Kembali ke Akar Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka tidak sebatas konten, melainkan cara berpikir guru dalam memahami kata merdeka.
Ilustrasi
Belum lama ini Taylor Swift memenangi piala Grammy Awards 2024 kategori Best Pop Vocal Album. Taylor Swift bukanlah sosok asing di dunia penuh nada ini. Piala Grammy tahun ini merupakan piala ke-13 baginya.
Swift merilis album perdana di kala berusia 16 tahun. Musik country di album perdana pada 2006 diberi label menggunakan namanya. Sejak saat itu para penggemar dan kritikus musik sangat kagum dengan bakat Swift. Ia berhasil mengukir sejarah di gelaran Grammy sebagai penyanyi solo perempuan pertama yang menyabet kategori Album Terbaik tiga kali.
Swift menempatkan dirinya bersanding dengan para kaum lelaki, yaitu Stevie Wonder, Frank Sinatra, dan Paul Simon. Di kala pandemi Covid-19, saat industri musik terpuruk, Swift justru mampu menelurkan album Folklore yang dibuatnya sembari menjalani karantina.
Lepas dari ingar-bingar rangkaian nada, nun jauh di sana, ada ranah pendidikan yang ternyata juga mengagumi sosok Swift. Universitas Havard menjadi ruang pendidikan yang menjadikan sosok Taylor Alison Swift dalam silabus perkuliahan. Pada tahun ini kampus terkemuka tersebut menawarkan mata kuliah baru yang diberi nama Taylor Swift and Her World kepada para mahasiswanya.
Baca juga: Taylor Swift Tak Terhentikan
Mata kuliah yang diampu oleh dosen Stephanie Burt ini menawarkan kajian mulai dari budaya Swift sejak remaja sampai saat ini, budaya para penggemarnya, dan juga album yang dihasilkan dari album Taylor Swift sampai ”Midnights” yang baru saja menjuarai Grammy. Tidak sampai di situ, film dokumenter bertajuk Miss Americana dan Taylor Swift: The Eras Tour juga dibedah di bangku perkuliahan Havard.
Universitas Stanford turut menawarkan hal serupa. Kelas ”The Last Great American Songwriter: Storytelling With Taylor Swift Through the Eras” mulai ditawarkan kepada para mahasiswa. Mereka diajak menguliti album-album Swift, dari tema dan keselarasan dengan era saat itu, latar balakang atau motif, referensi sastra dari setiap lirik lagu, sampai menghubungkan lagu-lagu yang berbeda ke dalam alur besar kecocokan dengan karakter Swift. Tidak hanya sampai lagu-lagunya, teknik bertutur Swift dari masa ke masa juga turut dianalisis dalam kelas.
Akar kurikulum
Secara etimologi, kurikulum pendidikan berakar pada kata curricular yang memiliki makna jarak yang harus ditempuh seorang pelari. Lebih lanjut, kurikulum dirunut sebagai kata benda dari currerre yang berarti berlari cepat, pacuan, balapan kereta, berkuda, berjalan kaki, perjalanan, atau pengalaman terus menerus. Dari akar kata tersebut tampak bahwa kurikulum memiliki suatu tujuan dan dilakukan dengan banyak cara atau pengalaman.
Selama ini kurikulum pendidikan kita telah memiliki tujuan sebagai rujukannya. Berbagai tujuan sudah dirumuskan melalui undang-undang, seabrek regulasi turunan, sampai tujuan pembelajaran saat guru di kelas. Semua itu tentu menjadi hal baik guna menjadikan peserta didik semakin kompeten di berbagai bidang. Bahkan ketika ganti menteri ganti kurikulum, pun kita yakini bahwa tujuan pendidikan akan dirumuskan sebagai sesuatu yang baik adanya.
Pembelajaran digeser dari tekstual menjadi kontekstual, dari membaca tulisan teks menjadi membaca pengalaman hidup keseharian.
Permasalahan muncul manakala merumuskan cara atau pengalaman yang hendak dikenalkan kepada siswa untuk mencapai tujuan tersebut. Apakah akan dengan cara jalan kaki, jalan cepat, berlari, berkuda, berkereta, atau pengalaman lain? Havard dan Stanford University memberikan contoh akan hal tersebut.
Sebenarnya pembelajaran dalam mata pelajaran ”Taylor Swift” menunjukkan roh Kurikulum Merdeka yang sesungguhnya. Pembelajaran digeser dari tekstual menjadi kontekstual, dari membaca tulisan teks menjadi membaca pengalaman hidup keseharian.
Selama ini, meskipun sudah menggunakan kata merdeka, tidak sedikit para guru yang belum merdeka. Mereka tidak berani mengkreasi cara belajar di kelas yang disesuaikan dengan konteks pengalamanan siswanya. Jangankan mengajarkan tentang Taylor Swift, lepas dari buku teks dan Lembar Kerja Siswa (LKS) saja, masih banyak yang belum punya nyali.
Belum lagi jika terkungkung oleh Platform Merdeka Mengajar (PMM). Masih ada saja yang justru lebih mengutamakan berburu centang biru dan sertifikat PMM daripada merenung berpikir untuk menemukan cara kreatif memberikan berbagai pengalaman belajar kepada siswanya. Belum lagi jika akan muncul indikator keberhasilan sekolah berdasarkan persentase jumlah guru yang telah mengeklik moda PMM tersebut. Guru menjadi mati kutu karena seolah konteks siswa dikalahkan dengan sajian teks di PMM.
Baca juga: Guru Penggerak dan Pemburu Centang Hijau
Mungkin inilah salah satu penyebab literasi anak-anak kita berada pada level tidak buta huruf, tapi tidak memahami maksud dari tulisan yang dibaca. Tidak sedikit guru yang mewariskan ketidaktercapaian functional literacy kepada siswanya. Mereka tahu tentang Kurikulum Merdeka, tetapi belum memahami maksudnya sehingga masih berkutat pada sarana dan administrasinya.
Maka Kurikulum Merdeka tidak sebatas konten, melainkan cara berpikir guru dalam memahami kata merdeka. Lalu akankah para guru berani mengusung penyanyi Iwan Fals ke dalam kelas guna menyuarakan demokrasi, keadilan, dan keberpihakan pada yang lemah?
R Arifin Nugroho, Guru SMA Kolese De Britto
Instagram: r_arifin_nugroho