Mengadili Hasil Pilpres 2024
Repetisi beragam pelanggaran yang terjadi mengindikasikan masih adanya keberanian untuk mengingkari ”noblesse oblige”.
Ilustrasi
Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 potensial disengketakan ke Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana preseden sebelumnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pokok alasannya terprediksi juga sama, yakni terjadi pelbagai pelanggaran sejak pra, saat, dan pascapemungutan suara. Teraktual, sistem informasi rekapitulasi (Sirekap) Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menjadi polemik, sehingga berpotensi diperkarakan.
”Mahkamah Kalkulator”
MK pada mulanya didesain sebagai ”Mahkamah Kalkulator” guna memastikan secara kuantitatif kebenaran dan keautentikan hasil perolehan suara di pemilu, an sich.
Namun, akibat proses tercederai, alhasil, selaras dengan wewenangnya, MK menjadi ”Mahkamah Kualitatif” guna menjamin tegaknya konstitusionalitas asas pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana tertera di Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.
Sejak Pilpres 2004 hingga yang keempat kalinya pada 2019, MK selalu menjadi ”tempat pembuangan akhir” untuk memungkasi bermacam problem normatif-prosedural hingga substantif yang sebelumnya tak final, tak pernah, bahkan sudah ditindaklanjuti di berbagai jenjang lembaga pengawas dan sentra penegakan hukum terpadu sebagai penjawat kuasanya.
Berkaca dari preseden a quo yang kesemuanya berujung ditolak, isunya ada yang mirip dengan pelbagai indikasi yang muncul di Pilpres 2024 ini.
Kilas balik
Mengilas balik isi permohonan sengketa pilpres, didapati pokok isu sebagai berikut.
Pada 2004, pasangan calon (paslon) Wiranto dan Salahuddin Wahid menyoal: (1) kesalahan penghitungan suara; (2) politik uang; dan (3) intimidasi kepada calon pemilih.
Pada 2009, paslon Jusuf Kalla-Wiranto dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto menyoal: (1) akurasi Daftar Pemilih Tetap/DPT; (2) pelibatan pihak asing dalam tabulasi suara nasional; (3) penggelembungan dan pengurangan suara.
Pada 2014, paslon Prabowo Subianto dan M Hatta Rajasa menyoal: (1) pengubahan hasil rekapitulasi suara; (2) pengabaian Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu sebagai sumber penyusunan Daftar Pemilih Sementara dan DPT; (3) penambahan jumlah DPT dan modifikasi daftar pemilih.
Selain itu; (4) mobilisasi pemilih melalui Daftar Pemilih Tambahan dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan; (5) politik uang; (6) pengabaian rekomendasi Bawaslu dan Panwaslu; (7) pencoblosan oleh anggota KPPS secara massal; (8) pencoblosan lebih dari satu kali oleh orang yang sama; (9) tekanan oleh pejabat daerah; dan (10) pembukaan ilegal kotak suara pasca-pencoblosan.
Pada 2019, paslon Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno menyoal: (1) penyalahgunaan anggaran belanja negara, program kerja pemerintah, birokrasi, dan BUMN; (2) ketidaknetralan aparatur negara, kepolisian, dan intelijen; (3) pembatasan kebebasan media massa; (4) diskriminasi dan penyalahgunaan penegakan hukum; (5) cacat formil syarat calon wakil presiden;
Selain itu; (6) cacat materiil penggunaan dana kampanye; (7) ketidakwajaran data DPT; (8) kekacauan sistem informasi penghitungan suara KPU; (9) penghilangan Formulir C7; (10) pembukaan secara ilegal dan rusaknya kotak suara; (11) manipulasi dan kesalahan input data perolehan suara; (12) pencoblosan surat suara secara ilegal oleh petugas KPPS; (13) pencoblosan surat suara saat pra dan pascapemungutan.
Berikutnya; (14) persekusi dan kriminalisasi saksi; (15) penggantian Formulir C1; (16) calon pemilih tak bisa mencoblos; (17) hilangnya surat suara dari dalam kotak suara; (18) pengabaian rekomendasi Bawaslu; (19) adanya TPS baru atau siluman; (20) manipulasi Daftar Pemilih Khusus; (21) kejanggalan jumlah pemilih pilpres dan pemilu legislatif; dan (22) pengaturan suara tidak sah.
Ilustrasi/Supriyanto
Berkaca dari preseden a quo yang kesemuanya berujung ditolak, isunya ada yang mirip dengan pelbagai indikasi yang muncul di Pilpres 2024 ini.
Hal lain ialah tentang pelanggaran etik berat di MK dan KPU akibat proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka, yang kemungkinan bisa disoal lagi.
Kecuali ada dalil baru, para pihak yang akan beperkara, terlebih MK sendiri, sebenarnya sudah punya template (format) legal reasoning permohonan atau gugatan, respons atau bantahan, dan pertimbangan hukum untuk digunakan sesuai dengan konteks aktual.
Repetisi pelanggaran
Para subyek politik galibnya sudah piawai menghitung potensi dan risikonya. Sayangnya, alih-alih jera, repetisi beragam pelanggaran yang terjadi mengindikasikan masih adanya keberanian untuk mengingkari noblesse oblige, bahwa setiap insan akan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan tetap menghormati suara rakyat yang memilih secara bebas dan rahasia—baik karena taklid, preferensi, intuisi, hati nurani, akal sehat, atau alasan sahih lainnya—tak dimungkiri bahwa cawe-cawe gurita kekuasaan menjadi tangan tak kentara (invisible hands) yang kerap tak tersentuh, sekaligus kasat mata tapi tak terjamah. Oleh karenanya, upaya pembuktian tetap menjadi tantangan utama untuk menguak signifikansi pengaruhnya.
Tujuannya, supaya pada suatu momentum tertentu, dengan adanya keberanian memberi efek jera, pragmatisme politik nir-adab yang acap kali didalilkan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif, tak akan terus dibiarkan jadi tabiat cela yang seolah dipermaklumkan.
Secara zero sum game, menang-kalah di suatu sengketa itu lumrah. Namun, MK juga berkewajiban menjaga marwah dan menegakkan Konstitusi. Sehingga, terkandung harapan, dengan mengacuhkan prinsip ”menang tanpo ngasorake”, semua pihak nantinya tetap dapat menegakkan kepala dan legawa setamatnya persidangan, sebab telah dijamin oleh tegaknya konstitusionalitas asas jujur dan adil. Semoga.
Wiwik Budi Wasito,Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi 2009-2016. Pemerhati Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim Malang