Menimbang Hak Angket dan Tuntutan Pemakzulan Presiden
Setelah Pemilu 2024, semua elemen rakyat perlu bersatu agar tidak terbentur oleh perbedaan politik.
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang penuh drama, situasi politik berubah cepat. Konstelasi politik yang sebelumnya menghangat akibat sinyal-sinyal pisah jalan koalisi pendukung Presiden Joko Widodo kian memanas.
Setelah Pemilu 2024 digelar, situasi panas ternyata masih bertahan. Bahkan kian menjadi dengan kemenangan telak pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berdasarkan hitung cepat hasil pilpres. Berbagai kejanggalan di tiap tahapan pemilu menggerakkan tudingan kecurangan.
Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) pesaing dalam kontestasi ini menyerukan hak angket sebagai jalan politik. Langkah ini disambut pula oleh capres lainnya, Anies Baswedan.
Wacana hak angket tentu saja wajar di alam demokrasi. Karena masalahnya politik, jalur politik tentu menjadi salah satu opsi. Menyikapi ini, kita juga belajar dari putusan MK sebelumnya yang membuahkan putusan anomali dengan berpijak pada dalil keputusan yang bersifat final dan mengikat.
Dalam situasi hari ini, penulis mengingat catatan lawas Pembacaan Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada Sidang Tahunan MPR RI, 2002.
Jelas di sini bahwa konstelasi politik di DPR akan sangat menentukan apakah upaya pemakzulan bisa bergulir.
Sebagai orang yang diberi amanah membacakan kala itu, penulis masih ingat beberapa poin pandangan tersebut. Termasuk soal peran Fraksi PDI-P selaku pendorong usul pembentukan MK dan Komisi Yudisial demi menegakkan ideologi konstitusi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan legislasi oleh pembentuk undang-undang (UU).
Saat itu, dalam sidang-sidang Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI, Fraksi PDI-P secara aktif mendorong hadirnya dua lembaga itu hingga diterima fraksi lainnya. Ini substansi penting dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 kala itu.
Dengan lahirnya MK, misalnya, Fraksi PDI-P berharap negara ini tidak saja memiliki jaminan prinsip konstitusionalitas hukum (constitutionality of law) sebagai substansi penting dalam negara hukum, tetapi juga menjamin bahwa penegakan hukum akan berjalan secara sistematik dan lebih konkret.
Dengan hadirnya lembaga ini, maka jika ada pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak konstitusi yang dilakukan otoritas pembentuk UU, akan terbuka jalur hukum untuk penyelesaiannya.
Melihat situasi kita hari ini, semangat menghadirkan lembaga ini kembali bisa menjadi satu bahan refleksi yang mendalam. Terlebih apabila MK sendiri ternyata bermasalah sebagaimana terungkap dalam putusan Majelis Kehormatan MK yang dibacakan ketuanya, Jimly Asshiddiqie, pada 7 Februari 2024. Ini hal yang mesti dicermati saat MK harus mengadili sengketa pemilu nantinya.
Hak interpelasi dan hak angket
Situasi terkini di bidang hukum memang terbilang suram. Banyak pihak yang kemudian membandingkannya dengan era Orde Baru di mana kelindan kolusi dan nepotisme adalah hal biasa dalam kehidupan politik. Drama putusan MK, hingga berbagai keterpecahan publik setelah pemilu, menjadi catatan tersendiri pada situasi saat ini.
Menghadapi kondisi ini, kelompok masyarakat yang gerah kemudian mencoba melakukan koreksi, termasuk melalui jalur politik konstitusional, yakni menggunakan opsi hak interpelasi. Belakangan bahkan muncul usulan untuk dilayangkannya hak angket. Sebagian masyarakat sipil bahkan mewacanakan pemakzulan sebagai opsi akhir.
Secara umum, interpelasi sendiri merupakan hak DPR untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah secara politik. Hak ini adalah hak yang melekat pada DPR dan merupakan langkah politik yang lumrah di alam demokrasi. Karena terkait dengan putusan MK, langkah interpelasi tentu mendapat sorotan karena drama putusan itu terjadi di ranah yudikatif, bukan legislatif.
Sementara, hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pemerintah terkait pertanggungjawaban hukum. Hak angket bisa dipakai, jika interpelasi tak bisa ditempuh untuk meminta pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran hukum perundang-undangan yang dilakukan pemerintah.
Hak angket sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 199 menyebutkan, usulan hak angket mesti diajukan paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi kepada pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna DPR dan dibagikan kepada semua anggota.
Drama putusan MK, hingga berbagai keterpecahan publik setelah pemilu, menjadi catatan tersendiri pada situasi saat ini.
Selanjutnya, terkait mekanisme, diatur di Pasal 199 bahwa usul itu mesti dapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPR yang dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari separuh jumlah anggota DPR yang hadir.
Dengan realitas politik hari ini, tentu saja upaya menjernihkan berbagai permasalahan pemilu lewat hak angket adalah dimungkinkan untuk dilakukan meski untuk mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPR sangat bergantung pada konstelasi politik setelah pemilu.
Dilihat dari hitungan konstelasi politik sementara hari ini, apabila semua partai yang mengusung Prabowo-Gibran solid, dalam kondisi hari ini mereka memiliki 261 kursi di DPR. Rinciannya: Fraksi Partai Golkar 85 kursi, Fraksi Partai Gerindra 78 kursi, Fraksi Partai Demokrat 54 kursi, dan Fraksi Partai Amanat Nasional 44 kursi.
Sebaliknya partai pengusung Ganjar-Mahfud MD di DPR memiliki 147 kursi dengan porsi Fraksi PDI-P 128 kursi dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan 19 kursi. Berikutnya, partai pengusung Anies-Muhaimin Iskandar 167 kursi, terdiri dari Fraksi Partai Nasdem 59 kursi, Fraksi PKB 58 kursi, dan Fraksi PKS sebanyak 50 kursi.
Jika dua kekuatan pendukung pasangan Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin solid, mereka memiliki 314 kursi, sementara pendukung Prabowo-Gibran 261 kursi, maka peluang menuju hak angket terbuka lebar. Namun, sekali lagi, semua ini juga tergantung soliditas anggota fraksi yang pada setelah Pemilu 2024 memiliki problem psikologis ketaatan tersendiri pada partainya.
Kondisi akan berbeda apabila jalan yang ditempuh adalah pemakzulan sebagaimana usulan sebagian pihak. Usul dari sebagian elemen masyarakat perlu ditelaah secara arif. Ini bukan pilihan yang tak mungkin dilakukan dalam menegakkan kembali wajah demokrasi yang dianggap tengah rusak. Hanya saja, ini adalah jalan berliku dengan banyak portal penting di setiap tikungannya.
Perlu diingat, situasi hari ini, posisi kepresidenan telah berbeda. Mekanisme pemakzulan juga berbeda dengan era sebelumnya. Sejarah telah membentuk perubahan kesadaran kita sebagai bangsa sehingga kini secara hukum, ketatanegaraan sistem presidensial lebih kuat.
Peluang pemakzulan
Bagaimana peluang hak angket berujung pada pemakzulan? Syarat pemakzulan diatur dalam Pasal 7B Ayat 1-7 hasil amendemen ketiga UUD NRI 1945. Disebutkan, untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, mesti ada mekanisme sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR.
Sidang paripurna ini kemudian membuat pendapat dan usulan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dengan dukungan dua pertiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Apabila DPR berhasil menyusun pendapatnya, selanjutnya kewajiban MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya pendapat itu, paling lama 90 hari setelah permintaan DPR diterima MK.
Keputusan MK ini selanjutnya akan dibawa kembali ke Sidang Paripurna DPR sebagai dasar untuk meneruskan usulan pemakzulan kepada MPR. Selanjutnya MPR—dalam hal ini DPR bersama DPD—akan menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul dari DPR tersebut, paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usulan dimaksud.
Jelas di sini bahwa konstelasi politik di DPR akan sangat menentukan apakah upaya pemakzulan bisa bergulir.
Keputusan atas usulan itu kemudian akan dibahas di Rapat Paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat jumlah anggota. Dalam kesempatan itu, presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan. Selanjutnya MPR menggelar sidang untuk membahas pembelaan yang ada, lalu mengambil keputusan. Keputusan pemberhentian disyaratkan mendapat persetujuan dari sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.
Dengan realitas politik dan penguasaan kursi di DPR dari tiap partai hari ini, momen pemakzulan tentu saja dapat dikatakan sulit tercapai, kendati dalam politik, seperti di sepak bola, peluang-peluang bisa saja terbuka setiap waktu.
Melihat komposisi kursi di DPR, kalaupun pasangan capres-cawapres nomor urut 1 dan 3 bergabung secara solid, mereka baru menghimpun kekuatan 314 kursi atau 55 persen suara di DPR. Sementara, untuk membuka jalan ke sidang paripurna DPR saja, dibutuhkan setidaknya 383 kursi di DPR, atau dua pertiga dari 575 anggota.
Jelas di sini bahwa konstelasi politik di DPR akan sangat menentukan apakah upaya pemakzulan bisa bergulir. Peran DPD sendiri tidak memadai dalam urusan politik tingkat tinggi ini, kecuali jika upaya pemakzulan telah tiba pada tahapan Rapat Paripurna MPR RI.
Menyikapi ini, semua pihak mesti arif membaca tanda zaman. Kondisi saat ini membuktikan proses pemakzulan bukanlah proses yang mudah dan murah. Momentumnya juga belum terlihat meski banyak pihak yang coba bersuara.
Selain itu, perlu disadari bahwa setelah pemilu, konstelasi pasti akan segera berubah dengan cepat. Pertemuan-pertemuan elite membuktikan itu sehingga ruang-ruang untuk pisah jalan lagi seusai pemilu sangat mungkin terjadi.
Baca juga: Soal Hak Angket Pemilu, JK: Tak Perlu Khawatir kalau Bersih
Meskipun demikian, jalur untuk hak angket rasanya masih merupakan jalan konstitusional yang paling memungkinkan untuk ditempuh demi juga menjawab kerisauan publik. Langkah ini juga penting bagi siapa pun pemenang pilpres agar tak dibayang-bayangi krisis legitimasi dalam kepemimpinannya.
Masyarakat sendiri perlu dicerdaskan secara politik sebagaimana amanah dari pembukaan UUD NRI 1945. Dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, masyarakat kita dapat melek politik sehingga bersama elite bisa menimbang dan memutuskan secara baik dan benar arah perjalanan bangsa ke depan. Rakyat perlu untuk terus dididik sebagai elemen paling fundamental dalam demokrasi.
Setelah Pemilu 2024, semua elemen rakyat perlu bersatu agar tidak terbentur oleh perbedaan politik. Mereka harus mengawal penegakan hukum dan aturan secara bersama-sama. Dengan demikian, apa pun proses politik yang terjadi, tidak akan membawa kita pada kondisi tepi jurang yang membahayakan masa depan rakyat dan NKRI.
A Teras NarangAnggota DPR RI (1999-2004 dan 2004-2005.); Gubernur Kalimantan Tengah (2005-2015); Anggota MPR RI/DPD RI (2019-2024)