Mimpi Lahirnya Kementerian Kebudayaan
Patut dipertimbangkan ada kementerian khusus bidang kebudayaan. Ini sebenarnya sudah jadi agenda Strategi Kebudayaan.
Pada awal reformasi terjadi dualisme dalam pengurusan bidang kebudayaan. Di susunan Kabinet 1998 selain dibentuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga dibentuk Kementerian Pariwisata, Seni, dan Budaya. Bidang kebudayaan diurus dua kementerian sehingga di lapangan terjadi tumpang tindih saling berebut kegiatan.
Untuk mengatasi masalah itu, pada 2.000 bidang kebudayaan yang sejak awal kemerdekaan bersatu dengan bidang pendidikan dipindahkan untuk digabungkan dengan bidang pariwisata, menjadi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan pemindahan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berubah menjadi Kementerian Pendidikan Nasional.
Setelah Pemilu 2009, masalah posisi kebudayaan dalam kabinet sempat mencuat. Ada tiga pandangan mengenai posisi kebudayaan dalam kabinet. Pertama, hubungan antara bidang kebudayaan dan pariwisata bersifat saling melengkapi sehingga sebaiknya dipertahankan. Kedua, urusan kebudayaan perlu dimasukkan kembali dalam ranah Departemen Pendidikan Nasional. Ketiga, kebudayaan dipisahkan dari pariwisata untuk menjadi kementerian berdiri sendiri.
Baca juga: Sungguh Hidup jika RI Punya Menteri Kebudayaan
Setelah penggabungan keduanya berjalan selama 11 tahun, pada 2011 bidang kebudayaan dikembalikan lagi untuk bersatu dengan bidang pendidikan. Nomenklatur Kementerian Pendidikan Nasional berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penyatuan kembali dua bidang itu menunjukkan bahwa eksperimen menggabungkan kebudayaan dengan bidang pariwisata dinilai tidak berhasil.
Suatu keputusan yang kemudian mengundang pertanyaan, bagaimana seharusnya posisi kebudayaan dalam kabinet? Sebuah pertanyaan yang mendasar bagi sebuah negara yang lahir dari kesepakatan (consensus) dari berbagai macam suku bangsa. Dalam hal ini, kebudayaan memiliki peran dalam ikut menata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Impian lama
Perbincangan masalah posisi bidang kebudayaan dalam kabinet dengan nomenklatur ”Kementerian Kebudayaan” sebenarnya bukan baru muncul pada 2009. Jauh sebelum itu sudah muncul pemikiran untuk memosisikan bidang ini dalam suatu kementerian yang berdiri sendiri.
Empat setengah bulan setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada 31 Desember 1945, sejumlah budayawan, seniman, dan tokoh masyarakat, dipimpin oleh Dr Bahder Djohan, menyelenggarakan Musyawarah Kebudayaan di Sukabumi. Hasil dari musyawarah itu merekomendasikan kepada pemerintah agar dibentuk Kementerian Kebudayaan tersendiri.
Berikutnya, di Kongres Kebudayaan 1948 di Magelang usul itu diangkat kembali. Karena usul itu tak kunjung disetujui, pada kongres berikutnya, yakni 1951, 1954, 1957, 1991, 2003, 2008, 2013, 2018, dan terakhir 2023 usul itu terus dikumandangkan.
Keinginan itu juga tidak hanya didukung oleh peserta Kongres Kebudayaan saja. Dukungan atas terwujudnya impian itu juga datang dari Konferensi Kebudayaan 1950; Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia 1964; Kongres Kesenian 1995 dan 2005, Kongres Dewan Kesenian 2004; Kongres Penghayat Kepercayaan, Adat, dan Nilai Budaya tahun 2012; serta berbagai diskusi dan seminar kebudayaan.
Bidang kebudayaan yang aslinya menjadi ’kepala’ berubah kembali menjadi ’ekor’ tanpa ada penjelasan resmi. Apa ada yang salah dengan kebudayaan?
Mengapa impian lama itu tak kunjung terwujud memang menjadi pertanyaan para budayawan dan seniman. Dibatasinya jumlah kementerian menjadi tembok penghalang yang seperti tidak dapat ditembus. Alasan terbatasnya anggaran pemerintah juga menjadi kurang tepat. Dalam kenyataan, bidang kebudayaan saat ini diurus oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan yang didukung dengan dana pemerintah meskipun jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan anggaran pendidikan.
Kecilnya anggaran itu dapat dipahami karena bidang pendidikan memerlukan anggaran besar. Kecilnya jumlah alokasi anggaran bidang kebudayaan pernah digambarkan oleh almarhum Fuad Hassan (mantan Mendikbud 1985-1993) bahwa ”hutan permasalahan pendidikan sangat lebat” sehingga anggaran kebudayaan seperti ”secuil roti” yang dijilat pun tidak terasa.
Menjadi pertanyaan pula ketika dalam susunan Kabinet 2014-2019 yang diumumkan pada 26 Oktober 2014 telah disebut nama ”Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah”. Mengapa dalam pelantikan para menteri tanggal 27 Oktober 2014 nama kementerian berubah menjadi ”Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?” Bidang kebudayaan yang aslinya menjadi ”kepala” berubah kembali menjadi ”ekor” tanpa ada penjelasan resmi. Apa ada yang salah dengan kebudayaan?
Inovasi bidang kebudayaan
Dalam 10 tahun terakhir ini bermunculan pandangan, kreasi, inovasi, inisiatif baru di bidang kebudayaan. Pada 2014, setelah acara pelantikan presiden di Gedung MPR/DPR, dilanjutkan dengan arak-arakan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menggunakan kereta kencana dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Merdeka.
Tidak hanya masyarakat Indonesia yang merasa tersentak kagum, tetapi juga datang dari berbagai negara. Budaya telah tampil sebagai ”magnet” yang mampu mengundang kebanggaan, mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Berikutnya, dalam sambutan pada pembukaan Konferensi Forum Rektor Indonesia di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, pada 2 Februari 2017, Presiden Joko Widodo menyampaikan hasil perenungan tentang kebudayaan di Indonesia. Presiden menyatakan bahwa ”DNA” Indonesia itu adalah seni dan budaya.
Baca juga: Kebudayaan Belum Jadi Panglima
Pernyataan itu juga menyentak kesadaran kita bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya adalah bangsa yang memiliki budaya yang tidak kalah dengan negara lain. Namun, banyak orang menilai perhatian pemerintah terhadap bidang ini masih kurang apabila dibandingkan dengan bidang lain.
Pada tahun yang sama, akhirnya DPR menyetujui lahirnya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang digagas sejak 1957 dalam Kongres Kebudayaan di Bali. Pada 27 April 2017, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan pemerintah sebagai acuan legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Menjadi tugas yang berat bagi pemerintah dalam mengasuh lebih dari 700 suku bangsa dan bahasa beserta adat istiadatnya yang membentuk masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan perspektif yang adil dan tidak mengotak-ngotakkan dalam melihat budaya masyarakat kita. Setiap unsur kebudayaan perlu dipertimbangkan untuk dilindungi, dikelola, dan diperkuat. Beban pemerintah ke depan adalah menuntaskan semua yang diamanatkan oleh UU tersebut.
Pada tahun berikutnya, yakni pada 11 Februari 2018, di hadapan 30-an budayawan, seniman, dan tokoh lainnya di kompleks Istana Merdeka, Presiden Jokowi berjanji akan menganggarkan dana abadi kebudayaan mulai tahun depan sebesar Rp 5 triliun.
Banyak orang menilai perhatian pemerintah terhadap bidang ini masih kurang apabila dibandingkan dengan bidang lain.
Budayawan Goenawan Mohamad yang ikut hadir pada pertemuan tersebut memberikan komentar bahwa dalam sejarah Indonesia, kebijakan ini adalah yang pertama kali, dan dengan demikian Presiden telah membuat sejarah. Kebijakan baru yang sangat membantu kemajuan kebudayaan ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah dalam hal menentukan arah dan pengelolaannya.
Masih di tahun yang sama, bidang kebudayaan menyerahkan dokumen rumusan Strategi Kebudayaan Nasional kepada Presiden Joko Widodo. Strategi Kebudayaan Nasional disusun dengan memerhatikan Trisakti, yakni asas berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Dokumen ini menjadi dasar dan pedoman dalam memajukan kebudayaan nasional. Menjadi tugas Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk menyatukan gerak memajukan kebudayaan bersama dengan pemerintah daerah, lembaga kebudayaan nonpemerintah, dan para atase kebudayaan di luar negeri.
Dalam hal pengembalian benda cagar budaya dari Belanda yang dirintis sejak 1949 dalam Konferensi Meja Budaya, mencapai puncaknya pada 10 tahun terakhir ini. Tidak kurang dari 1.500 benda budaya Indonesia kembali ke Tanah Air sebagai realisasi program repatriasi yang difokuskan kepada benda-benda sejarah Indonesia yang menjadi koleksi museum yang diperoleh dengan cara ilegal berdasarkan penelusuran sejarahnya. Program ini akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya.
Terakhir, pada 2022 UNESCO menyelenggarakan Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan atau ”MONDIACULT” di Mexico pada 28-30 September 2022. Konferensi berkesimpulan bahwa kebudayaan adalah unsur penting dalam pendekatan baru menghadapi berbagai ketidakpastian yang berkembang di dunia sekarang. Kesimpulan ini juga menjadi acuan Indonesia dalam memajukan kebudayaan.
Dalam hal ini kebudayaan berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan karena bisa meningkatkan daya lenting masyarakat, memperkuat inklusi dan kohesi sosial, turut melindungi lingkungan hidup, dan memperkuat pembangunan yang berpusat pada manusia dan berakar pada konteks yang spesifik. Kebudayaan menjadi salah satu pilar pembangunan selain kemakmuran ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Selain beberapa catatan inovasi di atas, masih banyak pandangan, inovasi, kreasi, dan inisiatif baru yang bermunculan yang tidak masuk dalam catatan ini. Dari sekilas gambaran tentang lahirnya inovasi, kreasi dan pandangan baru selama 10 tahun terakhir tersebut membuat tugas lembaga pemerintah maupun nonpemerintah ke depan menjadi semakin berat. Ini berarti ke depan pemerintah harus berani mengambil langkah dan kebijakan yang dapat mendukung realisasi dari berbagai hal baru tersebut.
Baca juga: Hilirisasi Budaya, Gelombang Nusa
Posisi bidang kebudayaan ke depan
Apabila bertolak dari gambaran sekilas perjalanan sejarah bidang kebudayaan dalam kabinet dan beberapa catatan perjalanan selama sepuluh tahun terakhir, bidang kebudayaan memang patut dipertimbangkan untuk tampil dalam kementerian tersendiri dalam kabinet yang akan datang. Impian lama yang belum pernah terwujud ini sebenarnya sudah menjadi salah satu agenda Strategi Kebudayaan.
Di dalam agenda ke-6 dari 7 agenda yang akan dilakukan adalah mereformasi kelembagaan untuk mendukung agenda pemajuan kebudayaan. Reformasi di tingkat bawah telah berlangsung dengan dengan lahirnya beberapa direktorat baru. Oleh karena itu, ke depan posisi bidang kebudayaan di dalam kabinet perlu ditata ulang.
Nunus Supardi, Pemerhati Budaya/Lingkar Budaya Indonesia