Kata ”saling” cenderung mendekati ”baku” dalam arti berkecenderungan membentuk ungkapan yang melulu berkonotasi negatif.
Oleh
EKO ENDARMOKO
·2 menit baca
Saling fitnah, saling ledek, saling serang, saling menjatuhkan menjadi pertunjukan yang mengesan bagi rakyat kebanyakan. Pemandangan begini kita lihat tidak hanya dalam acara debat terbuka calon presiden dan calon wakil presiden di panggung nasional, tetapi juga di kalangan pendukung yang berseberangan.
Perbalahan mereka yang disebut terakhir, sampai jauh hari setelah acara debat usai, menyesaki ruang-ruang percakapan publik, terutama media sosial dan media massa. Mereka telah mempertontonkan pertunjukan saling hujat, yang sebagian besar berisikan kata-kata dan ungkapan vulgar, brutal, bengis.
Tapi juga, segera kita sadari, begitu unsur sentimen—terutama sentimen agama—dikemukakan, fanatisme pun secara tak terelakkan mengeras. Hal ini pernah kita saksikan dan alami sendiri pada kemelut Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Dan kita merasakan banyak sekali akibat jeleknya. Sampai hari ini.
Begitulah ungkapan yang merepresentasikan laku berbalasan dipakai lebih sering terutama pada sekitar masa ketika sebuah kontestasi politik di Tanah Air tengah berlangsung.
Saling. Adverbia ini menerangkan berlangsungnya sebuah perbuatan berbalasan di antara dua subyek. Kalimat A dan B saling menyenggol, artinya A menyenggol B lalu B balas menyenggol A. Kita tahu, ada beberapa cara lain untuk menyatakan hal yang kurang lebih sama, seperti senggol-menyenggol, senggol-senggolan, atau bersenggolan.
Keberlangsungan yang berulang
Bentuk bersenggolan dapat, tapi tidak mesti, searti dengan saling senggol. Ia menyatakan bukan saja perbuatan yang berbalasan atau berlangsung timbal balik, melainkan juga menyatakan keberlangsungan yang berulang-ulang (contoh lain: berpukulan) atau pelakunya lebih dari satu (seperti berlarian, berjatuhan).
Bahasa Indonesia punya kata lain yang kira-kira searti dengan saling, yaitu baku. Leksikal, benar keduanya punya arti serupa, tapi tidak dalam hal perilaku gramatikal.
’Saling’. Adverbia ini menerangkan berlangsungnya sebuah perbuatan berbalasan di antara dua subyek.
Baku lazimnya diikuti verba berbentuk kata dasar. Jarang sekali ia diikuti verba berimbuhan, seperti baku menyenggol, baku menghantam, atau baku menembak. Sebaliknya, bentuk verba yang mengikuti saling lebih luwes: saling senggol, boleh juga saling menyenggol. Tapi, tentu berlebihan bentuk saling senggol-menyenggol.
Yang tak kurang menarik, baku tampaknya cukup sering hadir sebagai bagian dari kata majemuk yang bermuatan pengertian negatif. Banyak dari kita barangkali lebih mengingat bentuk-bentuk baku hantam, baku pukul, atau baku tembak daripada baku cinta atau baku sayang.
Tulisan ini bukan hendak mengatakan bahwa pada hari-hari ini saling cenderung mendekati baku dalam arti punya kecenderungan kuat membentuk ungkapan yang melulu berkonotasi negatif. Kecenderungan itu tentu tak lain karena ia dipergunakan di bawah iklim politik yang sedang kian memanas.
Uraian di atas mengantar kesimpulan kepada kita bahwa konotasi negatif (atau positif) sebuah kata adalah tambahan atau pengaruh dari sebuah konteks tertentu. Sebab, sesungguhnyalah tiap kata itu netral, bebas nilai.
Eko Endarmoko, Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia