Kebudayaan Indonesia 2029
Gambaran lima tahun lagi masih tampak budaya liberal pragmatis di satu sisi, fasisme atas nama kebangsaan di sisi lain.
Komedian Alfiansyah Bustami atau dikenal dengan Komeng meraup suara terbanyak di pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah Jawa Barat.
Perolehan suaranya melesat jauh di atas calon anggota legislatif lain, dua kali lipat ketimbang sesama artis. Dalam hitungan sementara KPU (17/2/2024), ia meraup sekitar 1,5 juta suara atau 12 persen lebih suara. Ini mengagetkan banyak pihak karena tak ada proses kampanye atau ”pemberitahuan” lain kepada publik sehingga tahu-tahu memenangi perolehan suara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pada hari yang sama, hasil hitung cepat Litbang Kompas merilis pasangan Prabowo-Gibran mendulang 58,48 persen suara di pilpres; Anies-Muhaimin 25,21 persen, dan Ganjar-Mahfud 16,31 persen. Prabowo, selain dikenal sebagai sosok yang tegas, tak jarang mempertontonkan tarian yang disebut dengan gemoy.
Fenomena gemoy di eksekutif dan aksi Komeng di legislatif memberikan gambaran tentang ekspresi masyarakat mutakhir. Bagaimana implikasi dalam pengembangan kebudayaan hingga 2029?
Keutamaan dalam kognisi publik
Pertanyaan itu secara ringkas dapat dijawab berikut ini. Setelah pergantian pemerintahan, tergambar tiga sketsa mencolok untuk lima tahun ke depan, yakni perubahan logika publik, revisi UU Kebudayaan dengan orientasi pengawasan, dan pengubahan kurikulum dengan orientasi sentralistis.
Fakta yang terjadi sekarang, kebijakan pendidikan diarahkan ke liberalisme pragmatis.
Idealnya, dalam pemilihan langsung, pemaparan visi dan misi kaum legislatif dan eksekutif merupakan daya tarik utama bagi kognisi publik untuk pembangunan bangsa secara berkesinambungan.
Fakta yang terjadi, itu ditanggapi melalui logika publik dengan tiga ciri. Pertama, dominasi logika fanatisme. Buktinya, hasil pemilihan menyisakan kasus sosial tak lazim. Ada caleg yang meminta uangnya dikembalikan karena suara yang terkumpul tak sesuai target. Ada pula yang membongkar makam warga karena tak mengikuti saran pemilihan caleg. Belum lagi tindak pengusiran dari rumah dan tanah karena berbeda pilihan.
Fakta-fakta itu menunjukkan, pemilihan calon anggota legislatif ataupun eksekutif bukan sekadar pilihan rasional untuk mewujudkan cita-cita bersama. Kognisi publik diracuni keyakinan palsu dan menyakralkan gambar, nama, dan angka yang telah disusun secara administratif oleh KPU.
Kedua, logika hiburan sensual. Suka atau tidak, pilihan masyarakat dijatuhkan atas pertimbangan sensasi visual yang bisa menghibur. Sensasi kecantikan, kelucuan, popularitas, dan parodi menjadi pertimbangan penting dalam pencoblosan. Sebagai contoh, di surat suara, KPU mencetak foto Komeng yang tidak normal, mata mendelik ke atas dan mulut menganga, seperti sebuah permainan cilukba.
Fakta ini memberikan petunjuk, masyarakat butuh hiburan, bahkan di dalam surat resmi yang mengatasnamakan demokrasi Indonesia.
Atas dasar logika itu, pilpres adalah kata lain dari sebuah hiburan yang tak kalah seru daripada laga sepak bola. Semua tahapan yang diselenggarakan KPU menjadi bagian tontonan yang disiarkan secara langsung oleh televisi.
Setiap gestur, ucapan, dan detail perilaku jadi pertunjukan yang tak habis-habis mengundang gelak tawa, parodi, dan satire. Seperti di sepak bola, di pilpres pun ada sosok yang dijagokan, dibuat taruhan, bahkan membuat kelompok fans. Istilah buzzer telah ketinggalan zaman karena telah berganti dengan proyek visual yang sensual dan menghibur.
Ketiga, logika ironi absurditas. Ada nilai penting di balik kekonyolan. Ketika Komeng sebagai pelawak dianggap sebagai sebuah hiburan atau kebetulan, dia sesungguhnya menyimpan visi yang serius.
Dari hasil wawancara, Komeng mendambakan sebuah hari komedi yang diperingati pada hari lahirnya Bing Slamet, 27 September. Konon, meski rekan sesama pelawak sudah jadi anggota Dewan, usulan itu tak kunjung terwujud. Karena itu, kedatangannya ke Senayan akan mengusung gagasan hari pelawak.
Logika ini sangat lazim dalam narasi fiksional. Dalam cerita fiksi, sosok Joker adalah seorang penjahat, tetapi mencerminkan jiwa masyarakat kota Gotham yang butuh sebuah hiburan untuk melepaskan diri dari ketakutan. Joker dikisahkan begitu menyayangi ibunya, bekerja sebagai badut, tetapi tuntutan masyarakat membuat dia mempertontonkan sadisme di depan khalayak.
Gambaran lima tahun lagi masih tampak budaya liberal pragmatis di satu sisi dan fasisme atas nama kebangsaan di sisi lain.
Revisi UU dan ganti kurikulum
Logika absurd dalam pengembangan kebudayaan ini jadi dominan lima tahun lagi. Jika Prabowo dilantik jadi Presiden RI 2024-2029, visi kebudayaan 2029 tergambar dari debat terakhir tentang kebudayaan, 4 Februari 2024.
Prabowo menekankan dominasi kekuatan pemerintah dalam mengarahkan kebudayaan yang berkembang saat ini. Pelbagai kesenian daerah dilestarikan sebagai bukti peran serta pemerintah dalam kebudayaan. Sebagai gambaran masa kini, infrastruktur kebudayaan diwujudkan melalui Kurikulum Merdeka. Pembelajaran ini mengembangkan kebudayaan liberal berasaskan produktivitas dan kreativitas.
Gambaran lima tahun lagi masih tampak budaya liberal pragmatis di satu sisi dan fasisme atas nama kebangsaan di sisi lain. Ini akan tergambar jelas dalam institusi-institusi kebudayaan, seperti organisasi kesenian, organisasi sosial, hingga kebijakan pendidikan.
Fakta yang terjadi sekarang, kebijakan pendidikan diarahkan ke liberalisme pragmatis. Untuk mencegahnya, kurikulum dalam pembelajaran di tingkat satuan pendidikan akan mengalami revisi dengan orientasi terpusat atas nama nilai-nilai Pancasila.
Baca juga: Kebudayaan yang Menguatkan
Atas dasar logika itu, UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan pun akan diubah untuk memperjelas klausul pembinaan kebudayaan di antara empat fungsi lainnya, yakni pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Hal itu dilakukan atas nama meningkatkan ketahanan budaya.
Dalam perkembangannya nanti, kebudayaan Indonesia 2029 adalah pisau bermata dua. Di satu sisi kecemasan hadirnya distopia otoritarianisme dan di sisi lain harapan mengembalikan jati diri bangsa yang tenggelam di bawah kekuatan paham asing.
Saifur Rohman, Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta