Tradisionalitas dalam Sistem Modern Indonesia
Kemenangan (dalam hitung cepat) Prabowo-Gibran memperlihatkan sikap tradisionalitas masyarakat, yaitu praksis dewaraja.
Hasil hitung cepat berbagai lembaga survei terhadap pemilu, yang diselenggarakan pada 14 Februari 2024 memperlihatkan perolehan suara pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sekitar 57 persen. Angka ini unggul jauh dibandingkan dengan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang memperoleh sekitar 25 persen dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sekitar 17 persen.
Angka 57 persen itu di luar dugaan karena survei yang dilakukan beberapa minggu sebelumnya memperkirakan perolehan suara Prabowo-Gibran sekitar 53 persen. Ini merupakan fenomena menarik dari politik kemasyarakatan di Indonesia kontemporer, yang harus dipelajari oleh praktisi politik dan penggerak pemerintahan di Indonesia.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tanpa menghilangkan usaha dan kerja keras pasangan Prabowo-Gibran, jamak dikatakan bahwa keunggulan telak pasangan ini disebabkan faktor Jokowi yang berada di belakangnya. Padahal, dalam beberapa bulan terakhir sejak kontroversi putusan Mahkamah Konsitusi yang memungkinkan bagi Gibran dapat mencalonkan diri menjadi wakil presiden, bombardir dan kritik pedas kepada Jokowi dan pemerintahannya tidak pernah berhenti.
Kritik itu sebagian besar diungkapkan oleh orang-orang intelek bahkan seolah didukung media arus utama di Indonesia. Inilah yang harus dilihat para politikus dan penggerak pemerintahan di Indonesia masa mendatang.
Baca juga: Prabowo-Gibran Unggul di Semua Gugus Pulau
Kemenangan (dalam hitung cepat) Prabowo-Gibran itu sesungguhnya memperlihatkan sikap tradisionalitas masyarakat Indonesia yang masih tersimpan hingga kini, meski zaman berkembang begitu pesat. Sikap itu sudah menjadi ideologi, yang bukan saja sekadar tradisionalisme, melainkan juga telah menjadi tradisionalitas.
Artinya, tradisi itu telah berulang, berkembang, diturunkan, dan dipraktikkan secara modern hingga kini. Tradisionalisme itu tertaut dengan sistem modern, yaitu pemilihan umum yang dirancang secara demokratis.
Dalam konteks kepemimpinan, tradisi yang dimaksudkan itu adalah pemahaman dan praksis dewaraja. Ini harus diakui dengan besar hati masih berkembang di masyarakat Indonesia. Pemahaman dewaraja ini sangat tradisional, telah ada di zaman sejarah Indonesia (kuno), tetapi telah ”diperbarui” masyarakat di dalam pemilu.
Dipraktikkan sejak dulu
Dewaraja memahamkan bahwa raja adalah dewa (kekuatan adikodrati) atau keturunan dewa atau mereka yang mendapatkan perlindungan dari dewa. Karena itu, pusat dari dunia ini ada di raja dan kerajaan. Sebaliknya, raja pun harus mampu meniru sifat-sifat kedewaan. Meskipun raja memerintah dengan hegemonik, rakyat tunduk dengan patuh.
Dalam proses perkembangan politik sosial, praksis dewaraja itu mengerucut ke dalam kepemimpinan karismatik. Dewa adalah karisma utama dari segala kehidupan di bumi dan manusia yang karismatik adalah pemimpin yang tepat untuk mempratikkan itu. Pada masyarakat tradisional, mereka ikhlas menerima pemimpin seperti itu agar karisma dari dewa mampu mengalir di dalam kehidupan individual dan kehidupan sosialnya.
Karena itulah masyarakat minim menyuarakan kritik terhadap pemimpin seperti ini. Mereka tidak berani melakukannya karena itu berarti penentangan terhadap dewa. Penentangan terhadap hal ini adalah penyimpangan dari kehidupan sosial.
Pemerintahan dengan basis praksis dewaraja telah dipraktikkan di Indonesia berabad-abad dan mengkristal sampai zaman Indonesia modern. Di Bali, era kerajaan dimulai dari sejak zaman Bali Kuno di abad ke-9 saat berkuasanya Dinasti Warmadewa. Hal itu berlangsung secara terus-menerus sampai dengan Indonesia merdeka tahun 1945.
Jelas Joko Widodo bukanlah dewa, bukan juga raja, tetapi terlihat memiliki karisma. Yang paling utama dari karisma itu adalah kesederhanaan.
Saat ini, meskipun era kerajaan telah berakhir, peran raja masih kental di bidang budaya, adat, dan agama. Bahkan, kemudian banyak dari keluarga kerajaan berhasil berkecimpung di dunia politik karena masih didukung rakyat yang terikat dengan kerajaannya pada masa lalu. Di Jawa, era kerajaan jauh lebih dahulu dibandingkan dengan di Bali.
Jelas Joko Widodo bukanlah dewa, bukan juga raja, tetapi terlihat memiliki karisma. Yang paling utama dari karisma itu adalah kesederhanaan. Misalnya penampilannya polos. Meskipun stelan baju putih hitam itu dikreasi, pengenaan warna itu merupakan pengakuan kesederhanaan.
Blusukan yang dilakukan lebih terlihat bukan sebagai tindakan politik, tetapi itulah yang bisa dilakukannya sebagai pemimpin untuk dekat dengan rakyat. Kesabaran mungkin terlihat pada jabatan terakhirnya sebagai presiden dengan mengangkat kompetitornya, Prabowo Subianto, menjadi menteri pertahanan. (Konon akhir-akhir ini mau bertemu dengan Megawati Soekarnoputri.)
Dalam setiap ceramah keagamaan dari berbagai agama yang ada di Indonesia, karakter-karakter itulah yang menjadi penekanan utama sebagai perilaku yang harus dipraktikkan. Misalnya manusia harus mampu sederhana, mampu berhubungan dengan manusia lain tanpa membedakan derajatnya, dan manusia harus mempunyai sikap mengampuni lawan. Prinsip sosial Hindu Bali adalah Tat Twam Asi bahwa kita itu sama dengan orang lain. Itulah yang kemudian melekat pada praksis dan konsepsi dewaraja.
Dari situlah kita lihat Jokowi mampu menduduki kekuasaan berkali-kali, mulai dari sektor yang paling bawah. Menjabat Wali Kota Solo dua kali, Gubernur DKI Jakarta, menjadi presiden dua periode, anaknya menjadi Wali Kota Solo, dan menantunya menjadi Wali Kota Medan. Semua setuju bahwa keberhasilan itu disebabkan oleh karisma yang dimiliki Joko Widodo.
Praksis dewaraja ini nyata dan terlihat di Indonesia dalam perjalanan sejarah. Soekarno merupakan bagian dari dewaraja itu. Blusukan gaya Soekarno adalah orasinya di tengah masyarakat yang membuat rakyat merasa dekat dengan janji-janji kemerdekaan. Dan janji kemerdekaan itu telah terbukti dilakukannya. Meski dikritik pada masa Demokrasi Terpimpin, dipaksa dijatuhkan pada 1966, karismanya tetap ada, dan ”dibela” rakyat melalui Megawati Soekarnoputri.
Susilo Bambang Yudoyono juga jelas mempunyai karisma dengan kesabaran dalam kepemimpinannya. Karena itulah berhasil sampai dua kali menduduki jabatan sebagai presiden. Megawati jelas berani berhadapan dengan rezim Orde Baru, tetapi ia juga adalah penerima karisma Soekarno, dan karena itu partainya terus mampu unjuk gigi dalam politik di Indonesia.
Dalam konteks tertentu, Soeharto juga mempraksiskan konsepsi dewaraja ini. Dalam memerintah, seorang raja harus mampu menguasai segenap aspek kepemerintahan dan negara. Itulah yang dilakukan Soeharto sehingga mampu berkuasa hingga 32 tahun. Bukan tidak mungkin juga sebutan the smiling general merupakan praksis dewaraja juga. Kesabaran bicara Soeharto serta form muka yang kelihatan pasrah menerima takdir kehidupan mampu berbicara kepada rakyat.
Baca juga: Pemimpin Indonesia ke Depan
Tanpa mengurangi makna kerja keras yang dilakukan pasangan Prabowo-Gibran, ketika Pemilu 2024 memenangkan (via hitung cepat) ”trah” Joko Widodo, dari konteks praksis dewaraja adalah wajar. Seperti yang diungkapkan di atas, faktor Jokowi diperkirakan sangat mendukung kemenangan pasangan Prabowo-Gibran.
Semua kritik yang dilakukan kepada Joko Widodo dan trahnya bukan tidak mungkin dimaknai sebuah kekeliruan oleh masyarakat dan kemudian berbalik menjadi dukungan kepada pasangan Prabowo-Gibran. Bukankah juga ada analisis yang mengatakan bahwa kemenangan Megawati dan PDI-P pada masa lalu disebabkan oleh tindasan yang dilakukan Orde Baru. Dewa dan raja itu pantang disalahkan, apalagi ditekan karena memang kodratnya sudah demikian.
Dengan demikian, pernyataan dari Prabowo yang menyatakan akan merangkul lawan-lawan politiknya saat menjadi presiden nanti merupakan tindakan yang tepat. Inilah cara untuk mengampuni lawan dan mengubahnya menjadi saudara dalam konsepsi dewaraja itu. Sesuai pula dengan landasan filosofis Tat Twam Asi yang artinya ”saya adalah Anda juga”, sebuah filosofi yang mempunyai tujuan menjaga stabilitas sosial dan mencegah konflik.
Pelajaran selanjutnya ke masa depan adalah bahwa masyarakat Indonesia mempunyai cara tersendiri untuk memilih pemimpin. Demokrasi tidak usah terlalu kebablasan. Ia adalah pinjaman dari negara-negara Barat.
GPB Suka Arjawa, Guru Besar Sosiologi Agama FISIP Universitas Udayana