Analisis Sementara Efek Ekor Jas
Faktor yang bisa memengaruhi kerja efek ekor jas, baik positif maupun negatif, adalah ketokohan di tingkat lokal.
Pertanyaan soal efek ekor jas atau coat tail effect kembali mengemuka setelah pelaksanaan pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
Pertanyaan ini muncul karena berdasarkan hitungan sementara melalui hitung cepat (quick count/ CQ) dan rekapitulasi di laman Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) suara Komisi Pemilihan Umum, terlihat perolehan suara partai peserta pemilu legislatif seolah tidak sejalan dengan perolehan suara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang mereka usung.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam kaitan efek ekor jas ini, yang sering disebut, misalnya, suara sementara untuk Partai Gerindra pada Pemilu 2024 kemungkinan tak berubah banyak dibandingkan dengan Pemilu 2019 meskipun capresnya diprediksi menang dengan keunggulan yang signifikan.
Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai pengusung pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tampak tidak mengalami peningkatan yang berarti. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) diperkirakan memperoleh tambahan suara cukup lumayan dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, justru terlihat belum memenuhi ambang batas parlemen 4 persen, setidaknya berdasarkan QC dan hitungan sementara Sirekap.
Jika tokoh lokal atau caleg ini adalah tokoh yang kuat di dapil itu, ia akan mampu mencegah pemilih lari dari partainya karena tidak suka dengan capres atau cawapresnya.
Apakah ada efek ekor jas dalam pemilu serentak tahun 2024? Kalau ada, bagaimana menjelaskan perolehan suara partai-partai, terutama Gerindra, yang diperkirakan tidak keluar sebagai pemenang pemilu legislatif meskipun ketua umumnya, Prabowo Subianto, diperkirakan terpilih sebagai presiden?
Analisis sementara menunjukkan bahwa sesungguhnya efek ekor jas tetap terlihat sebagaimana ada dalam pemilu-pemilu sebelumnya, terutama pada 2014 dan 2019. Kurang terlihatnya hal ini dalam pandangan sejumlah pihak kemungkinan terkait dengan pemahaman tentang apa itu efek ekor jas.
Yang juga penting adalah efek ekor jas dalam pilpres di negara yang menganut sistem dua partai, seperti Amerika Serikat, memiliki perbedaan dengan yang ada di negara yang menganut sistem multipartai seperti Indonesia.
Ketokohan dan mesin partai
Teori dasar dari efek ekor jas (coat tail effect atau down ballot effect) adalah bahwa dukungan pemilih terhadap pasangan capres-cawapres memengaruhi dukungan terhadap partai yang mencalonkannya dalam pilpres yang digelar serentak atau berdekatan waktunya dengan pemilu legislatif.
Yang sering lupa dibahas terkait hal ini ada dua hal. Pertama, efek ekor jas bisa bersifat positif, bisa juga negatif. Kedua, dalam sistem pilpres multipartai, pengaruh efek ekor jas tak tersebar merata ke partai-partai anggota koalisi pencapresan (Hanan & Irvani, 2022; Borges & Turgeon, 2019; West & Spoon, 2017).
Partai atau koalisi partai akan mendapat dampak elektoral paling besar jika calon yang mereka usung adalah yang unggul dan keluar sebagai pemenang. Berdasarkan temuan riset, di dalam koalisi, partai yang memperoleh dampak positif paling besar adalah partai asal capres, partai asal cawapres, dan partai yang paling kuat asosiasinya dengan capres-cawapres.
Karena Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka adalah calon yang paling unggul dan akhirnya—minimal menurut hasil QC—keluar sebagai pemenang, partai-partai koalisinya secara teoretis memperoleh efek ekor jas paling kuat. Data menunjukkan inilah yang terjadi. Koalisi partai pengusung Prabowo-Gibran memperoleh total suara 45-48 persen.
Total suara untuk partai-partai pengusung Anies-Muhaimin 28 persen, hampir sama dengan suara pasangan capres-cawapres mereka, yakni 25-27 persen. Demikian juga total suara untuk partai-partai pengusung Ganjar-Mahfud yang memperoleh dukungan 21 persen suara, berselisih 4 persen dari suara pasangan capres-cawapres mereka.
Terlihat ada hubungan yang linier antara tingkat dukungan dalam pilpres dan tingkat dukungan terhadap partai-partai pengusung pasangan capres-cawapres. Jadi, secara keseluruhan (agregat), terlihat jelas efek ekor jas.
Namun, jika kita cermati sebaran tingkat dukungan untuk setiap partai di koalisi masing-masing, kita mendapati gambaran yang lebih kompleks. Seharusnya partai yang memperoleh dampak positif paling besar di koalisi Prabowo-Gibran adalah Gerindra dan Golkar, setelah itu partai-partai lain.
Partai atau koalisi partai akan mendapat dampak elektoral paling besar jika calon yang mereka usung adalah yang unggul dan keluar sebagai pemenang.
Hasil hitung cepat menunjukkan partai yang mengalami peningkatan suara dibandingkan dengan Pemilu 2019 adalah Gerindra, Golkar, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Peningkatan suara Golkar terlihat paling besar, mencapai 2-3 persen, disusul PSI (1 persen), dan paling kecil adalah Gerindra (kurang dari 1 persen). Partai Demokrat dan PAN cenderung stagnan.
Mengapa bukan Gerindra yang memperoleh peningkatan paling besar? Efek ekor jas mengalir dari ketokohan Prabowo sebagai capres dan Gibran sebagai cawapres. Namun, kita tak boleh lupa, Gibran adalah proksi dari Presiden Joko Widodo. Dengan demikian, ada tokoh satu lagi yang langsung atau tak langsung berpengaruh pada pemilih ketika menghubungkan antara pilihan presiden mereka dan pilihan partai.
Asosiasi Prabowo paling kuat adalah dengan Gerindra dan dampak positif hal ini telah diperoleh Gerindra sejak 2009 karena Prabowo selama empat pilpres terakhir selalu berada di surat suara dan menjadi lokomotif suara partai ini.
Puncak kekuatan Prabowo adalah pada 2019 sehingga efek ekor jas paling besar terhadap Gerindra diperoleh pada saat itu. Pada 2024, basis Prabowo itu hampir setengahnya pindah ke Anies sehingga yang tertinggal adalah pemilih loyal Prabowo yang sekaligus adalah pemilih loyal Gerindra.
Karena ada tokoh Jokowi (bersama Gibran) yang ada di barisan Prabowo, potensi tambahan suara untuk Gerindra cukup tinggi. Masalahnya adalah asosiasi Jokowi-Gibran dengan Gerindra jauh lebih lemah daripada asosiasi keduanya dengan Golkar dan PSI.
Ilustrasi/Heryunanto
Dengan Golkar, asosiasi Jokowi bisa lebih kuat karena ada Gibran yang dicalonkan oleh Golkar dan Golkar adalah salah satu pendukung utama Jokowi pada Pemilu 2019. Sama halnya dengan PSI, yang sudah lama diasosiasikan dengan Jokowi dan pada Pemilu 2024, proksi Jokowi yang lain, Kaesang Pangarep, adalah Ketua Umum PSI.
Fakta bahwa PSI kemungkinan tak lolos ambang batas parlemen adalah soal lain yang bisa dibahas lebih panjang.
Pengaruh ketokohan calon juga dapat terlihat dari peningkatan suara PKB. Secara sederhana, dengan mudah kita dapat menghubungkannya dengan posisi ketua umumnya yang namanya tertera pada surat suara sebagai cawapres.
Selain karena ketokohan yang memengaruhi cara kerja efek ekor jas, gerak dan fokus dari mesin setiap partai juga kemungkinan berpengaruh.
Dapat diduga, fokus Gerindra, berbeda dengan anggota koalisi lain, lebih banyak terpecah untuk memenangkan capresnya. Termasuk, misalnya, mungkin partai ini harus berkompromi untuk memastikan pemenangan capresnya di wilayah-wilayah yang lebih dikuasai oleh partai anggota koalisi yang lain.
Ditambah lagi, kekuatan mesin dan infrastruktur Golkar sebagai partai yang sudah berakar dan selalu berada dalam pemerintahan kemungkinan membuatnya lebih unggul daripada partai lain.
Sejumlah indikasi dari survei-survei prapemilu menunjukkan, para calon anggota legislatif Golkar di daerah-daerah pemilihan cenderung lebih banyak yang bergerak sehingga dapat lebih bergotong royong dalam mengumpulkan suara untuk partai secara keseluruhan.
Di sisi lain, seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, pengumpulan suara untuk Gerindra lebih banyak bertumpu pada kekuatan ketokohan Prabowo.
Terlihat ada hubungan yang linier antara tingkat dukungan dalam pilpres dan tingkat dukungan terhadap partai-partai pengusung pasangan capres-cawapres.
Tokoh lokal dan mitigasi efek negatif ekor jas
Faktor lain yang bisa memengaruhi kerja efek ekor jas, baik positif maupun negatif, adalah ketokohan di tingkat lokal, terutama para caleg di wilayah atau dapil masing-masing. Tugas tokoh lokal partai, terutama caleg, adalah mengapitalisasi sekuat mungkin ketokohan capres atau cawapresnya di dapil-dapil yang cenderung menerimanya.
Jika ini digabungkan dengan ketokohan caleg itu di tingkat lokal, efek positif ekor jas terhadap partainya dapat bertambah. Kampanyenya kira-kira: ”pilihlah partai yang menjadi asal capres atau cawapres”.
Sebaliknya, tokoh di tingkat lokal ini juga bertugas mencegah (mitigasi) dampak negatif dari capres atau cawapres di dapil-dapil yang kurang atau tidak menerima salah satu atau keduanya.
Jika tokoh lokal atau caleg ini adalah tokoh yang kuat di dapil itu, ia akan mampu mencegah pemilih lari dari partainya karena tidak suka dengan capres atau cawapresnya. Kampanyenya kira- kira adalah: ”tidak apa-apa presidennya beda, yang penting pilih partai tempat saya bernaung”. Maka, di dapil-dapil seperti ini terjadilah split-ticket voting.
Split-ticket voting dan kemampuan tokoh lokal memitigasi dampak negatif efek ekor jas inilah, antara lain, yang dapat menjelaskan mengapa PDI-P dapat tetap bertahan atau hanya mengalami penurunan tingkat dukungan sedikit dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Baca juga: Efek Ekor Jas Tak Terlihat di Pemilu 2024
Di dapil-dapil yang ketokohan Jokowi-nya lebih kuat dibandingkan dengan PDI-P, misalnya, caleg atau tokoh lokalnya dapat tetap mengasosiasikan diri dengan Jokowi, membiarkan pemilihnya mendukung capres yang didukung Jokowi, tetapi tetap memersuasi pemilih untuk mendukung PDI-P dalam pemilu legislatif.
Secara keseluruhan, analisis di atas menunjukkan bahwa gerakan tokoh capres-cawapres, tokoh lokal dan caleg, serta gerak mesin partai dalam tingkat yang cukup signifikan dapat dipandang sebagai upaya untuk menghadapi efek ekor jas, baik dalam pengertian mengapitalisasi dampak positifnya maupun dalam pengertian memitigasi dampak negatifnya. Strategi mengapitalisasi dan memitigasi ini berbeda-beda dari satu partai ke partai lainnya dan dari satu dapil ke dapil lainnya.
Djayadi Hanan,Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI); Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)