Sesat Pikir tentang Demokrasi Indonesia
Demokrasi yang sehat bukan demokrasi yang digantungkan nasibnya kepada elite, melainkan demokrasi yang terus diupayakan.
Ilustrasi
Artikel Ulil Abshar-Abdalla berjudul ”Memahami Kemenangan Prabowo” (Kompas, 15/2/2023) penting disimak. Opini itu adalah deskripsi yang baik atas faktor-faktor yang mungkin memenangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilu Presiden 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tentu memahami beragam faktor tersebut menjadi penting di tengah debat publik yang saat ini berlangsung tentang kondisi-kondisi ganjil, baik dalam masa pra-elektoral atau sebelum pemilu, juga saat pemilu berlangsung. Kecemasan meruap karena terlalu banyak kekecewaan dan soal dalam pemilu kita.
Namun, tulisan cendekiawan Ulil tersebut menawarkan pembacaan yang bias tanpa investigasi intelektual yang mumpuni dengan mengajukan tiga argumen simplistis. Pertama, bahwa perkara kemunduran demokrasi seolah-olah hanya isu elitis.
Baca juga: Memahami Kemenangan Prabowo
Kedua, bahwa kemenangan Prabowo membuktikan kehendak khalayak luas yang lebih menginginkan narasi keberlanjutan ala Jokowi ketimbang narasi perubahan atau narasi gugatan atas kecurangan pemilu. Dan ketiga, bahwa resiliensi demokrasi Indonesia cukup terpuji dan kematian demokrasi adalah sebuah kemustahilan.
Tiga argumen tersebut bermasalah dan harus dibantah karena distorsi yang berlebih.
Demokrasi yang diperjuangkan
Kecemasan bahwa soal kemunduran demokrasi adalah soal yang sama sekali terputus dari kehendak rakyat sesungguhnya bukan argumentasi baru. Sebutlah artikel Jefferson Ng (2023) atau yang membaca realitas kontradiktif antara murungnya indeks demokrasi Indonesia dan terus menaiknya tingkat kepuasan masyarakat atas performa pemerintah.
Musabab keanehan itu salah satunya ada pada pemberian definisi ”demokrasi” yang hanya bersifat teknis-instrumental seperti terselenggaranya pemilu secara rutin. Sementara itu, penjabaran lebih mendalam tentang keterancaman kelompok kritis, kooptasi atas lembaga-lembaga negara untuk kepentingan elite, koalisi beracun para elite yang melahirkan produk-produk peraturan bermasalah dan seterusnya, tidak pernah diuji. Ujung dari ini semua membawa soal lanjutan yang berdampak kepada masyarakat secara umum tanpa terkecuali.
Persoalan lainnya, insinuasi Ulil bahwa kemunduran demokrasi adalah isu elitis untuk kelompok terdidik terbantah dengan sendirinya ketika kita melihat bergelombang-gelombang aksi dan keresahan sosial yang datang dari mana saja.
Keberatan kedua ada kepada keyakinan Ulil dalam kemenangan Prabowo adalah pertanda kuat bahwa rakyat menginginkan keberlanjutan agenda pembangunan ala Jokowi.
Kita bisa mulai dari celetukan luas di media sosial tentang kecemasan khalayak atas kebebasan berpendapat yang lalu memopulerkan sinisme atas negeri ”Wakanda” dan ”Konoha” sebagai substitusi Indonesia demi menghindari delik yang diancam oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Belum lagi kegelisahan yang dibagi di warung-warung kopi yang menyayangkan betapa lemahnya lembaga negara kita dalam menghadapi politik dinasti.
Contoh-contoh sejenis dapat diperpanjang, tetapi poin bahwa isu ini tidak menarik bagi masyarakat luas bukan saja kesimpulan yang sembrono dan prematur, melainkan juga tidak sensitif.
Keberatan kedua ada kepada keyakinan Ulil dalam kemenangan Prabowo adalah pertanda kuat bahwa rakyat menginginkan keberlanjutan agenda pembangunan ala Jokowi. Kesimpulan ini tampak begitu awam lantaran tidak didasari oleh justifikasi rasional yang baik: dengan bukti semacam apa kita memercayai hubungan dari dua fenomena itu?
Keberlanjutan apakah yang dimaksud? Apakah hendak dikatakan di sana bahwa kandidat yang kalah, entah Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo, tidak memiliki irisan motif untuk melanjutkan, sementara dalam banyak pernyataan mereka justru sering menyatakan sikap akan melanjutkan beberapa program pemerintah yang baik?
Sekali lagi tampak di sini sebuah ketergesa-gesaan yang justru tidak melibatkan penalaran multiperspektif—sebuah ironi karena Ulil menasihati pembaca agar lebih menggunakan banyak sudut pandang.
Keberatan terakhir tentang konfidensi demokrasi di Indonesia juga mengandung soal. Memang dibandingkan dengan banyak negara yang mengalami kegagalan demokrasi dan kejatuhan menuju otoritarianisme, Indonesia tampak bernasib lebih baik.
Namun, fakta bahwa demokrasi kita ”masih ada” dan kuat hingga hari ini bukanlah sebuah fakta yang berhenti, tetap, dan mustahil berubah. Amatan semacam ini adalah amatan pasif yang menunggu, sementara kehidupan dan takdir demokrasi harus selalu diperjuangkan, bukan ditunggui secara pasif dan memercayai belaka bahwa resiliensi demokrasi saat ini akan berlangsung terus, langgeng, dan selamanya.
Lebih jauh, demokrasi kita masih berharga karena di permukaan kita tampak berhasil dalam menyelenggarakan transisi kekuasaan, mempertahankan pers, atau memberi tempat pada oposisi. Namun, lebih dalam kita dapat segera melihat kualitas transisi kekuasaan kita sangat bermasalah dan krisis legitimasi, terutama karena terjadinya penyelewengan lembaga negara sebagaimana diakui sendiri dalam tulisan Ulil.
Baca juga: Ketidakniscayaan Demokrasi Indonesia
Pengamatan atas jurnalisme yang bebas juga harus segera dikoreksi karena data menunjukkan begitu banyak jurnalis yang diintimidasi karena kritisisme mereka (per 15 Februari 2024, berita-berita melaporkan bahwa tiga ”aktor” dalam film Dirty Vote dilaporkan ke polisi, serta mengalami persekusi).
Kekuatan oposisi, meski masih ada, sangat lemah. Realitas ini harus diakui karena kooptasi masif dan koalisi besar yang menyerap mayoritas kekuatan politik ke dalam satu aliansi raksasa pro-pemerintah telah menyisakan hanya segelintir kekuatan oposisi di parlemen kita.
Keberatan-keberatan ini adalah juga bagian dari keresahan atas dikucilkannya suara intelektual sebagai minor, tak relevan, dan juga dianggap sebagai suara elitis yang tak ada hubungannya dengan kepentingan dan keresahan publik luas. Sebab, demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang digantungkan nasibnya kepada elite belaka, melainkan demokrasi yang terus diikhtiarkan. Hanya dengan kerangka berpikir macam ini, kita dapat menghindarkan diri dari sesat pikir atas realitas politik hari-hari ini yang mengecewakan banyak pihak.
Rendy Pahrun Wadipalapa, Peneliti Politik; PhD dari School of Politics and International Studies, University of Leeds