Digitalisasi Pajak
DJP dapat dan perlu membangun layanan digital yang memungkinkan wajib pajak menghubungkan rekening pajak dengan bank.
Pada awal tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan penerimaan pajak pada 2023 sebesar Rp 1.869,2 triliun atau 108,8 persen terhadap target APBN. Catatan realisasi yang melampaui target ini merupakan hattrick selama tiga tahun berturut-turut sejak 2021.
Di sisi lain, calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mengatakan bahwa hanya 30 persen masyarakat Indonesia yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Penerimaan pajak merupakan komponen penting bagi APBN kita dan sudah selayaknya diperhatikan dengan serius, termasuk proses digitalisasinya.
Digitalisasi pajak di Indonesia diawali dengan diperkenalkannya sistem e-Filing dan e-Billing.
Digitalisasi pajak di Indonesia diawali dengan diperkenalkannya sistem e-Filing dan e-Billing. Wajib pajak dapat mengajukan laporan pajak secara elektronik melalui platform resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sehingga tidak hanya mempercepat proses pelaporan, tetapi juga mengurangi risiko kesalahan manusia. Sistem ini sekaligus memastikan akurasi data serta mengurangi waktu dan biaya yang diperlukan untuk pengiriman manual.
Salah satu langkah progresif dalam digitalisasi pajak adalah rencana DJP untuk membangun sistem perpajakan baru, Coretax Administration System (CTAS), yang dijanjikan akan dirilis pada Mei 2024. Melalui sistem ini, diharapkan wajib pajak tidak lagi harus mengisi secara manual seperti saat ini mengingat hampir semua informasi sudah terisi secara otomatis di sistem.
Dari sisi teknis, DJP mungkin akan mengambil data dari OJK daripada melakukan interkoneksi langsung dengan perbankan dan berbagai lembaga keuangan yang ada. Dalam hal ini, perlu diperhatikan payung hukum bagi DJP untuk mendapatkan data tersebut agar tidak melanggar prinsip kerahasiaan bank.
Sebenarnya, DJP juga dapat dan perlu membangun layanan di portal pajak yang memungkinkan wajib pajak untuk menghubungkan rekening pajaknya dengan bank dan lembaga keuangan lainnya secara sukarela. Untuk memulainya, DJP hanya perlu bekerja sama dengan beberapa bank besar dan membuat Application Programming Interface (API) yang diperlukan.
Perlu diperhatikan payung hukum bagi DJP untuk mendapatkan data tersebut agar tidak melanggar prinsip kerahasiaan bank.
Jika beberapa bank sudah memulainya, biasanya yang lain akan mengikuti. Dengan cara ini, izin dari wajib pajak selaku subjek data pribadi pun dapat diperoleh secara eksplisit dalam proses pendaftaran rekening bank mereka. Layanan ini bisa diperluas ke lembaga keuangan lainnya, misalnya perusahaan multifinance, sekuritas, asuransi, atau bahkan teknologi finansial (tekfin) untuk mendapatkan data pinjaman, investasi, dan asuransi.
Bukti potong deposito dan simpanan, saldo rekening perbankan, jumlah pinjaman dan penggunaan kartu kredit, serta data aset keuangan lainnya dapat disajikan secara otomatis sehingga wajib pajak hanya perlu mengonfirmasi atau memberi penjelasan. Guna meningkatkan minat untuk menghubungkan rekening bank dan lembaga keuangan lainnya, seyogianya wajib pajak diberi insentif, misalnya dengan menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
Demi kemudahan akses, DJP juga telah meluncurkan aplikasi M-Pajak. Namun, saat ini layanan yang tersedia masih terbatas. Memang proses pelaporan pajak secara digital akan lebih mudah dilakukan melalui komputer pribadi karena ditunjang dengan layar yang lebar dan kemudahan untuk mengimpor data.
Oleh karena itu, pengembangan layanan aplikasi M-Pajak sebaiknya diarahkan kepada use cases yang sesuai dengan sifat dan kegunaan aplikasi mobile. Misalnya, aplikasi M-Pajak mestinya bisa digunakan untuk memindai bukti potong dan langsung meng-update ke basis data pajak sebagai bagian dari pelaporan.
Untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi wajib pajak yang melakukan pembayaran secara elektronik.
Saat ini pengelolaan pajak lebih banyak menggunakan ”stick” daripada ”carrot”. Wajib pajak yang tidak punya NPWP, misalnya, tarif yang dikenakan lebih tinggi 20 persen dari tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.
Untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi wajib pajak yang melakukan pembayaran secara elektronik. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan potongan pajak atau bonus kepada wajib pajak yang menggunakan metode pembayaran nontunai secara elektronik dengan kartu kredit, uang elektronik, atau pendebitan rekening secara langsung.
Dalam hal ini, wajib pajak yang membayar secara nontunai bisa diberi insentif langsung dalam bentuk pengurangan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain itu, pada saat pelaporan pajak, jumlah total nilai transaksi pembayaran non-tunai bisa dijadikan dasar pengurangan pajak.
Di sisi penjual, mereka juga perlu diberi insentif, misalnya dalam bentuk subsidi biaya transaksi elektronik yang dikenakan kepada pedagang sehingga menerima pembayaran non tunai menjadi lebih menarik secara finansial. Insentif pajak untuk pembayaran non-tunai akan menjadi dorongan yang kuat bagi masyarakat dan bisnis untuk mempercepat transformasi digital dalam sistem pembayaran.
Di sisi penjual, mereka juga perlu diberi insentif, misalnya dalam bentuk subsidi biaya transaksi elektronik yang dikenakan kepada pedagang sehingga menerima pembayaran non tunai menjadi lebih menarik secara finansial.
Pembayaran nontunai yang lebih cepat dan efisien akan mengurangi waktu dan biaya bagi pelaku usaha dan mempercepat putaran roda ekonomi. Selain itu, transaksi nontunai juga dapat meningkatkan keamanan dan transparansi dalam sistem pembayaran, mengurangi risiko pencucian uang dan kegiatan ilegal lainnya serta juga dapat meningkatkan kepatuhan dalam membayar pajak.
Selain insentif dalam bentuk finansial, DJP juga dapat menyediakan layanan manajemen keuangan dan akuntansi sederhana untuk orang pribadi dan UMKM. Untuk mempercepat implementasinya, DJP tidak perlu membangun sendiri, tetapi bisa bekerja sama dengan penyedia layanan yang sudah ada.
DJP dapat memberikan insentif dengan cara memberikan subsidi terhadap biaya layanan. Atau, lebih bagus lagi jika DJP dapat melakukan white-labelling dan memberikan layanan tersebut secara gratis bagi wajib pajak.
Di sisi lain, digitalisasi pajak menimbulkan risiko terkait keamanan data. DJP harus memastikan bahwa data pajak yang disimpan dan diolah melalui sistem digital tetap terlindungi dari potensi ancaman keamanan siber. Peningkatan kesadaran akan keamanan siber, pelatihan bagi petugas pajak, dan investasi dalam sistem keamanan diperlukan untuk mengatasi tantangan ini.
Digitalisasi pajak menimbulkan risiko terkait keamanan data. DJP harus memastikan bahwa data pajak yang disimpan dan diolah melalui sistem digital tetap terlindungi dari potensi ancaman keamanan siber.
DJP juga dapat mulai mengeksplorasi pemanfaatan teknologi blockchain dalam administrasi pajak. Dengan menggunakan teknologi ini, transparansi dan keamanan data pajak dapat ditingkatkan. Informasi mengenai transaksi pajak yang tercatat dalam platform blockchain dapat diakses secara real time dan diverifikasi dengan mudah dan cepat oleh berbagai pihak.
Semoga digitalisasi pajak di Indonesia tidak hanya menjadi sekadar adopsi teknologi, tetapi juga menyangkut perubahan paradigma untuk mengurangi kesalahan, serta memberikan kemudahan dan insentif bagi para wajib pajak. Harapannya, langkah ini dapat meningkatkan kontribusi penerimaan pajak secara signifikan terhadap pembangunan dan kemajuan negara sehingga membawa kemakmuran bagi seluruh masyarakat.