menengah.
Ruang fiskal
Pengalaman Chile menunjukkan, terabaikannya kelas menengah telah menimbulkan gejolak sosial dan kerusuhan besar di negara itu. Kita juga tahu, perubahan iklim dan tensi geopolitik telah membuat harga pangan dan energi naik. Kita merasakan harga beras naik akhir-akhir ini. Ini bisa memukul kelompok berpendapatan menengah bawah.
Dalam situasi seperti ini, strategi pembangunan ke depan harus semakin inklusif. Perluasan perlindungan sosial adalah sebuah keharusan (lihat Basri, Hanna dan Olken, Kompas, 22-24/4/2020). Itu sebabnya, Indonesia tak memiliki kemewahan untuk memilih. Kita butuh keduanya. Untuk itu dibutuhkan anggaran yang besar.
Lalu bagaimana membiayainya? Dari mana uangnya? Bagaimana menyediakan ruang fiskal (fiscal space) untuk ini? Apa yang bisa dilakukan? Di sini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, bisa saja pemerintah memilih menaikkan defisitnya secara tajam, di mana program-program tersebut dibiayai dengan utang. Pertanyaannya, apa konsekuensinya?
Laporan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KM-PPKF, 2021) Kementerian Keuangan Indonesia menunjukkan, semua indikator utang mengalami kenaikan dalam periode 2015-2020 dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dari 24,7 persen (2014) menjadi 39,4 persen (2020). Saya sebenarnya tak terlalu khawatir dengan rasio utang terhadap PDB. Indonesia masih dalam batas aman. Yang perlu diperhatikan adalah rasio bunga dan cicilan pokok pinjaman terhadap pendapatan negara (debt service ratio/DSR).
Data menunjukkan, DSR terus mengalami peningkatan sejak 2015. DSR ini mencapai puncaknya tahun 2020, yaitu 46,7 persen. Artinya, 46,7 persen dari pendapatan negara harus digunakan untuk membayar bunga dan cicilan utang. Implikasinya, hanya 53,3 persen dari seluruh pendapatan negara yang dapat digunakan untuk belanja sosial, infrastruktur, dan sebagainya. Kenaikan DSR telah mengurangi ruang fiskal kita.
Mengapa DSR meningkat? Penyebabnya, penurunan penerimaan pajak di satu sisi dan akselerasi belanja di sisi lain. DSR meningkat sangat tajam tahun 2020 karena kontraksi ekonomi akibat pandemi yang mengakibatkan menurunnya penerimaan pajak hingga 16,88 persen dan meningkatnya belanja untuk mengatasi pandemi. Penurunan penerimaan pajak juga karena jatuhnya harga komoditas dan energi serta berbagai pemberian insentif pajak.
Data menunjukkan bahwa total debt service tumbuh rata-rata 13,7 persen per tahun sejak 2015 hingga 2023, sementara pendapatan negara hanya tumbuh rata-rata 7,08 persen per tahun. Secara sederhana kita tahu, apabila debt service tumbuh lebih cepat dari pendapatan negara, DSR akan meningkat.
Apa yang bisa kita simpulkan dari angka-angka ini? Jika utang ditambah, hal itu harus diimbangi dengan kenaikan pendapatan negara pada tahun berikutnya. Semakin tinggi DSR, semakin kecil dana yang dapat dialokasikan untuk belanja infrastruktur, perlindungan sosial. Di sini kita bisa melihat peningkatan utang tidak serta-merta akan memperluas ruang fiskal, kecuali jika pendapatan negara naik.
Itu sebabnya, kami mengusulkan untuk melakukan reformasi dalam administrasi perpajakan ketimbang menaikkan tarif.
Data menunjukkan bahwa DSR memang menurun dari 46,7 persen (2020) menjadi 38 persen (2023). Saya kira kita perlu memberikan apresiasi kepada pemerintah untuk hal ini. DSR bisa turun dalam periode itu karena penerimaan pajak membaik sejak 2020 hingga 2023. Perbaikan penerimaan pajak ini sejalan dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi dalam periode 2020-2023.
Data ini memperkuat argumen saya betapa penting peningkatan pendapatan negara. Itu sebabnya, saya kira pemerintah berikutnya perlu memperhatikan soal DSR ini. Tanpa itu, tak akan banyak ruang fiskal tersedia untuk menjalankan program yang direncanakan.
Kedua, jika peningkatan pendapatan negara menjadi kata kunci, apa yang bisa dilakukan? Saya berkali-kali menulis di harian ini mengenai pentingnya peningkatan pendapatan negara, baik berupa peningkatan rasio pajak terhadap PDB maupun peningkatan penerimaan negara bukan pajak. Saya paham bahwa salah satu cara meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan menaikkan tarif pajak. Namun, hal ini akan menimbulkan beban bagi pelaku ekonomi. Karena itu, kita harus berhati-hati.
Studi saya bersama Felix, Hanna, Olken di American Economic Review (2021) menunjukkan, untuk setiap satu rupiah kenaikan penerimaan pajak, ada tambahan beban bagi wajib pajak sebesar Rp 0,51. Ini adalah dead weight loss atau biaya yang harus ditanggung perekonomian akibat kebijakan ini.
Itu sebabnya, kami mengusulkan untuk melakukan reformasi dalam administrasi perpajakan ketimbang menaikkan tarif. Misalnya, memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak pratama ke kantor pajak madya, seperti yang mulai diterapkan Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun 2021.
