Kalau kemudian mereka tidak lagi kembali dan tinggal sampai akhir hayatnya, selain kondisi kesehatan juga ketakutan.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Waktu itu Oktober 2015. Terhitung 17 tahun sejak masa Reformasi. Tom Iljas (77), sosok yang terbuang dari negerinya dan bertahun-tahun terlunta-lunta di negeri asing sebelum kemudian menetap dan menjadi warga negara Swedia, kembali ke kampung halamannya, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Ia hendak menziarahi makam ayahnya yang tewas dalam peristiwa politik di Tanah Air tahun 1965.
Apa hendak dikata, tempat yang akan diziarahinya diduduki sejumlah orang. Ia diusir, dikejar-kejar, mobilnya dihadang di tengah jalan, diinterogasi di kantor polisi sebelum kemudian dideportasi. Begitulah kisah Tom yang sebagian terungkap dalam filmEksil, diproduksi dan disutradarai oleh Lola Amaria.
Biasa mencatat apa saja yang saya lihat dan dengar, saya tulis seusai nonton film yang selama beberapa waktu lalu tayang di bioskop itu begini: Kini semua telah berubah. Tanah airku tidak lagi seperti dulu. Aku bahkan diusir ketika hendak menziarahi makam ayah dan melunaskan rindu pada kampung halaman yang kucintai. Semestinya aku tak kembali, dan cukup menjadikan kampung halaman di Sumbar sebagai kampung halaman dalam mimpi.
Kerinduan dan kecintaan serupa mendorong Asahan Aidit, yang karena masalah serupa kemudian menetap di Belanda. Ia kembali untuk menengok kampung halamannya di Tanjung Pandan, Belitung. Asahan, sastrawan, sarjana filologi lulusan Moskwa, adalah adik tokoh besar PKI, DN Aidit.
Bagi yang pernah menginjak Belitung, tak terlukiskan indah pantai-pantainya. Mungkin ada pula yang pernah menikmati lewat film yang diangkat dari novel pop terkenal, Laskar Pelangi.
Cuma sesaat Asahan dan istri menikmati dan menghirup udara pantai. Ia diintimidasi tentara dan oleh sanak saudara didesak supaya segera angkat kaki.
Bagian sejarah mana lagikah yang tak boleh diungkit dan diingat di negeri ini?
Banyak.
Sejarah adalah proses seleksi memori oleh penguasa, mana boleh dan tidak boleh diingat. Dengan menempatkan memori sebagai hal paling sentral, suatu negara menentukan diri hendak jadi bangsa macam apa dan mau ke mana.
Beberapa bangsa di dunia melakukan penggalian masa lalu, reinventing the past, guna menentukan aktualisasi diri pada masa kini. Termasuk dalam reinventing the past adalah nilai-nilai hidup yang pernah menjadi kesadaran kolektif yang memperkuat kohesi sosial dan elan vital bangsa.
Tiongkok, misalnya, sejak kebangkitan dinasti pada sekitar abad pertama Masehi, dalam setiap pergantian dinasti yang selalu disertai peristiwa berdarah, pada kesudahannya senantiasa menggali kembali nilai-nilai yang pernah mereka miliki. Kelihatan bagaimana konfusianisme dan taoisme selalu diinterogasi kembali untuk memperkuat intelektualitas dan moralitas rakyat—dari dulu sampai kini.
Kita tahu, di sini sebaliknya kelewat banyak yang tabu untuk diingat, antara lain komunisme dan peristiwa 1965.
Kuburan kami terdampar di mana-mana/kuburan kami ada yang berbatu nisan/ada yang tanpa batu pengenal/ada pula yang hilang lenyap ditelan hujan/semua ini wajah negeri Indonesia
Demikian sajak Chalik Hamid, eksil di Belanda, membuka film Eksil.
Para eksil—sebagian yang pernah tinggal di Inggris dan Belanda saya mengenal secara pribadi—adalah para mahasiswa pada zaman Bung Karno yang dikirim ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Begitu meletus peristiwa G30S, mereka dicabut paspornya, hidup dalam labirin panjang tanpa kewarganegaraan yang dikira bakal merupakan pengalaman sesaat, tapi ternyata belum tentu tamat sampai kiamat.
Terusirnya kalangan intelektual ini adalah pucuk gunung es, bahwa sejak itu negeri ini dikuasai oleh rezim anti-intelektualitas. Makin ke sini intelektualitas makin diolok-olok. Seakan bangsa cuma butuh topeng monyet, susu, tidak perlu sejarah dan masa lalu.
Seusai nonton Eksil saya menghubungi Lola Amaria. Padanya saya tanyakan, kenapa berbeda dari eksil dari negara-negara lain yang banyak di antaranya memilih melupakan negeri asalnya, mereka ini tetap menyimpan mimpi kembali ke negeri sendiri.
”Rasa cinta pada negerinya, Mas. Kalau kemudian mereka tidak lagi kembali dan tinggal sampai akhir hayatnya, selain kondisi kesehatan juga ketakutan. Itu yang terjadi. Bahkan rasa ketakutan itu diwariskan ke generasi kami yang tidak mengalami,” kata Lola.
Sedih mendengar penuturan Lola. Sayang pula, ketika film tayang di bioskop, sebagian tokoh yang menjadi pelaku mendahului berpulang ke pangkuan-Nya.
Kepada mereka, selain doa saya bisikkan: riwayat kalian telah diungkapkan dengan baik oleh seorang putri zaman, her name is Lola.***