Apa yang ditujukan untuk masa Ranggawarsita di ”Serat Kala Tidha” tampak jelas bisa berlaku untuk hari ini: zaman gila.
Oleh
SENO GUMIRA AJIDARMA
·3 menit baca
Kebudayaan Indonesia yang belakangan semakin sering dibayang-bayangkan sebagai Nusantara tidak mungkin terbayangkan sekadar sebagai pengakuan terhadap suatu budaya dominan, apakah itu ”Jawa”, bahkan juga ”Nusantara”.
Kebudayaan adalah gelanggang tempat cara-cara berbeda dari tindak artikulasi atas dunia menjadi bertentangan dan bersekutu. Wilayah budaya ditandai oleh perjuangan untuk melakukan artikulasi, dis-artikulasi, dan re-artikulasi makna, ideologi, dan politik tertentu (Hall, 1986b: 53). Tidak peduli sedang musim kampanye atau tidak.
Budaya kritik
Dalam dunia hari ini, kebudayaan adalah suatu proses aktif, suatu praktik membuat dan mengomunikasikan makna-makna. Kebudayaan juga tidak berada di dalam obyek, tetapi di dalam pengalaman atas obyeknya: bagaimana manusia membuatnya bermakna; bagaimana manusia membuat masuk akal, serta bisa menerima diri dan dunia di sekitarnya. Di samping dalam praktiknya, melalui kebudayaan manusia berbagi dan mempertandingkan makna dirinya, satu sama lain, maupun atas dunia (Grossberg, 1992a: 52-3).
Kebudayaan ”Jawa”, dengan segenap ikon adiluhungnya, tanpa pernah dikenal karena ”terlalu sempurna” sehingga ”tidak perlu dibaca”, pada zamannya telah dipandang secara kritis oleh pujangga utamanya sendiri: tiada lain oleh Ranggawarsita (1802-1873). Jika lembar-lembar susastra-gambar seperti kode buntut, memainkan praktik berkebudayaan dengan mimpi-mimpi laten tak jelas; susastra Jawa menawarkan nubuat, sebagai kenujuman tak terlalu jelas pula, antara terbaca dan tak terbaca, yang baru ditemukan lama kemudian dalam penelitian seorang perempuan Amerika, Nancy K Florida.
Disebut nujum, tetapi syair Ranggawarsita sebetulnya adalah penggubahan atau penujuman ulang atas bentuk-bentuk syair yang merupakan kritik sosial pada masanya.
Syair yang semangatnya akan abadi ini pertama kali muncul pada awal abad ke-19 dalam Serat Centhini, bahkan dua kali, sebagai kisah bolak-balik, kejayaan dan kehancuran, sebagai gubahan tim kakeknya sendiri, Sastranegara atawa Yasadipura II (1756-1844/bersama Ranggasutrasno, Sastradipura, Pakubuwana V).
Namun, pada akhir abad ke-19, dengan sebutan sebagai pujangga pamungkas, Ranggawarsita mengulang, memperbarui, membuat aktual tema nujum itu lagi dalam tembang masyhur yang terlalu sering dikutip:
mengalami zaman gila/hati gelap kacau pikiran
mau ikut gila tak tahan/jika tidak ikut tak kebagian
akhirnya kelaparan/sebenarnyalah kehendak Tuhan
seberuntung-beruntungnya yang lupa/lebih beruntung yang sadar dan waspada
Siapa yang tidak kenal Serat Kala Tidha? Apa yang ditujukan untuk masa Ranggawarsita itu tampak jelas bisa berlaku untuk hari ini; sama belaka seperti ketika Ranggawarsita melihat masa kini zamannya dalam tembang kakeknya (Florida, 2023: 123-64).
Namun, siapakah juru bicara masa kini, untuk hari ini, yang menuliskan nubuat seperti itu? Jika dikatakan kebudayaan pascamodern adalah kebudayaan yang tidak lagi mengakui perbedaan antara kebudayaan tinggi dan populer, dapatkah kita menyetarakan nubuat Ranggawarsita dengan para penggubah ramalan kode buntut? Jika kode-kode ramalan buntut kontemporer itu dibaca, tampaknya teks ramalan tersebut tidak terlalu buta terhadap gejala sosial-politik dan kebudayaan di sekitarnya.
Perbedaannya bukan pada kualitas estetik, tetapi oposisi antara seni populer dan seni dari sekutu-kuasa (power-bloc). Politik seni populer terletak dalam oposisi terhadap yang normal dan resmi; kualitas seni populer tidak berasal dari suatu sistem estetik, melainkan suatu proses yang bekerja hanya dalam relasi politik terhadap seni yang di-mapan-kan peradaban (Fiske, 1989a: 54).
Jika kode-kode ramalan buntut kontemporer itu dibaca, tampaknya teks ramalan tersebut tidak terlalu buta terhadap gejala sosial-politik dan kebudayaan di sekitarnya.
Gangguan kebudayaan
Dalam apa yang disebut gangguan kebudayaan (culture jamming), kebudayaan lebih dijalankan daripada berteori tentang kebudayaan.
Gangguan kebudayaan itu menulis teori di jalanan. Teks-teks gangguan kebudayaan merayakan hak-hak publik, untuk memanfaatkan ruang publik dalam konteks menghalangi pesan-pesan dominan, dari perusahaan raksasa maupun rezim kekuasaan.
Dalam gangguan kebudayaan, secara terbuka dinyatakan keterlibatan publik dengan teks, menolak untuk menerima bahwa setiap kuasa wacana bagaikan peralatan komunikasi satu arah, menambahkan dimensi baru menyeluruh kepada teori budaya publik yang aktif (Hartley, 2002: 53-4). Dengan posisi seperti itu, dapat ditengok kembali kode buntut, dalam perspektif nujuman bagi situasi masa kini.
Dalam lembar togèl terlampir, terdapat tiga kalimat ramalan. Namun, pemistik atau pengecak ramalan mesti waspada terhadap kalimat-kalimat yang menyesatkan atau menyamarkan informasi. Dalam hal ini, dua kalimat pertama, ”Petani Jagung Berdagang Topi” ataupun ”Putri Raja Menari di Restoran”, meski sebagai metafora bisa dicari-cari keterhubungannya dengan realitas sosial politik hari ini, sesuai karakter togèl, tujuannya adalah mengalihkan perhatian dalam permainan mimpi, dan karena itu dapat diabaikan.
Tidaklah demikian dengan kalimat ketiga:
”Awas …. Dia Suka Adu Domba.”
Pikirkan
Pesan Kiai Semar yang satu ini sungguh sangat berguna jika kita benar-benar memikirkan, apakah kita sudi diadu domba, di sini dan sekarang!