Studi kami menunjukkan, tiap account representative (AR) bertanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi 56 sampai 125 perusahaan, dan juga ribuan wajib pajak. Sementara di kantor pajak madya, tiap AR bertanggung jawab untuk 12-26 perusahaan.
Keterbatasan sumber daya di KPP pratama membuat mereka cenderung memfokuskan diri pada beberapa wajib pajak dengan potensi pendapatan yang tinggi. Akibatnya, badan usaha besar akan menjadi sasaran. Ada kemungkinan mereka akan semakin menghindar membayar pajak ketika skala perusahaannya membesar.
Jika dipindahkan ke KPP madya, dengan jumlah staf yang lebih banyak, perlakuan terhadap badan usaha menjadi lebih seragam. Beban pajak ”tidak hanya ditanggung” beberapa perusahaan besar. Akibatnya, mereka tetap bisa bertumbuh dan membayar pajak dengan baik. Perhitungan yang kami lakukan menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pajak dari kebijakan ini bisa cukup signifikan. Dan ini dilakukan tanpa perlu menaikkan tarif pajak.
Cara lain adalah mengurangi pengecualian untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan bahwa c-efficiency dari PPN Indonesia masih berkisar di 63,58 persen (2022). Artinya, PPN yang berhasil dipungut baru 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
Penyebabnya adalah masih cukup banyak barang dan jasa yang dikecualikan (exemption) atau belum tercatat ke dalam sistem pajak. Dengan mengurangi pengecualian ini, basis pemajakan akan diperluas. Data DJP, misalnya, menunjukkan bahwa pada tahun 2019, fasilitas PPN tercatat mendominasi tax expenditure (insentif pajak) hingga 65 persen.
Inilah saatnya mengkaji ulang insentif pajak yang diberikan selama ini. Rasio tax expenditure terhadap PDB (insentif pajak) sudah relatif besar, yakni 1,65 persen dari PDB pada 2022.
Anggaran pemerintah sebaiknya difokuskan untuk peningkatan produktivitas, seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, dan juga perlindungan sosial.
Mengapa begitu banyak insentif pajak diberikan, tetapi dampaknya pada pertumbuhan ekonomi relatif terbatas? Kaji ulang insentif yang tak efektif. Langkah pemerintah untuk memperluas cakupan cukai pada minuman berpemanis tepat. Dengan langkah-langkah ini, rasio penerimaan pajak akan meningkat, tanpa perlu menaikkan tarifnya, karena basis pajak membesar.
Instrumen lain yang perlu dijajaki adalah pajak untuk energi tak terbarukan, menaikkan pajak karbon, yang diimbangi dengan membangun pasar karbon agar pemulihan bisa lebih hijau. Tentu ini harus dilakukan secara bertahap sehingga perusahaan mampu melakukan penyesuaian. Jika pendapatan negara bisa ditingkatkan, isu DSR juga bisa diantisipasi. Implikasinya, akan lebih banyak ruang fiskal tersedia.
Hal lain yang tak kalah penting adalah modernisasi sistem teknologi informasi (IT), seperti yang sedang dilakukan oleh DJP dengan transformasi sistem informasi data ke sistem cortex. Sistem ini diharapkan membantu untuk membaca lebih banyak data sehingga mempermudah pengawasan DJP.
Ketiga, kita tahu ada anggaran wajib (mandatory spending) yang harus dialokasikan pemerintah, seperti dana pendidikan (20 persen dari total belanja) dan dana transfer ke daerah (sekitar 30 persen dari total belanja). Jika pendapatan negara belum meningkat dan beban DSR meningkat, pemerintah terpaksa memotong berbagai belanja, termasuk belanja produktif dan bantuan sosial. Tentu ini bukan hal yang kita inginkan.
Pembangunan inklusif
Oleh karena itu, dari sisi belanja, pemerintah harus mengkaji prioritas dan kualitas belanja. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus difokuskan untuk pembangunan yang inklusif, seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan juga peningkatan produktivitas.
Setiap sen yang dikeluarkan harus memberi dampak maksimal sehingga pertumbuhan pendapatan negara akan lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan debt service. Ini akan membuka ruang fiskal yang lebih luas.
Keempat, kita tahu anggaran pemerintah terbatas. Porsi APBN 2023 hanya sekitar 13 persen dari PDB. Dengan porsi yang relatif kecil ini, sumber pertumbuhan ekonomi harus datang dari dunia usaha, baik lokal maupun asing.
Anggaran pemerintah sebaiknya difokuskan untuk peningkatan produktivitas, seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, dan juga perlindungan sosial. Instrumen fiskal menjadi katalis pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Deindustrialisasi dan Korupsi, Penyebab Kelas Menengah Indonesia Sulit Jadi Orang Kaya
Baca juga: Kelas Menengah Sedang dalam Perubahan
Begitu banyak hal harus dilakukan. Namun, ruang yang ada terbatas. Kita juga tak hidup dalam ruang hampa, ada faktor politik yang harus dipertimbangkan. Mantan Presiden Uni Eropa Jean Claude Juncker pernah mengatakan, ”We all know what to do, we just don’t know how to get re-elected after we’ve done it.” Juncker benar.
Yang dibutuhkan adalah kebijakan pemerintah yang bisa memberikan manfaat paling besar di tengah kendala yang ada. Itulah yang saya sebut sebagai: the political economy of the possible.
Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia